Menilik Populisme Islam dan Pengemasannya di Media

2 weeks ago 7
Menilik Populisme Islam dan Pengemasannya di Media (MI/Duta)

BICARA soal populisme, secara umum, dapat dimaknai sebagai bentuk politik yang memosisikan rakyat berhadap-hadapan dengan elite. Salah satu bentuk populisme ialah populisme Islam, melibatkan mobilisasi dan homogenisasi massa melawan yang diidentifikasi sebagai elite. 'People', 'rakyat', atau 'massa' dalam konteks Islam ialah umat atau ummah. Sementara itu, umat supranasional sering kali berkonflik dengan nasionalisme modern (Smith, 1971).

Lalu, bagaimana contoh populisme? Jika menilik ke belakang, satu hal yang kerap dimainkan populisme ialah politik identitas. Salah satu contoh terjadinya politik identitas pada saat berlangsungnya Pilkada DKI Jakarta 2017. Pesta demokrasi tersebut sangat kental dengan politik identitas agama, yang kemudian merujuk pada populisme agama. Evans (2017) melihat politik agama atau politisasi agama dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 menciptakan polarisasi antara 'kiri' dan 'kanan'. Sementara itu, Agustino (2017) menyebut isu penistaan agama sebagai faktor utama yang membuat kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Anies Baswedan-Sandiaga Uno mengungguli kandidat petahana, yakni Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat.

Politisasi agama itu secara lebih detail berwujud dari pengharaman memilih pemimpin yang bukan muslim, sebutan kafir terhadap satu kandidat, tuduhan penodaan agama terhadap satu kandidat, demo bergelombang menuntut kandidat penoda agama dihukum, dan lainnya. Melalui tuduhan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menistakan agama, umat dihadap-hadapkan dengan elite yang direpresentasikan oleh Ahok. Melalui kata pribumi, pribumi muslim dihadap-hadapkan dengan Ahok yang merupakan representasi elite nonpribumi dan nonmuslim.

Bersamaan dengan menggejalanya populisme dalam dunia politik, peran media semakin penting, baik secara langsung maupun tidak, memengaruhi segala aspek kehidupan masyarakat. Dalam khazanah ilmu komunikasi atau komunikasi politik, semakin penting dan meningkatnya peran media itu disebut dengan istilah mediatisasi. Mediatisasi memengaruhi masyarakat, mulai struktur keluarga hingga proses penuaan, dari hubungan gender hingga kekuasaan, mulai aparatus politik sampai struktur ekonomi, masyarakat kontemporer menjadi bagian dari media.

Persoalan Pilkada DKI dan populisme agama menjadi pembuka buku bertajuk Populisme Islam di Indonesia dan Bagaimana Media Memberitakannya karya Usman Kansong. Buku itu hendak menjawab pertanyaan besar mengenai bagaimana agensi media dalam struktur mediatisasi bertindak memediatisasi populisme Islam sehingga terbentuk suatu perubahan sosial.

Populisme: sesosok hantu mengintai demokrasi

Pada bab ini, Usman Kansong memaparkan tentang asal-usul populisme yang mengacu pada gerakan petani di Rusia pada abad ke-19, dalam bahasa Inggris diterjemahkan menjadi going to the people. Gerakan itu lantas berkembang pesat di Amerika pada 1880-1890-an yang dikenal sebagai gerakan populis (populist movement).

Gerakan populis tersebut kemudian menjadi partai yang diberi nama Poeple’s Party yang dengan segala kekuatannya mengartikulasikan populisme Amerika yang menekankan pada nasionalisme-kewarganegaraan progresif. Para aktivis yang sebagian berasal dari selatan dan barat memperjuangkan kepentingan bersama pekerja di desa dan kota serta menjauhkan massa dari monopoli industri dan keuangan yang memiskinkan mereka.

Salah satu contoh kesuksesan menjual populisme, yakni kemenangan Donald Trump dalam Pilpres 2016. Kemenangan Trump itu merupakan terobosan paling penting yang dibuat kalangan populis nasional dalam 10 tahun krisis finansial. Populisme pun berkembang hingga ke Benua Eropa.

Buku itu pun menghadirkan beberapa contoh pemimpin yang terindikasi sebagai populis, di antaranya Presiden AS Donald Trump, Kanselir Austria Sebastian Kurzt, Presiden Rusia Vladimir Putin, Perdana Menteri Hongaria Victor Orban, Presiden Filipina Duterte, Presiden Brasil Bolsonaro, dan Perdana Menteri India Narendra Modi. Mereka terpilih dalam pemilu demokratis, tetapi karena menerapkan populisme, membawa demokrasi pada resesi dan kemunduran.

Di Indonesia, salah satu yang dianggap membuat proses demokrasi menjadi stagnan, bahkan dikhawatirkan berubah menjadi otoritarian, ialah ketika Prabowo Subianto mencalonkan diri sebagai presiden pada Pemilu 2014. Sejumlah pakar mengidentifikasi Prabowo sebagai pemimpin populis otoriter. Itu artinya populisme setara dengan otoritarian dan bertentangan dengan demokrasi.

Dari syarikat dagang Islam menuju Pilkada DKI 2017

Pembahasan kembali mengerucut dengan mengambil perjalanan populisme di Indonesia. Vedy R Hadiz (2016) menelusuri asal-muasal populisme Islam di Indonesia hingga ke syarikat Islam (SI) pada awal abad ke-20, lalu ke Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi. Syarikat Islam merupakan metamorfosis dari syariat dagang Islam. SDI bergerak dalam penguatan ekonomi di kalangan pengusaha muslim, terutama dalam menghadapi kekuatan bisnis Tionghoa yang didukung oleh Belanda.

Saat itu, terdapat anggapan umat dimarginalisasi penguasa, baik secara politik maupun ekonomi. Di sisi lain, penguasa menganakemaskan kaum priayi (elite sekuler), minoritas Tionghoa, dan Kristen. Populisme Islam kiranya mempromosikan ide muslim pribumi termarginalisasi dan dieksploitasi elite sekuler serta nonmuslim. Hadiz pun menyebut populisme Islam di Indonesia itu sebagai populisme tradisional atau populisme Islam lama.

Populisme semakin subur ditandai dengan penggunaan ideologi populis pada rezim Soekarno untuk memperluas pengaruh. Gaya kepemimpinannya punya ciri karismatik yang memperbesar popularitasnya serta memperkuat solidaritas rakyat. Dengan gaya kepemimpinannya tersebut, Soekarno menjadikan Indonesia sebagai negara terpusat. Di sisi lain, partai nasionalis seperti PNI begitu kuat. Menguatnya kaum nasionalis dan makin terpusatnya negara di tangan Soekarno lewat demokrasi terpimpinnya menyuburkan populisme.

Pada masa Orde Lama, di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, program benteng merupakan kebijakan ekonomi populis yang diluncurkan pemerintah Indonesia pada April 1950 dan secara resmi dihentikan pada 1957. Tujuannya ialah membina pembentukan suatu kelas pengusaha Indonesia 'pribumi'. Pada masa itu, berlangsung populisme (Islam) antikonglomerat Tionghoa yang digerakkan oleh sejumlah pengusaha pribumi terkemuka, kalangan akademisi sosialis, anggota parlemen populis, dan sejumlah pemimpin akar rumput.

Kemudian pada era reformasi justru terjadi pergeseran bentuk populisme. Jika pemimpin populis sebelumnya menggunakan isu kaya-miskin atau kesenjangan ekonomi, kini menggunakan isu Islam-bukan Islam, pribumi-nonpribumi, mayoritas-minoritas.

Dengan kata lain, populisme di Indonesia bergeser dari kiri ke kanan. Pergeseran dari ekonomi ke politik kultural atau identitas juga terjadi dalam populisme Amerika dan Eropa.

Agama dalam konteks populisme, mengikuti jalan pikiran Cremer (2023), mencakup tiga wilayah. Pertama, agama sebagai doktrin, nilai, dan keyakinan. Dalam konteks populisme Islam dalam Pilkada DKI 2017, terdapat doktrin, nilai, dan keyakinan bahwa pemimpin haruslah seorang muslim. Kedua, agama sebagai praktik empiris, misalnya perilaku politik, tatanan sosial, dan institusi keagamaan. Dalam hal ini, populisme Islam menjadi perilaku politik pada Pilkada DKI 2017. Ketiga, agensi, perumus doktrin dan pelaku praktik empiris. Dalam buku ini, agensi populisme Islam ialah kelompok-kelompok Islam konservatif, salah satunya FPI, yang memobilisasi unjuk rasa menentang Gubernur Ahok. Kandidat Gubernur Anies Baswedan yang menikmati hasil praktik populisme Islam juga diperlakukan sebagai agensi.

Konsultan politik Anies-Sandi pads Pilkada DKI 2017, Eep Saefulloh Fatah, dalam satu tulisannya yang viral di media sosial, menulis agar pendukung Ahok tak cengeng melihat isu agama dalam Pilkada DKI 2017. Eep mengatakan jika kandidat berbeda agama, isu agama pasti akan mencuat. Itu biasa dalam kontestasi di seluruh dunia, bukan khas Indonesia. Eep pun mencontohkan bagaimana Kennedy yang minoritas kreatif menggunakan isu agama sehingga dia sukses mengalahkan Nixon yang mayoritas Protestan pada Pilpres AS 1960.

Selain menghadap-hadapkan rakyat pribumi dan elite korup, populisme juga mencakup orang luar. Dalam Pilkada DKI 2017, kalangan populis Islam menganggap mereka tidak ikut serta atau mendukung aksi menolak Ahok sebagai musuh atau sebagai orang luar. Akibatnya, terjadi polarisasi di masyarakat Indonesia, bukan hanya di Jakarta, melainkan juga di antara kalangan konservatif agama yang mengharamkan pemimpin bukan muslim dan kalangan demokrat yang menghalalkan pemimpin bukan muslim.

Dalam populisme sayap kanan dan populisme agama, pemuka agama dan fatwa mereka bisa memobilisasi massa atau umat. Di Indonesia, dalam kasus Pillkada DKI 2017, fatwa MUI yang menyatakan Ahok menistakan agama telah memobilisasi umat Islam untuk berunjuk rasa berjilid-jilid.

Agensi media hingga politik

Bagian ini membahas bagaimana media memberitakan populisme Islam. Secara teoritis, bagian ini membahas mediatisasi populisme Islam. Untuk keperluan tersebut, bagian ini setidaknya melibatkan dua teori utama, yakni mediatisasi politik dan populisme Islam. Mediatisasi politik bisa dikatakan merupakan teori utama dalam penelitian tersebut. Teori mediatisasi politik mempunyai akar dari teori-teori besar lainnya.

Satu grand theory yang kiranya bisa dijadikan dasar atau pendekatan bagi mediatisasi politik ialah teori strukturasi uang yang diintroduksi oleh Anthony Giddens. Teori strukturasi sendiri terkait erat dengan teori laim yang diperkenalkan Giddens, yakni double hermeneutics. Lebih lanjut bagian ini membahas teori strukturasi, double hermeneutics, mediatisasi, populisme Islam, serta mediatisasi populisme.

Sementara itu, mediatisasi politik termasuk ke ranah komunikasi politik yang belakangan digunakan dalam riset. Castell mendefinisikan politik media sebagai perilaku politik melalui dan oleh media. Dalam definisi itu, terkandung proses interelasi atau hubungan timbal balik, yakni bagaimana politik menggunakan media dan bagaimana media memberitakan atau menyampaikan pesan politik.

Dalam konteks penelitian ini, media punya kepentingan berbeda-beda dalam hal populisme Islam. Mungkin ada media yang kritis, netral, atau mendukung populisme Islam, tergantung kepentingan organisasional, profesional, atau politik disebut logika media. Menurut teori mediatisasi politik, politik sendiri cenderung beradaptasi dengan logika media ini supaya memiliki akses ke media.

Pada bab selanjutnya, Usman Kansong membahas tentang bagaimana media massa digunakan dan perubahannya. Jika pada masa rezim Orde Baru media diperlakukan sebagai sasaran tekanan sekaligus sebagai alat legitimasi kekuasaan, kekuasaan menekan pers dengan seperangkat restriksi keamanan yang rumit serta legislasi yang keras mengontrol pers, pada saat yang bersamaan, Orde Baru menjadikan pers dan media sebagai alat mempertahankan, melegitimasi, dan mereproduksi kekuasaannya.

Dalam era reformasi, yang mana Pilkada DKI Jakarta 2017 berlangsung, tekanan bukan lagi datang dari penguasa, melainkan pemilik dan aspek bisnis. Pemilik memengaruhi kebijakan editorial sehingga independensi media terganggu. Dari sisi aspek bisnis, sering kali tidak jelas batas antara berita dan iklan. Anneth Keller yang meneliti empat surat kabar di Indonesia (Kompas, Media Indonesia, Tempo, dan Republika) dari sisi kepemilikan menyebutkan tantangan yang datang dari pemilik merupakan tantangan dari dalam.

Secara keseluruhan, buku Populisme Islam di Indonesia dan Bagaimana Media Memberitakannya ini menyajikan analisis mendalam tentang keberadaan dan perkembangan populisme Islam di Indonesia. Buku ini menjadi bacaan yang sangat berharga bagi siapa saja yang tertarik pada politik Indonesia, media, dan agama.

Usman Kansong berhasil memberikan wawasan yang mendalam tentang bagaimana populisme Islam berkembang dan bagaimana media memainkan peran penting dalam membentuk serta menyebarkan narasi tersebut. Usman pun menekankan bahwa media memiliki peran signifikan dalam membentuk persepsi publik mengenai populisme Islam, baik yang memperkuat maupun yang meredam gerakan tersebut.

Meskipun gaya penulisan buku ini cenderung ilmiah atau bersifat akademis, tetap mudah dipahami lantaran ada banyak data dan fakta sebagai pendukung argumen penulis. Usman pun berhasil menyajikan informasi dengan cara yang menarik. (M-3)

Judul Buku: Populisme Islam di Indonesia dan Bagaimana Media Memberitakannya
Penulis: Usman Kansong
Penerbit: Kompas, PT Kompas Media Nusantara
Tebal Buku: 304 halaman
Kategori Buku: Nonfiksi

Read Entire Article
Global Food