ADA yang menarik dari pengumuman menteri kabinet yang dinamakan Kabinet Merah Putih di bawah pimpinan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2024-2029, yakni penunjukan Profesor Yassierli, ST MT PhD. Beliau merupakan seorang Guru Besar Bidang Ergonomi dan Teknik Industri ITB.
Kalau melihat lintasan perjalanan pimpinan dari Kementerian Ketenagakerjaan, khususnya pasca-Reformasi 1998, semua yang menjadi Menteri Ketenagakerjaan ialah dari kader-kader partai politik.
Menilik lebih jauh ke belakang, pernah ada satu profesor yamg mengisi pos Menteri Ketenagakerjaan di awal-awal Orde Baru berdiri, yakni Prof Mohammad Sadli, Guru Besar UI, yang menjabat Menteri Tenaga Kerja pada 1971 sampai 1973 dalam Kabinet Pembangunan I. Prof Sadli dikenal sebagai si pragmatis tulen pembela rakyat lapisan bawah. Sisanya, sampai Orde Baru selesai dan dilanjutkan pada era reformasi, lebih sering diisi oleh kader-kader partai politik atau dari Korps Tentara (ABRI).
Dunia berubah
Dunia berubah. Pun dengan ketenagakerjaan. Pekerjaan-pekerjaan pada sektor formal semakin menurun dan implikasinya pada sektor informal yang semakin meningkat. Pada sektor formal, pola hubungan kerja lebih banyak sistem kontrak daripada pekerja tetap yang dampak lebih jauhnya ialah terhadap kesejahteraan dan kepastian masa depan pekerja itu sedniri. Istilah work from anywhere, anytime, any device, dan seterusnya sebagaimana tergambarkan dalam the evolution of employee semakin nyata dan terasa.
Pada sektor informal, hubungan kerja tidak langsung semakin marak. Misalnya ojek online, jasa pengantaran, buruh harian lepas (BHL), outsourcing, pedagang keliling, dan lain-lain yang dampak lebih jauhnya hampir sama dengan sektor formal, tidak ada kepastian kesejahteraan dan masa depan.
BPS, sebagai lembaga kredibel dalam hal statistik, memberikan laporan bahwa pada 2023, persentase jumlah pekerja formal dan informal sebesar 40,42% dan 59,58%. Pada 2022 sebanyak 40,69% dan 59,31%. Sementara itu, pada 2021 sebanyak 44,28% dan 55,72%. Jika melihat data tersebut, jelas bahwa setiap tahun ada penambahan di sektor informal dan bisa jadi pada 2024 ini semakin meningkat lagi disebabkan banyaknya PHK, terutama dari sektor padat karya, seperti perusahaan di bidang tekstil dan garmen.
Jika melihat secara penghasilan, berdasarkan data Laporan Pengelolaan Program BPJS Ketenagakerjaan, jumlah pekerja formal memiliki penghasilan yang lebih tinggi daripada pekerja informal yang mana rata-rata pekerja formal memiliki penghasilan sebesar Rp2 juta-Rp5 juta per bulan, sedangkan pekerja informal memiliki rata-rata penghasilan kurang dari Rp2 juta per bulan. Pekerja informal yang cenderung memiliki penghasilan yang lebih rendah itu tentunya memiliki risiko sosial yang lebih besar ketimbang pekerja formal yang mana sekali lagi kesejahteraannya masih sangat kurang dan masa depan dari kesejahteraan pekerja informal itu sangat rentan.
Kriteria hidup layak
Untuk pekerja di sektor formal, kriteria hidup layak dan bagaimana memenuhi standar kelayakannya tersebut sudah diatur dari UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, PP No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, hingga Permenaker No 21 tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak. Aturan-aturan itu mendefinisikan bahwa kebutuhan hidup layak itu ialah standar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seorang pekerja/buruh lajang untuk dapat hidup baik secara fisik, nonfisik, maupun sosial untuk kebutuhan satu bulan.
Ada tujuh komponen utama di antara 60-an jenis kebutuhan. Ketujuh komponen tersebut ialah kebutuhan makanan dan minuman, sandang, kebutuhan akan rumah, pendidikan, kesehatan, transportasi, rekreasi, dan tabungan.
Secara umum, kriteria hidup layak telah masuk konsep pembangunan manusia. Ada tiga dimensi dasar pendekatan utama dalam konteks pembangunan manusia tersebut, salah satunya ialah standar hidup yang layak yang diukur oleh pengeluaran per kapita. Dalam model perhitungan baru, UNDP telah menggantinya dari produk domestik bruto (PDB) per kapita menjadi pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita.
Seiring dengan berjalannya waktu, mulai 2015, pada tataran global, semua pembangunan mengacu pada konsep SDGs (sustainable development goals). Dari 17 tujuan yang ada, terkait dengan pekerja, minimal ada di dua tempat tujuan, yakni tujuan ketiga yang isinya good health and well-being (terjaminnya kehidupan yang sehat dan meningkatnya kesejahteraan penduduk di segala usia) dan tujuan kedelapan yang isinya decent work and economic growth (meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, kesempatan kerja penuh dan produktif, serta pekerjaan yang layak untuk semua).
Pun yang akhir-akhir ini semakin kuat disuarakan terkait dengan ESG (enviromental, social, and governance). Lagi-lagi terkait dengan pekerja masuk sebagai salah satu alat ukur keberlanjutan, yakni dalam aspek kedua (social). Dalam aspek ini, perusahaan wajib memperlakukan karyawan sebaik mungkin, termasuk di dalamnya menciptakan inklusivitas, keberagaman, kesetaraan, dan kesejahteraan.
Masa depan yang terjamin
Jika menilik pada konsep-konsep pembangunan, baik yang terdapat dalam aturan pemerintah sendiri maupun konsep eksternal seperti yang ada dalam konsepnya UNDP, framework-nya SDGs, maupun ESG, yang pada intinya ialah bagaimana masyarakat pekerja terjamin masa depan mereka.
Untuk sektor formal, terutama menengah besar, relatif sudah terjamin dengan adanya program jaminan sosial ketenagakerjaan, yakni adanya JHT (jaminan hari tua) dan JP (jaminan pensiun). Konsep JHT sebagai jaminan hari tua, pada praktiknya saat ini bisa dicairkan sebelum umur mereka sampai.
Kondisi itu terjadi, menurut hemat penulis, disebabkan belum ada jaminan setelah selesai dari tempat bekerja yang satu ke tempat bekerja yang kedua dan selanjutnya. Apalagi berbicara pada segmen formal menengah ke bawah (UMKM, mikro, dan ultramikro) serta segmen pekerja informal yang di atas telah disebutkan.
Belum ada jaminan masa depan, yang ditandai dengan kepastian pekerjaan, dalam jangka panjang bisa menjadi beban negara dan memiliki dampak yang luas di saat angka harapan hidup masyarakat Indonesia terus meningkat, yakni di atas 72 tahun.
Menunggu kiprah sang profesor
Kehadiran sang profesor dalam menakhodai Kementerian Ketenagakerjaan perlu diapresiasi secara baik, kesan yang mendalam terhadap mendiang Prof Mohammad Sadli sebagai si pragmatis pembela rakyat bawah bisa terwujudkan kembali secara apik dan epik dengan melihat perkembangan dunia ketenagakerjaan yang terus berubah. Dalam event internasional, perkembangan perubahan itu selalu dibahas secara saksama, termasuk beradaptasi dengan perkembangan digital yang memiliki volatilitas tinggi. Semoga.