TUMBUH sebagai anak dari seorang dokter membuat Neneng kecil ingin menjadi seperti sang ayah. Ia kerap ikut sang ayah ketika praktik, jaga di rumah sakit, hingga melakukan prosedur operasi. Begitu lulus SMA, Neneng memutuskan untuk mendaftar jurusan kedokteran di kampus negeri incarannya.
“Jadi, dekan dari universitas yang saya incar itu teman ayah. Dia bilang, oh, kamu lulus, kok, bagus. Terbayang, betapa sombongnya saya waktu itu? Nah, dulu kan pengumuman penerimaan kampus itu masih di koran. Ketika saya buka, sudah yakin 120% diterima, ternyata tidak ada nama saya di situ. Bisa dibayangkan, cita-cita dari kecil itu hilang? Tentu sangat berat pada saat itu,” kenang Neneng Goenadi ketika cita-citanya gugur.
Meski ditolak kampus idaman, Neneng sebenarnya diterima di fakultas kedokteran pada universitas swasta. Namun, tak diambil, ia justru putar arah dengan mendaftar kuliah jurusan teknik sipil di Universitas Parahyangan, Bandung. Saat menjalani masa kuliah, ternyata dirinya tidak menyukai jurusan tersebut.
“Ingin coba. Ternyata susah banget, dan itu jadi tantangan. Tahun berikutnya, ayah tidak mengizinkan untuk masuk kedokteran. Dia mengatakan, 'kalau mau jadi adapter, kamu harus bisa pilih dan hasilnya akan bagus, di kampus mana pun'. Saya mengikuti. Apakah saya bahagia? Tentu tidak, tapi itu konsekuensi dari kesombongan saya. Pada tahun pertama merasa tertantang di tempat yang susah. Saya cuma belajar untuk bisa cepat lulus, bukan karena saya pintar, tapi cuma ingin selesai saja,” tutur Neneng.
Setelah lulus dari teknik sipil, Neneng langsung melanjutkan kuliahnya ke Amerika Serikat untuk mengambil gelar MBA. Masa itu, ujarnya, memang sedang tren mengambil gelar MBA. Neneng pun kuliah lagi di Cleveland State University dan berhasil meraih gelar master of business administration (MBA) di bidang keuangan.
Sepulang dari AS, Neneng mendaftar di perusahaan bank asing, tetapu ditolak. Langkahnya berhenti di perusahaan konsultan dan berkarier cukup lama. Meski sebelumnya tidak memiliki pengalaman di bidang tersebut, ternyata ia menyukai.
Dalam melewati berbagai fase hidup, Neneng melewati beberapa krisis, tapi enggan menerima begitu saja. Meski kesulitan menjalani kuliah para teknik sipil, ia bisa menikmati hidup semasa kuliah dengan teman-teman kampusnya.
“Saya agile dan adaptif dengan situasi. Alih-alih saya ‘kemrungsung’ dan tidak move on, saya lebih baik menerimanya, lalu beradaptasi, dan move on," tuturnya.
Hal lain yang ditekankan Neneng ialah di era teknologi semakin canggih, jangan sampai membandingkan pencapaian kita dengan orang lain yang terlihat di media sosial. Penting untuk diingat bahwa semua yang muncul di media sosial tidak mengungkap yang ada di dunia nyata.
"Your network is your net worth. Dalam hidup, penting untuk punya banyak network. Kalau masih muda, itu perlu value. Jangan korbankan value yang kalian yakini dan miliki untuk mengejar sesuatu, at all cost," tukasnya. (Jek/M-2)