PEMERINTAH tengah menyiapkan aturan terkait sektor ketenagakerjaan menyusul putusan Mahkamah Konstitusi yang mencabut klaster ketenagakerjaan dari Undang-Undang 6/2023 tentang Cipta Kerja. Aturan tersebut juga meliputi perubahan nomenklatur baru.
Demikian disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers Rapat Koordinasi Terbatas mengenai permbahasan program Quick Win Kementerian di Bidang Perekonomian, Jakarta, Minggu (3/11).
“Pemerintah menindaklanjuti keputusan MK terkait dengan ketenagakerjaan dan menteri tenaga kerja akan segera mempersiapkan regulasi yang akan didorong. Itu juga ada konsekuensi dari perubahan nomenklatur pemisahan kementerian tenaga kerja dengan BP2MI, sehingga tentu ada konsekuensi terhadap perundangan-undangan juga,” tutur dia.
Selain fokus pada penyusunan aturan baru tersebut, tambah Airlangga, Kementerian Ketenagakerjaan juga akan mempersiapkan fokus jangka pendek terkait dengan upah minimum dan upah sektoral. Pemberitahuan kepada para gubernur juga akan dilakukan dalam waktu dekat mengenai ketentuan upah yang akan dibuat.
Pemerintah juga sedang menyiapkan ketentuan perubahan terkait dengan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Itu dibarengi pula dengan pematangan ketentuan yang terintegrasi dengan program siap bekerja serta Kartu Prakerja.
Namun, Airlangga belum menjelaskan secara detail akan seperti apa arah kebijakan yang sedang disiapkan tersebut. “Teknisnya kami harus lapor presiden dulu,” kata dia.
Diketahui sebelumnya, MK memutuskan uji materil UU 6/2023 tentang Cipta Kerja yang diajukan oleh Partai Buruh dan sejumlah serikat pekerja. Putusan ini tercantum dalam putusan nomor 168/PUU-XXI/2023.
Pemerintah diminta untuk mengubah maupun menambah perihal frasa dalam 21 pasal klaster ketenagakerjaan yang ada di dalam UU Cipta Kerja. Beberapa di antaranya, yakni, Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 12 UU 6/2023 yang menyatakan 'Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan Perjanjian Kerja' bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, 'Jangka waktu selesainya suatu pekerjaan tertentu dibuat tidak melebihi paling lama 5 (lima) tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan'.
Kemudian Pasal 79 ayat (2) huruf b dalam Pasal 81 angka 25 UU 6/2023 yang menyatakan, 'istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu', bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai mencakup frasa 'atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu'.
Lalu Pasal 88 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023 yang menyatakan 'Setiap Pekerja/Buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan', bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai 'termasuk penghasilan yang memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua'. (J-3)