Resi Palasara

2 weeks ago 3
Resi Palasara Ono Sarwono Penyuka wayang(MI/Ebet)

ADA yang unik saat Joko Widodo pulang kampung ke Solo setelah pensiun dari jabatan presiden. Di antara ribuan penyambutnya, terdapat tujuh tokoh wayang orang ikut mengayubagya kedatangan mantan kepala negara dua periode tersebut.

Mereka ialah Pandawa yang terdiri dari lima, yaitu Puntadewa, Werkudara, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Dua lainnya, Resi Palasara dan Begawan Abiyasa. Jumlah tujuh itu, menurut panitia, simbolisasi bahwa Jokowi ialah Presiden ketujuh RI.

Menurut silsilahnya, para tokoh kondang tersebut berhubungan darah. Pandawa cucu Abiyasa yang lahir dari putranya, Pandu, mantan raja Astina bergelar Prabu Pandu Dewanata. Adapun Palasara bapaknya Abiyasa atau kakek buyut Pandawa.

Pusaka ampuh

Di antara tujuh tokoh tersebut, hanya Palasara yang jarang dikisahkan dalam pentas pakeliran. Entah kenapa. Padahal, cerita atau perjalanan hidupnya menarik. Sejak kelahiran hingga berpredikat resi yang disegani di segala penjuru marcapada.

Palasara adalah anak tunggal Bambang Sakri dengan Dewi Sati, putri Raja Negara Tabelasuket Prabu Partawijaya. Sakri putranya Sekutrem dengan Dewi Nilawati. Adapun Sekutrem buah hati Resi Manumayasa dengan Dewi Retnawati.

Bila dirunut ke atas, Manumayasa putra Bambang Parikenan. Adapun Parikenan putra tunggal Bambang Bremani dengan Dewi Srihunon. Bremani putra kelima Bathara Brama, sedangkan Srihunon putri kesembilan Bathara Wisnu.

Arti nama Palasara adalah pusaka ampuh. Itu pemberian eyang buyut Manumayasa, pendiri pertapaan Ratawu di Gunung Sapta Arga yang amat terkenal. Manumayasa juga kerap disebut dengan nama Resi Kanumayasa atau Kariyasa.

Karena berdarah resi, Palasara sejak belia sudah gemar menjalani ritual layaknya seorang petapa. Laku itu juga yang membentuk pribadinya yang halus dan rendah hati. Wataknya pun welas asih kepada semua makhluk ciptaan-Nya.

Kepandaian Palasara mengendalikan nafsu menjadikan jiwanya meneb (tenang). Mata batinnya tajam sehingga ngerti sakdurunge winarah atau bisa melihat apa yang akan terjadi. Usapan tangannya pun bisa menyembuhkan segala penyakit.

Di sisi lain, Palasara bisa menciptakan sesuatu yang dikehendaki. Biasanya ini dilakukan demi mencapai tujuan tertentu. Juga, misalnya, untuk menggagalkan siapa pun yang berniat jahat kepadanya.

Dalam sepenggal kisah, penguasa Kahyangan Bathara Guru menguji kegenturan Palasara bertapa. Dua dewa diutus ke marcapada dengan beralih rupa sepasang burung pipit. Hewan kecil itu bersarang di kepala petapa berambut gimbal tersebut.

Palasara tak pernah mengusir, bahkan hingga bertelur dan menetas. Pada suatu ketika, anak burung bercicit-cicit terus karena tak diberi makan induknya. Karena iba, Palasara menggugurkan tapa dan mencari burung yang menelantarkan anak.

Dalam perjalanan mencari induk burung, Palasara terhalang Sungai Gangga yang sangat lebar. Setelah lumayan jauh menyisir pinggir sungai, didapati tukang perahu yang bersedia menyeberangkan. Tidak biasanya, tukang perahu itu kaum hawa.

Ceritanya, wanita tukang perahu itu bernama Durgandini, putri Raja Wiratha Prabu Basuketi. Ia sedang menjalani laku ruwat ngrame untuk menyembuhkan sakitnya. Sejak remaja, badan Durgandini berbau anyir sehingga biasa dipanggil Lara Amis.

Palasara minta diseberangkan. Di tengah sungai, ia baru melihat dari dekat bahwa ternyata wanita bercaping besar itu berparas cantik, tetapi badannya mengeluarkan bau tak sedap. Palarasa menawarkan diri untuk menyembuhkan, dan diterima.

Sambil menahan napas dalam-dalam, Palasara mengusap Durgandini. Seketika bau anyir dari tubuhnya hilang. Anehnya, wajah dan tubuh wanita itu malah bersinar dan beraroma semerbak harum. Petapa itu langsung jatuh cinta.

Sebelumnya, Durgandini bernazar, siapa pun yang bisa menyembuhkan sakitnya, bila laki-laki akan menjadi suaminya. Sebaliknya, bila perempuan dijadikan saudara. Maka, lamaran Palasara pun langsung diterima.

Singkat cerita, Palasara menemukan si induk burung dan menyerahkan anaknya. Ia juga menjadi suami Durgandini dan lahirlah buah hati mereka yang diberi nama Abiyasa, yang artinya bijaksana, cermat, atau penuh perhitungan.

Seiring berjalannya waktu, pernikahan diam-diam Durgandini dengan Palarasa terdengar Prabu Basuketi. Lalu, diutuslah putranya, Durgandana, menjemput adiknya pulang ke istana. Saat itulah Durgandini berpisah dengan Palasara.

Bukan hanya kehilangan suami, Durgandini juga mesti berpisah dengan putranya karena Basuketi tidak mau memiliki cucu dari pernikahan yang dianggapnya tidak sah. Abiyasa lalu digulawentah Palasara di Sapta Arga.

Cerita selanjutnya, Durgandini dipinang duda beranak satu Raja Astina Prabu Sentanu. Namun, putri kedaton Wiratha itu bersedia dipersunting dengan syarat jika anaknya kelak yang menjadi raja Astina.

Sulit bagi Sentanu karena putra dari pernikahan sebelumnya dengan Dewi Gangga, yakni Dewabrata, telah dinobatkan sebagai putra mahkota. Tapi masalah itu teratasi karena putranya legawa tidak menjadi raja, bahkan wadat.

Pernikahan Sentanu dengan Durgandini melahirkan Citranggada dan Wicitrawirya. Namun, keduanya meninggal dan sama-sama tidak memiliki keturunan. Akibatnya tidak ada trah yang menggantikan sebagai raja.

Berbeda jiwa

Merujuk pada konstitusi negara, Durgandini lalu memerintahkan Abiyasa menjadi raja Astina bergelar Prabu Kresna Dwipayana. Dari tiga istri (Ambika, Ambalika, dan Datri), Abiyasa memiliki tiga putra, Drestarastra, Pandu, dan Yama Widura.

Dari Pandu dengan dua istri (Kunti dan Madrim), Abiyasa memiliki lima cucu alias Pandawa. Drestarastra yang menikahi Gendari melahirkan seratus anak (Kurawa). Widura yang mempersunting Padmarina memiliki anak Sanjaya dan Yuyutsuh.

Jadi, Palasara yang menurunkan Pandawa dan Kurawa. Namun, keduanya berbeda karena perbedaan orientasi hidup. Pandawa menjadi para kesatria utama, sedangkan Kurawa bak gerombolan berjiwa serigala. (M-3)

Read Entire Article
Global Food