ADA yang memprihatinkan bila menyimak pejabat kita berbicara. Ternyata tidak sedikit yang bias antara omongan (pendapat) pribadi dan pernyataan mereka sebagai pejabat negara. Kesannya tidak berintegritas atau clemongan, terbiasa asal bicara.
Coba perhatikan, ada pula pejabat yang tampaknya belum engah bila dirinya telah disumpah menjadi pejabat negara. Semaunya bicara dan ada pula yang bergaya pengamat atau aktivis. Rakyat terpaksa mengerutkan dahi memahami mereka.
Di negara mana pun, pejabat dituntut pandai dalam berkata-kata atau mengeluarkan pernyataan. Maksudnya, dengan jabatan yang diemban, setiap kata di depan publik merupakan statement negara. Ini bukan hanya soal etika, melainkan juga pada tanggung jawab.
Terkait dengan isu tersebut, kita bisa perhatikan dan belajar pada cara bicara pemimpin Dwarawati Prabu Sri Bathara Kresna. Setiap pernyataannya ialah pesan kepastian dan kebenaran. Meski demikian, gaya bicaranya tidak kaku, tetapi cair dan elegan.
Pembela kaum duafa
Latar belakang Kresna, yang nama kecilnya Narayana, ialah seorang aktivis. Ia dikenal luas sebagai pembela rakyat kecil, fakir miskin, dan kaum duafa. Sepak terjangnya memperjuangkan hak-hak hidup orang-orang terpinggirkan.
Dengan caranya sendiri, Narayana 'menghukum' para koruptor. Para maling uang negara itu dirampok dan hasilnya kemudian dibagi-bagikan kepada rakyat yang membutuhkan. Cara tersebut ditempuh karena hukum tumpul terhadap mereka.
Jiwa aktivis Narayana muncul karena setiap hari berada di tengah masyarakat yang umumnya miskin dan terabaikan hak-hak mereka. Sementara itu, pejabat bergelimang harta dan hidup berfoya-foya dengan uang hasil penelikungan anggaran negara.
Ceritanya, Narayana sejak kecil hidup di Dusun Widarakandang. Ia bersama dua saudaranya, Kakrasana dan Lara Ireng, menjadi anak angkat demang Antagopa-Ken Sagopi. Mereka sesungguhnya putra-putri Raja Mandura Prabu Basudewa.
Ketiganya disembunyikan di dusun agar selamat dari ancaman preman elite Kangsa yang bernafsu menguasai takhta Mandura. Di sisi lain, Narayana beserta kakak dan adik diharapkan menjadi insan-insan yang berkarakter kerakyatan.
Kesukaan Narayana ialah keluar-masuk dusun bertemu warga berbicara terkait dengan hak dan kewajiban sebagai warga. Dalam aktivitasnya itu, ia mendengar keluhan warga atas penderitaan hidup. Negara dinilai tidak peduli kepada rakyat kecil.
Dari sana, Narayana ditemani Udawa, menghimpun warga membentuk kelompok pembela rakyat. Mereka membegal pejabat yang ditengarai korup saat melewati daerah 'kekuasaan' mereka. Hartanya dirampas, lalu dibagikan kepada kaum duafa.
Meski melanggar hukum, gerakan brutal Narayana dan kawan-kawan mendapat dukungan besar rakyat. Warga merasa tertolong dan aspirasi tertunaikan. Narayana dianggap sebagai pahlawan yang menegakkan keadilan walau dengan cara jalanan.
Titisan Wisnu
Di sela sebagai aktivis, Narayana tidak pernah lelah terus belajar. Di mana pun ada resi dan begawan disowani, dicecep (diserap) ilmu mereka. Terakhir, pemuda berkulit hitam cemani itu beguru kepada Begawan Padmanaba di Pertapaan Untarayana.
Bagi Nayarana, Padmanaba ialah dwija (guru) paripurna. Begawan yang bisa memuaskan hasrat kehausan ilmu yang dicari. Belakangan terungkap bahwa ternyata Padmanaba ialah jelmaan Bathara Wisnu, dewa keadilan jagat.
Selain ilmu spiritual, Nayarana dititipi pusaka kahyangan untuk piandel (sarana) menjalankan tugas utama memayu hayuning bawana, menegakkan keadilan dunia. Pusaka itu antara lain Cakrabaskara dan Kembang Wijayakusuma.
Dengan pusaka itu, Narayana menumpas gerakan makar Kangsa sehingga Mandura kembali aman. Tidak lama kemudian, Kakrasana menggantikan Basudewa menjadi raja muda bergelar Prabu Baladewa.
Narayana selanjutnya menjadi Raja Dwarawati setelah menyirnakan Prabu Yudakalakresna yang berusaha menghancurkan kahyangan. Dewa memerintahkan Narayana menakhodai negara tersebut bergelar Prabu Sri Bathara Kresna.
Portofolionya Kresna bukan hanya memimpin Mandura. Sebagai titisan Bathara Wisnu, ia juga menjadi penegak keadilan dunia. Praktisnya sebagai botoh Pandawa, lima kesatria yang mengemban amanah menyebarkan perilaku utama.
Pada posisi itu, Kresna dikenal sebagai tokoh yang pandai bicara. Bukan sekadar pilihan kata dan kalimatnya yang tepat, melainkan juga isinya merupakan pesan 'kadewatan'. Artinya, apa yang dikatakan pasti benar adanya dan solusi terbaik.
Jadi, Kresna yang sudah menjadi pejabat tidak bersikap seperti aktivis lagi. Bukan hanya dalam polah dan tingkah, melainkan juga termasuk dalam hal bicara. Terukur dan teratur sesuai dengan derajat amanah serta tanggung jawabnya.
Cermin diri
Dalam diksi kearifan lokal, tutur kata Kresna itu selalu tata (tertata), titi (teliti), titis (tepat, cermat), dan tatas (pasti). Konsep itu juga bisa digunakan pemimpin sebagai tuntunan dalam manajemen bekerja atau mengemban amanah rakyat.
Bicara dengan tata itu artinya tertata dengan baik, teratur, dan terukur. Kemudian titi, ini yang dimaksud pesan yang disampaikan harus akurat dan presisi sehingga tidak keliru atau menimbulkan salah persepsi atau miskomunikasi.
Lalu bicara titis, yang dimaksud tepat menggunakan kata dan kalimat. Juga jangan sampai berlebihan sehingga menimbulkan kesan 'nggaya', sekadar gincu. Ini untuk menghindari pula anggapan minteri (sok pintar).
Adapun tatas artinya mencapai sasaran, menghasilkan sesuatu yang diharapkan. Dengan demikian, orang (rakyat) yang mendengarkannya bisa memahami dan mengikutinya. Bukan menimbulkan kegaduhan yang menghabiskan energi.
Dengan menyadari posisinya, Kresna senantiasa menjaga lathi (mulut) agar tidak terkesan ‘murahan’ yang membuat orang (rakyat) gerah. Meski demikian, Kresna juga pandai bercengkerama tanpa membuatnya tereduksi karena bicaranya.
Nilai pejabat negara itu tentu hasil kerjanya. Namun, bukan berarti berkomunikasi yang baik itu tidak penting. Kenapa? karena bicara itu ialah cermin hati dan apa yang ada dalam kepala seseorang. Di situlah sesungguhnya kualitas seseorang terbaca. (M-2)