TERUSAN Suez ternyata pernah mengalami krisis pada 1956. Krisis itu terjadi ketika Pemerintah Mesir mengambil alih kendali atas Terusan Suez dari perusahaan milik Inggris dan Prancis yang mengelolanya.
Pengambil alihan itu membawa dampak signifikan terhadap hubungan Amerika Serikat dengan negara-negara Timur Tengah serta sekutu-sekutu Eropanya. Krisis ini mencerminkan ketegangan mendalam dalam aspek geopolitik dan ekonomi di tengah transisi kekuasaan global setelah Perang Dunia II.
Konflik dimulai pada 26 Juli 1956, ketika Presiden Mesir, Gamal Abdel Nasser, mengambil langkah untuk menasionalisasi Perusahaan Terusan Suez, yang sebelumnya dikelola bersama oleh Inggris dan Prancis. Langkah tersebut memicu reaksi keras dari Inggris, Prancis, dan Israel, yang menganggapnya sebagai ancaman terhadap kepentingan strategis dan ekonomi mereka, terutama terkait akses minyak Timur Tengah yang dilewati jalur tersebut.
Nasionalisasi Terusan Suez berdampak luas bagi kawasan dan dunia. Inggris dan Prancis, yang selama ini memanfaatkan terusan sebagai jalur perdagangan utama, melihat tindakan ini sebagai tantangan langsung terhadap dominasi mereka.
Di sisi lain, Israel memanfaatkan situasi ini untuk melancarkan serangan ke Semenanjung Sinai, wilayah yang menjadi sumber konflik berkepanjangan dengan Mesir. Ketiga negara ini merencanakan operasi militer rahasia untuk merebut kembali kendali atas terusan.
Serangan dimulai pada 29 Oktober 1956, ketika pasukan Israel menyerbu Semenanjung Sinai. Invasi ini diikuti aksi militer Inggris dan Prancis, yang menyerang zona Terusan Suez. Konflik ini tidak hanya memperburuk ketegangan di kawasan, tetapi juga menarik perhatian dunia internasional, yang pada akhirnya memaksa ketiga negara tersebut untuk menghentikan operasi mereka.
Konflik dan Dampaknya
Serangan ini memicu respons keras dari Uni Soviet, yang mengancam akan mengambil tindakan militer terhadap Eropa Barat jika invasi tidak dihentikan. Di sisi lain, Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Dwight Eisenhower, khawatir akan eskalasi konflik di tengah ketegangan Perang Dingin, menekan ketiga negara untuk mundur.
Intervensi diplomatik melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akhirnya berhasil menghentikan konflik, dan pada Desember 1956, pasukan Inggris dan Prancis menarik diri, diikuti oleh Israel pada Maret 1957.
Kerugian yang dialami oleh pihak-pihak yang terlibat sangat signifikan. Inggris, misalnya, mengalami kehilangan cadangan devisa yang besar akibat tekanan terhadap poundsterling, yang menyebabkan krisis keuangan. Prancis dan Israel juga mengalami kerugian material dan politik.
Selain itu, penutupan sementara Terusan Suez dari Oktober 1956 hingga Maret 1957 berdampak pada perdagangan global, terutama di Eropa, yang menghadapi kenaikan biaya impor minyak akibat harus menggunakan jalur alternatif yang lebih panjang.
Kerugian Ekonomi dan Reputasi
Penutupan Terusan Suez selama konflik menyebabkan kerugian ekonomi yang besar. Lebih dari 300 kapal terpaksa mengubah rute mereka melalui Tanjung Harapan, yang secara signifikan meningkatkan biaya logistik dan waktu pengiriman barang. Inggris menghadapi tekanan ekonomi yang serius akibat penurunan cadangan devisa, sehingga memaksa negara tersebut untuk mengajukan pinjaman sebesar $1,3 miliar (sekitar Rp19,5 triliun) dari IMF guna mengatasi krisis keuangan yang terjadi.
Dari segi politik, Krisis Suez melemahkan reputasi Inggris dan Prancis sebagai kekuatan global, menandai pergeseran dominasi geopolitik menuju Amerika Serikat dan Uni Soviet. Mesir, meskipun kalah dalam pertempuran, berhasil mempertahankan kendali atas Terusan Suez, yang semakin mengukuhkan posisi Presiden Nasser sebagai simbol nasionalisme Arab.
Krisis terbaru di Timur Tengah menunjukkan relevansi tema ini. Sejak pecahnya konflik Israel-Hamas pada Oktober 2023, serangan kelompok Houthi terhadap kapal-kapal komersial di Laut Merah telah memaksa banyak perusahaan pelayaran untuk menghindari Terusan Suez dan menggunakan jalur alternatif melalui Tanjung Harapan.
Dampak dari situasi ini meluas ke perdagangan global, menyebabkan lonjakan biaya pengiriman dan peningkatan waktu transit. Keadaan ini mengingatkan pada kerugian ekonomi yang dialami selama Krisis Suez 1956 ketika jalur perdagangan strategis terganggu.
Selain dari aspek ekonomi, keterlibatan kelompok Houthi sebagai proksi Iran menunjukkan dinamika geopolitik modern yang melibatkan aktor negara dan non-negara, yang semakin memperburuk ketegangan di kawasan. Seperti halnya Krisis Suez, situasi ini mencerminkan betapa pentingnya Terusan Suez dalam konteks geopolitik global. Mengintegrasikan tema ini memberikan perspektif historis mengenai pentingnya stabilitas kawasan untuk menjaga kelancaran perdagangan internasional. (imf/history.state/history.com/eureporter/dw/Z-3)