Manajer Pilar Pembangunan Ekonomi Sekretariat Nasional SDGs, Bappenas Setyo Budiantoro menyatakan pencapaian SDGs Indonesia saat ini mencapai 62,5% atau sebanyak 139 indikator telah tercapai. Salah satu tantangan utama dalam pencapaian indikator yang belum dilengkapi adalah masalah pendanaan. Total kebutuhan pencapaian SDGs Indonesia pada 2021-2030 mencapai Rp122 ribu triliun dengan gap pembiayaan mencapai Rp24 ribu triliun.
Setyo mengungkapkan hal itu saat berbicara dalam Sustainability Meet Up #10 Pembiayaan Hijau untuk Sektor Kelapa Sawit Indonesia, Sustainability Meet Up #10 Pembiayaan Hijau untuk Sektor Kelapa Sawit Indonesia, digelar Selasa (5/11) di kampus Universitas Trisakti, Jakarta oleh CECT Sustainability.
Seminar itu membahas berbagai isu penting terkait SDGs, terutama terkait praktik berkelanjutan di industri kelapa sawit yang mengalami tantangan terbatasnya dukungan pembiayaan hijau. Pendanaan hijau itu dibutuhkan untuk membiayai investasi infrastruktur berkelanjutan, inovasi, serta proses pengurangan risiko lingkungan dan sosial yang muncul dari produksi kelapa sawit. Seminar diikuti lebih dari 100 peserta yang terdiri dari perwakilan perusahaan, institusi pemerintah, lembaga filantropi, manajer CSR, akademisi, asosiasi, serta para praktisi keberlanjutan.
Pada pembahasan yang mengerucut pada komitmen pemerintah, lembaga keuangan, LSM, serta filantropi dalam mendukung smallholder dan industri kelapa sawit melalui strategi pembiayaan hijau, Setyo mengungkapkan, dalam konteks pengembangan industri kelapa sawit, inklusi petani kecil dalam skema pembiayaan berkelanjutan sangat penting untuk mendorong transformasi industri sawit di Indonesia.
“Diperlukan mobilisasi dan inovasi pendanaan, serta sinergi dalam pemanfaatan sumber daya keuangan untuk menutup kesenjangan pendanaan. Transformasi industri kelapa sawit menuju keberlanjutan harus dilakukan secara inklusif, memastikan petani kecil mendapat dukungan keuangan yang memadai untuk beralih ke praktik pertanian berkelanjutan,” kata Setyo.
Selain itu, Setyo juga menyoroti pentingnya sistem dashboard yang menghubungkan proyek SDGs dengan pihak pendana atau investor. Upaya ini bertujuan untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi, konservasi lingkungan, dan peningkatan kesejahteraan sosial. Integrasi dan sinergi berbagai sumber pendanaan diperlukan untuk memastikan pencapaian SDGs secara efektif dan tepat waktu.
Sementara, Rektor Universitas Trisakti Kadarsah Suryadi, menyampaikan apresiasi pada lembaga keuangan dan perbankan, yang menunjukkan komitmen nyata dalam mendukung pembiayaan berkelanjutan. “Kami menghargai inisiatif WWF dengan program Inisiatif Keuangan Berkelanjutan Indonesia yang turut memperkuat ekosistem pembiayaan berkelanjutan di Indonesia serta inisiatif lainnya dari UOB, yang kemudian diperkuat peran filantropi yang memprakarsai berbagai inisiatif pembiayaan berkelanjutan,” kata Kadarsah.
Lebih lanjut, Kadarsah, juga menekankan pentingnya peluncuran taksonomi khusus untuk industri kelapa sawit yang akan diluncurkan awal tahun depan. “Ini akan menjadi landasan baru untuk standar keberlanjutan.”
Pada sesi lainnya, Chief Sustainability Officer UOB Indonesia Jenny Hadikusuma menyampaikan pihaknya memiliki kebijakan pembiayaan bertanggung jawab di sektor agribisnis. Khusus kelapa sawit, komitmen ini mencakup beberapa aspek utama, yaitu: kewajiban bagi klien untuk memiliki sertifikasi seperti RSPO atau ISPO, upaya pencegahan, pengawasan, dan pengendalian kebakaran, kebijakan serta prosedur untuk mitigasi risiko lingkungan yaitu polusi udara, tanah, air. Selain itu, ditinjau pula kebijakan pengadaan berkelanjutan guna mencegah pembelian dari sumber yang merusak lingkungan dan sosial serta perlindungan hak komunitas lokal melalui proses Free, Prior, and Informed Consent (FPIC). Akan dilihat pula upaya pelibatan komunitas lokal dalam program peningkatan kapasitas untuk pencegahan dan pengendalian kebakaran serta kepatuhan penuh terhadap peraturan lingkungan, sosial, dan tata kelola setempat, termasuk aturan terkait lahan gambut.
“Produk yang kami tawarkan adalah Green Loans, Sustainability-Linked Loans, serta Green Trade Finance. Melalui inisiatif ini, UOB berkomitmen mendukung perusahaan dalam mencapai tujuan keberlanjutan dengan solusi keuangan yang fleksibel dan berdampak positif bagi lingkungan.”
Kontribusi WWF Indonesia
Sementara, Direktur Program Iklim, dan Transformasi Pasar WWF Indonesia Irfan Bakhtiar memaparkan, terkait industri sawit dan petani rakyat, biaya sertifikasi 1 kelompok mencapai Rp1 miliar dengan kegiatannya mencakup kelembagaan petani swadaya (identifikasi pekebun, pemetaan, pembuatan kelompok), pendampingan intensif (training RSPO, ICS, GAP, BMP, HCV), penguatan kemandirian (monitoring, surveillance, ICS).
“Pembiayaannya 98% dibiayai filantropi (development fund, CSR) dan 2% dipenuhi lewat skema komersial dan supply chain perusahaan. Berdasar hal tersebut, peran lembaga keuangan akan sangat dibutuhkan untuk memperkuat pengembangan usaha bagi pekebun sawit bersertifikat RSPO.”
Irfan menjelaskan, mekanisme Sustainability-Linked Financing yang akan diadopsi oleh WWF-Indonesia dan berkolaborasi dengan lembaga keuangan mentargetkan transformasi kelompok pekebun bersertifikat menjadi UMKM yang kuat, berkembang dan mampu mempertahankan keberlanjutan perkebunan sawit rakyat bersertifikat RSPO.
Pembicara lainnya, Direktur Eksekutif Filantropi Indonesia Gusman Yahya menyatakan anggota Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI) saat ini lebih dari 225, terdiri atas filantropi individu/keluarga, perusahaan, independen serta filantropi agama/keyakinan.
Filantropi Indonesia fokus pada membangun kapasitas dan kemitraan antar filantropis untuk memperkuat ekosistem filantropi. Peran filantropi dalam mendukung SDGs dan pendanaan hijau merujuk pada tipologi pelaku filantropi yang memiliki 3 kekuatan sumberdaya yaitu: keuangan, manusia dan teknikal yang dapat dimobilisasi dalam percepatan pencapaian SDGs melalui pendanaan hijau. Sumber daya keuangan melalui grants/hibah hijau, investasi sosial dan pendanaan berbasis dampak serta dana bergulir. Sumber daya manusia melalui penyediaan tenaga ahli dan konsultan, pelatihan dan pengembangan kapasitas serta dukungan dalam kolaborasi multi-stakeholder. Selanjutnya sumber daya teknikal melalui riset dan pengembangan teknologi hijau, penyediaan infrastruktur teknologi serta pendampingan dalam implementasi teknologi.
“Target PFI 2024-2027 adalah menjadi platform utama untuk memperkuat filantropi melalui ketahanan kelembagaan, peningkatan akuntabilitas, dan kolaborasi multi-stakeholder untuk SDGs dan pendanaan hijau.”
Isu keberlanjutan di industri sawit juga menjadi bagian dari Program Magister Manajemen (MM) Konsentrasi Sustainability. Koordinator Master Studies in Sustainable Development and Management (Masudem) Project Universitas Trisakti Asep Hermawan menyatakan pihaknya tengah menjalankan kolaborasi dengan Uni Eropa dalam implementasi matakuliah CSR dan sustainable development, ESG Investment & Reporting, Research Methods & Sustainable Development, dan Sustainable Leadership. (X-8)