SUDAH 15 tahun, Rahmah mengantongi sertifikat organik dan fair trade untuk produk kopinya. Berkat itu, Rahmah bersama Koperasi Ketiara yang berdomisili di Aceh Tengah telah mengekspor kopi arabika gayo ke berbagai negara. Teranyar, tahun ini Rahmah bersama Ketiara mengekspor enam kontainer biji kopi dengan volume satu kontainernya sekitar 19,2 ton.
Koperasi Ketiara memiliki sekitar 1.700 anggota petani kopi yang tersebar di 18 desa di Aceh Tengah dan Bener Meriah. Semua anggota sudah tesertifikasi organik (EU, NOP/sertifikasi organik Uni Eropa), fair trade, dan RFA (Rainforest Alliance). Sertifikasi terakhir merujuk pada produk atau bahan tertentu yang diproduksi dengan bertanggung jawab. Sertifikasi tersebut bertujuan melindungi hutan, meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat hutan, serta membantu mereka beradaptasi dengan perubahan iklim.
“Kami dibantu staf untuk mengelola sekian banyak petani, di lapangan ada delegasi. Setiap 60 petani memiliki satu delegasi. Memang sudah peraturan standar, lalu ada juga kolektor sehingga ketika ada masalah atau kendala di lapangan, misalnya petani yang ingin instan dengan langsung nyemprot biji kopi, bisa ketahuan oleh si delegasi itu," kata Rahmah saat berbincang dalam sesi diskusi Coffee Quality, Variety, and Post-Harvest Development: Maintaining Economic Demand without Leaving the Soul of Coffee, yang menjadi rangkaian dari Jakarta International Coffee Conference (JICC), di Gedung AA Maramis, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Oktober lalu.
Untuk bergabung menjadi anggota Koperasi Ketiara, tentu ada syaratnya, seperti memiliki lahan sendiri dan mendaftar dengan KTP. Setelah itu, Ketiara akan mendaftarkan perkebunan kopi milik petani tersebut untuk bisa memperoleh sertifikat organik. Karena itu, petani yang berada dalam naungan Ketiara harus patuh pada standar dan peraturan yang telah ditetapkan. Beberapa di antara peraturan tersebut ialah dilarang menyemprot tanaman kopinya dengan bahan kimia, proses tanam dan panen harus mengikuti aturan, dan ada standar proses pascapanen harus dilakukan dengan model giling basah.
“Secara kualitas pascapanen, salah satu persyaratannya soal waste water. Limbah hasil proses kopi tidak dibuang langsung ke air sehingga tidak mencemari bendungan. Prosesor harus bisa meyakinkan atau menjamin tidak ada pencemaran lingkungan dari hasil pengolahan kopi. Dapat kualitas tanpa mengorbankan lingkungan," kata tim kopi dari organisasi nonpemerintah Rainforest Alliance yang juga mengeluarkan sertifikasi, Intan Fardinatri.
Mendorong perubahan rantai pasok
Manfaat yang didapat petani dengan mengikuti standar sertifikasi yang diakui pasar internasional ialah lebih terarah dalam proses tanam hingga pascapanen. Para petani juga mendapat pembinaan dan pelatihan untuk memperlakukan kopi sesuai dengan standar yang ditetapkan.
“Dengan memiliki sertifikasi organik, pastinya turut membantu daya jual. Semua pembeli membutuhkan kopi kami yang besertifikat organik dan fair trade. Jadi, kami 100% ekspor,” ucap Rahmah.
Masa panen di kawasan Aceh Tengah dan Bener Meriah berlangsung pada September–Mei. Negara tujuan ekspor kopi arabika besertifikat organik dan fair trade produksi Ketiara di antaranya Amerika dan Inggris. Untuk satu kontainer, imbuh Rahmah, harga yang diterima sebesar Rp120 juta. Total harga jual akan dibagi dengan persentase ke berbagai departemen seperti petani hingga dana lingkungan.
Sementara itu, Intan menambahkan, proses sertifikasi dunia kopi sudah semakin berkembang. Pada kurun dua dekade sebelumnya, sertifikasi petani kopi salah satunya diukur dengan audit rantai pasok seperti invetarisasi stok kopi di gudang, pendataan nama petani, dan dari wilayah mana kopi tersebut didapat. Kini, standar yang dikualifikasi mengharuskan lebih banyak syarat.
“Kalau sebelumnya air limbah pemrosesan kopi dibuang begitu saja ke sungai, sekarang tidak boleh. Harus ada pendekatan yang mendorong mereka lebih peduli pada lingkungan. Produsen dan eksportir tahu apa yang harus dilakukan. Nah, sertifikasi ini menjadi salah satu cara untuk mendorong perubahan dalam rantai pasok industri kopi,” ungkap Intan.
“Sertifikasi di Rainforest Alliance menjadi alat untuk meyakinkan para pembeli bahwa produk tersebut organik dan telah melalui berbagai tahapan. Itu menjadi salah satu alat yang powerful untuk mengomunikasikan impak di lingkungan ke konsumen akhir. Seperti Bu Rahmah, yang 70% kopinya diekspor ke Amerika Serikat,” lanjut Intan. (M-2)