ADA rasa bangga dan haru ketika mendengar pesan kebangsaan Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh, pada Kongres III Partai NasDem beberapa waktu lalu, dan pasti akan terus didengungkan lagi pada saat mensyukuri 13 tahun usia Partai NasDem pada 11 November 2024 ini.
Seluruh pesannya terasa amat kuat membawa keyakinan ideologis NasDem dalam konteks dan konstelasi kehidupan politik hari ini. Kata keadilan mendapat porsi yang cukup banyak diucapkan, dibarengi oleh penekanan pentingnya pemimpin bersikap adil secara benar dalam kriteria kapatutan dan kepantasan.
Keadilan tanpa rasa kepatutan dan kepantasan akan menggelapkan mata setiap pemimpin dalam menjalankan kekuasaannya. Jika sampai terjadi maka masa depan kehidupan demokrasi yang di ujungnya ialah kedaulatan rakyat, pastilah akan gelap gulita.
Pandangan Surya Paloh di atas tentu saja banyak dipertanyakan para pengamat dan politikus, karena dikesankan bahwa cara pikir seorang Surya Paloh hanya mampu mengedepankan ide dan gagasan yang berhenti pada pikiran, tetapi masih jauh dari pelaksanaan. Sebagai seorang ketua umum partai, Surya Paloh seperti terjebak pada retorikanya sendiri yang sering mendayung di antara banyak pulau, tak menetap lama, kemudian berlayar dan berlabuh kembali di pulau yang berbeda.
Dalam pandangan kaum utopis, Surya Paloh adalah seorang pengembara sejati yang membawa seperangkat ideologi untuk diperdagangkan kepada masyarakat luas, di mana hasilnya bisa jadi berakibat baik dan bisa juga memunculkan salah terka.
Gelapnya demokrasi
NasDem, dari sudut pandang seorang Surya Paloh, mengkhawatirkan terjadinya tafsir gelap terhadap demokrasi yang melahirkan begitu banyak ketidakadilan di tengah masyarakat. Gelapnya kehidupan demokrasi di Indonesia seperti sebuah kutukan. Ketika Orde Lama berakhir dan beralih ke Orde Baru, masyarakat berharap periode reformasi akan mengubah tatanan kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik.
Ketika reformasi terjadi, saat itu, ada banyak pertanyaan di kalangan aktivis demokrasi tentang kemungkinan-kemungkinan tumbuh dan kembangnya demokrasi. Sebagian yang pesimistis mengatakan bahwa demokrasi pasti tak akan hidup dengan baik mengingat sejarah masa lalu kita sebagai sebuah bangsa tidak begitu menjanjikan. Masih ada warga negara yang tidak peduli politik dan malas mengikuti proses pengambilan kebijakan nasional. Akibatnya, negara menjadi semakin otonom dan asyik sendiri.
Rasa rendah diri--tepatnya minderwardigheid-complex--masih mendominasi mentalitas mereka. Sebaliknya, yang optimistis tetap melihat bahwa dalam skala mikro, meskipun gonjang-ganjing politik di tingkat elite sangat menyesakkan dada, anak-anak tetap pergi ke sekolah, buruh tetap bekerja, dan petani tetap menggarap sawahnya.
Dalam perspektif ilmu sosial dan humaniora, kondisi demokrasi saat ini layak disebut sebagai inferensi berupa visi kelam demokrasi, karena intuisi yang bergerak adalah kekuasaan semata tinimbang rasa malu yang berpegang pada keagungan etika.
Agar tidak hanya berfungsi menakut-nakuti masyarakat yang sudah berada dalam kesulitan yang menakutkan, Partai NasDem ingin meyakinkan para penyelenggara negara saat ini untuk selalu mengkaji perkembangan historis di Indonesia yang positif walaupun tidak lazim, menunjukkan konstelasi peristiwa yang mendukung perbaikan kendati langka, dan menunjukkan peluang-peluang meskipun peluang-peluang itu sempit.
Dengan kata lain, partai saat ini perlu mempertajam pengindraan terhadap kemungkinan-kemungkinan, bukan hanya menerapkan nalar probabilistik yang pada ujungnya menghasilkan kepastian yang tak terbantahkan dan tidak dapat menawarkan emansipasi.
Supaya visi kelam yang bersumber dari nalar probabilistik yang dikedepankan dalam pidato kebangsaan Surya Paloh dapat dihindari, beberapa hal berikut dapat dipertimbangkan sebagai penanda bahwa NasDem selalu dan akan bersedia untuk berbagi pandangan dan keyakinan tentang pentingnya konsistensi dan teguh dalam memperjuangkan rasa keadilan di tengah masyarakat.
Sebagai partai yang mengusung tema perubahan yang terus bergerak, maka jalan pertama perubahan fundamental yang harus dilakukan ialah mengubah gaya kerja birokrasi pemerintahan. Saya kira wajar jika NasDem mengusulkan untuk melakukan analisis terhadap kemampuan birokrasi dengan cara melakukan kajian serius terhadap performa birokrasi kita dalam 25 tahun terakhir.
NasDem menawarkan pendekatan governance value chain (GVC) dan dynamic governance (DG), bahwa penataan birokrasi yang tumpang tindih dan banyak mengalami kekeliruan penempatan hendaknya kita petakan secara komprehensif. Secara prinsip, meskipun sama-sama melihat aspek tata kelola dalam struktur organisasi, kedua pendekatan itu memiliki perbedaan dalam hal implementasi konsep.
Gareffi dan Humphrey (2005) lebih spesifik menggunakan GVC untuk memotret aspek koordinasi dan dimensi relasi kuasa sebagai faktor determinan dalam proses distribusi manfaat. Adapun Kaplinsky dan Morris (2001) menggunakan pendekatan ini untuk mencari tahu berbagai regulasi yang bekerja dalam rantai birokrasi. Tata kelola mengacu pada aturan-aturan resmi yang terkait dengan produksi dan distribusi output bagi masyarakat.
Sementara itu, konsep dynamic governance bertujuan merespons perubahan yang sering terjadi dalam struktur pemerintahan. Menurut Neo & Chen (2007), kondisi struktur birokrasi yang dinamis itu hal wajar. Namun, tidak berarti kondisi itu dibiarkan begitu saja terjadi sampai menciptakan masalah, apalagi sampai mengganggu aktivitas pelayanan publik. Karenanya butuh intervensi serius dari para pemangku kepentingan dalam merespons dinamika struktur pemerintahan.
Gemuknya birokrasi yang tampak dari pembentukan Kabinet Merah Putih di bawah Presiden Prabowo lebih menjelaskan lagi pentingnya melakukan analisis struktural kementerian dan lembaga agar prinsip keadilan bisa didistribusi ke dalam seluruh aspek kebutuhan masyarakat. Pecah belah birokrasi, sebagai contoh di kementerian pendidikan menjadi tiga kementerian, di satu sisi bisa membantu untuk mempercepat isu-isu penanganan pendidikan menjadi lebih fokus. Akan tetapi, tanpa perubahan mindset di lingkungan birokrasi pasti akan memberatkan kinerja birokrasi itu sendiri dalam mendistribusi keadilan di bidang pendidikan yang sudah sedemikian akut persoalannya. Di sinilah NasDem mendorong agar diskusi publik tidak hanya berhenti pada pembahasan tentang program semata, melainkan juga masuk ke ranah struktur birokrasi yang sering kali overlapping dengan visi dan misi pembangunan yang digariskan dalam RPJMN.
Legitimasi Prabowo
Sebagai sebuah partai yang mengusung asas perubahan, maka kepedulian NasDem terhadap isu-isu kemanusiaan yang sejalan dengan tantangan kemanusiaan di bidang-bidang penting dan mendasar seperti pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan-kebutuhan pokok komunitas lainnya perlu lebih dipertajam. Kesadaran ideologis tentang perubahan juga berlaku pada praktik politik NasDem dalam membangun koalisi.
Sepanjang 13 tahun usianya, hanya NasDem tampaknya yang mencoba dan masuk untuk bersinergi dengan beragam ideologi politik yang ada di Indonesia. Ketika mendukung SBY di awal reformasi, NasDem berseberangan dengan PDIP. Begitu mendukung Jokowi, NasDem menjadi yang terdepan bersama PDIP. Di ujungnya, ketika NasDem mendukung Anies Baswedan, NasDem berani bersinergi dengan PKS sekaligus berseberangan dengan PDIP, Golkar, dan Gerindra.
Posisi politik tidak biasa dari NasDem ini membuat semua pemerhati dan pelaku demokrasi di Indonesia sering menjuluki Surya Paloh sebagai begawan politik yang mengerti arah angin perubahan. Ada banyak ungkapan kecemasan dalam diri Surya Paloh ketika memilih partai mitra koalisi, terutama yang sering didengungkan sebagai cebong dan kampret, dan itu salah satunya disebabkan oleh ketiadaan keadilan pada aspek pelayanan publik di semua bidang kehidupan.
Surya Paloh menengarai bahwa meskipun Indonesia telah berubah sebagai negara demokratis, bentuk kekuasaan masih cenderung despotik; sebuah kondisi di mana kekuasaan mencengkeram dengan amat kuat institusi-institusi politik yang ada. Kecemasan Surya Paloh memang beralasan jika kita baca argumen Don Murray dalam A Democracy of Despots
(1995) yang menyebutkan bahwa pergerakan cerdik kaum despotik menyebar hampir pada setiap ranah politik. Dasar pikir inilah yang pada akhirnya bisa kita simpulkan mengapa dalam Pilpres 2024 NasDem memilih Anies.
Seperti sudah kita alami bersama, agenda Pileg dan Pilpres 2024 masih dihantui serta kental dengan polarisasi politik identitas. Memilih Anies adalah salah satu cara agar kontestasi pilpres menjadi legitimated
karena hampir semua anak ideologi bangsa bertarung secara terbuka. Ini sebenarnya yang bahkan hampir terjadi di DKI Jakarta jika Ridwan Kamil menang tanpa melawan Anies, dan kemenangannya menjadi tak memperoleh legitimasi politik yang kuat. Tidak seperti Prabowo yang saat ini memperoleh legitimasi kuat dan luas karena berhasil unggul dalam kontestasi pilpres melawan semua kandidat yang dianggap mewakili anak ideologi kebangsaan Indonesia.
Dalam keyakinan yang penuh, Surya Paloh mengatakan bahwa pemilu, ‘alih-alih menjadi pendidikan politik, pemilu hanya menjadi ajang perselisihan dan konflik’ yang tak berujung dan berkesudahan. Pemilu dikhawatirkan tidak memberikan solusi fundamental terhadap masa depan bangsa dan negara, tetapi membuat bangsa ini lunglai hati dan pikir.
Lemahnya cara berpikir solutif dari para penyelenggara negara, politikus, dan dunia usaha karena pekatnya polarisasi identitas menyebabkan terjadinya perang argumen yang tidak sehat dan cenderung melahirkan strategi kecurangan dalam pemilu.
Selamat ulang tahun ke-13 Partai NasDem. Semoga keyakinan atas ideologi gagasan dan perubahan terus menyatu dengan niat, fakta, kata, dan perbuatan. Aamiin.