ADA banyak ancaman bagi keberadaan sumpit beracun suku Akit. Beberapa faktor yang mengancam kelestarian sumpit termasuk modernisasi, perubahan gaya hidup, dan peraturan pemerintah yang semakin ketat terhadap penggunaan senjata tradisional. Masyarakat asli Pulau Rupat, suku Akit, telah lama dikenal dengan pembuatan dan penggunaan sumpit beracun.
Senjata tradisional itu lebih dari sekadar alat berburu. Sumpit beracun telah menjadi bagian penting dari identitas budaya Akit, menggambarkan sejarah, nilai-nilai, dan memiliki makna filosofis, spiritual, dan merupakan representasi identitas budaya.
Bagi masyarakat Akit, sumpit juga sering dikaitkan dengan kekuatan gaib dan digunakan dalam ritual tertentu. Ini menunjukkan sumpit tidak sekadar benda mati, tetapi juga memiliki nilai simbolis yang sangat tinggi. Selain itu, penggunaan sumpit oleh suku Akit memiliki banyak makna terhadap kehidupan dan kematian.
Sumpit beracun bagi suku Akit lebih dari sekadar senjata. Sumpit merupakan perlambang keterampilan, kesabaran, dan kekuatan. Proses pembuatan sumpit beracun membutuhkan keahlian khusus yang diwariskan dari generasi ke generasi. Semua proses membutuhkan ketelitian dan pemahaman yang mendalam tentang alam, mulai memilih bahan baku yang tepat hingga membuat lubang sumpit serta membuat racun yang mematikan.
Batin (pemimpin suku sekaligus bomoh atau dukun besar) akan meneruskan kekuatan kepada generasi selanjutnya. Proses pembuatan sumpit yang panjang dan rumit menunjukkan nilai kesabaran yang diwariskan dari batin ke batin selanjutnya. Orang yang terampil dan pandai dalam menggunakan sumpit bisa menjadi penerus sebagai batin dan bomoh di kemudian hari. Hal itulah keunikan dari cara pewarisan keterampilan dan keahlian dalam menggunakan sumpit tersebut.
Hubungan dengan lingkungan
Sumpit biasanya menggunakan kayu punak. Racun (ipuh) dan peluru (demak), kayu penompang pengintai (tujud)(p), pelurus sumpit (nebong) yang digunakan pada sumpit biasanya berasal dari tumbuhan yang tumbuh di sekitar habitat suku Akit. Hal itu menunjukkan pemahaman mendalam masyarakat Akit tentang lingkungan dan kemampuan untuk memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Hal itulah yang menjadi local genius suku Akit untuk dapat menggunakan bahan dasar sumpit dari kayu punak. Apabila kayu tersebut tidak ada di hutan, suku Akit akan menjalin kerja sama dengan suku asli lainnya seperti suku Sakai. Hal itulah yang menghubungkan perbatinan mereka dengan suku lain yang dikenal dengan perbatinan delapan baik, termasuk suku Akit, Sakai, Bonai, Talang Mamak, Laut, dan lainnya.
Sumpit sebagai identitas budaya Akit
Senjata sumpit beracun juga menjadi simbol kebanggaan serta menunjukkan keunikan dan kekhasan budaya masyarakat Akit. Hal itu menambah penguat identitas bagi suku Akit sebagai jati diri. Sumpit beracun itu akan digunakan sebagai penanda di setiap upacara adat di suku Akit. Sumpit itu akan mengawali dimulainya suatu upacara dengan dikeluarkan dan diarak ke lapangan bersama tombak. Hal itu menjadi identitas suku Akit tersebut tanpa mengenalkan diri saat ada kegiatan baik oleh pemerintah maupun masyarakat Akit.
Simbol kekuatan spiritual
Sumpit sering dianggap sebagai simbol kekuatan spiritual. Suku Akit menganggap sumpit memiliki kekuatan magis sehingga kehadiran sumpit pada upacara adat akan memberikan suatu kekuatan gaib dan restu dari leluhur. Suku Akit menganggap roh leluhur akan hadir melalui sumpit dan akan memberikan tenaga supranatural yang tidak bisa dihadirkan manusia.
Ritual dan upacara
Sumpit beracun digunakan dalam upacara ritual dan upacara adat untuk menunjukkan keberanian dan kedewasaan. Itu menunjukkan sumpit memainkan peran yang signifikan dalam kehidupan sosial dan spiritual masyarakat Akit. Pemegang sumpit beracun tersebut akan dibawa orang dewasa baik secara penggunaan maupun keterampilan. Diperlukan keahlian dan kekuatan untuk menahan kekuatan supranatural dari roh leluhur Akit yang masuk ke sumpit saat dilaksanakan upacara dan ritual.
Penghormatan terhadap hewan buruan
Sumpit yang digunakan untuk berburu menandakan penghormatan pada hewan buruan. Mereka berpendapat bahwa roh tiap makhluk hidup memiliki tempat sendiri dalam alam semesta. Hal itu membuat mereka hanya memilih hewan yang mengganggu ladang seperti tupai dan monyet yang tidak bisa lagi diusir dengan ritual. Itu menunjukkan kepedulian suku Akit pada pelestarian binatang liar yang hidup di pulau tersebut.
Hewan yang ditangkap pun dikebumikan pada tempat yang layak, tidak dibiarkan mati begitu saja setelah kena sumpit. Hal itu diajarkan turun-temurun. Masyarakat Akit belajar tentang siklus hidup dan kematian dari penggunaan sumpit saat berburu. Mereka menyadari bahwa setiap tindakan memiliki dampak terhadap alam dan diri sendiri.
Pengetahuan tentang pembuatan sumpit, jenis racun yang digunakan, dan ritual-ritual terus dilestarikan melalui cerita-cerita yang dituturkan secara turun-temurun. Sumpit beracun suku Akit bukan sekadar alat berburu. Tradisi lisan itu tidak hanya menyimpan data, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai seperti keberanian, kebijaksanaan, dan penghormatan terhadap alam.
Bagi suku Akit, sumpit menjadi simbol identitas dan kebanggaan mereka. Setiap detail sumpit, mulai bahan baku hingga ornamennya, memiliki arti simbolis. Tradisi lisan Akit terdiri dari cerita tentang asal-usul sumpit, tokoh legendaris yang terkait dengannya, dan pengalaman berburu dengan sumpit. Namun, kelestarian tradisi lisan itu diancam modernisasi dan perubahan gaya hidup.
Seiring dengan berjalannya waktu, generasi muda lebih tertarik pada budaya populer daripada mempelajari pengetahuan tradisional. Oleh karena itu, sangat penting untuk mempertahankan tradisi lisan untuk mempertahankan budaya suku Akit dan mencegah pengetahuan tentang sumpit beracun hilang.
Oleh karena itu, sumpit beracun suku Akit tidak hanya menjadi bagian dari sejarah, tetapi juga menjadi inspirasi untuk generasi berikutnya. Dengan mempertahankan tradisi lisan yang terkait dengan sumpit, warisan budaya yang penting itu akan terus hidup dan berkembang. (M-4)