INDONESIA Corruption Watch menilai ketiga pasangan calon debat kedua Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta masih belum menunjukkan platform kampanye yang konkret guna memberantas korupsi di pemerintahan provinsi. Minimnya komitmen antikorupsi di penghujung fase kampanye ini, menjadi prospek mengkhawatirkan bagi tata kelola pemerintahan Jakarta ke depan.
Kepala Divisi Korupsi Politik ICW, Egi Primayogha mengatakan bahwa bahwa seluruh pasangan calon yang tengah berkontestasi dan telah berkampanye masih belum secara memuaskan menunjukkan gagasan dan rencana mereka untuk melawan korupsi.
“Padahal, pemerintah provinsi Jakarta layaknya banyak pemerintahan daerah di seluruh penjuru Indonesia, masih dijangkiti penyakit kronis bernama korupsi yang mengganggu tata kelola dan menyedot anggaran daerah,” ujarnya dalam keterangan resmi yang diterima pada Selasa (29/10).
Sebagaimana penetapan resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU), fase kampanye untuk Pilkada serentak telah resmi berlangsung semenjak 25 September 2024. Mengacu pada dokumen visi-misi, pasangan calon Dharma Pongrekun - Kun Wardana serta Pramono Anung - Rano Karno sama sekali tidak mencantumkan secara eksplisit isu korupsi.
Sementara itu, pasangan Ridwan Kamil - Suswono, meski mereka mencantumkan sejumlah poin terkait penanganan korupsi–utamanya pada poin sektor pendidikan dan reformasi birokrasi, gagasan yang tertuang masih bersifat terlalu abstrak dan belum secara tepat dapat memberikan solusi realistis untuk membenahi akar persoalan korupsi di Jakarta.
Egi menyatakan keringnya gagasan antikorupsi pada dokumen resmi visi-misi seluruh pasangan calon juga tercerminkan pada debat perdana di tanggal 6 Oktober 2024 yang mengangkat tema “Penguatan Sumber Daya Manusia dan Transformasi Jakarta menjadi Kota Global.”
“Tidak terucap sekalipun ide-ide terkait rencana pencegahan dan pemberantasan korupsi yang sebetulnya sangat berkelindan dengan tema debat yang diangkat. Setidaknya terpantau bahwa isu antikorupsi pada debat perdana tersebut hanya terucap oleh Suswono tentang gagasan pelayanan aduan langsung oleh rakyat melalui hotline kantor gubernur,” ungkapnya.
Menurut Egi, pada debat kedua yang diselenggarakan di tanggal 27 Oktober 2024 dengan tema “Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial,” dua aspek yang selalu terhambat perkembangannya akibat korupsi, tidak menghadirkan perdebatan tentang isu aktual dan gagasan tentang pemberantasan serta pencegahan korupsi.
“Tercatat isu antikorupsi hanya disebut oleh Kun Wardana tentang gagasan penggunaan blockchain sehingga dapat mencegah korupsi, pungutan liar di berbagai sektor, termasuk pengadaan barang dan jasa,” tuturnya.
Berkenaan dengan hal di atas, Egi menggarisbawahi bahwa sekalipun sempat terucap pada debat pertama dan debat kedua, gagasan antikorupsi yang dilontarkan pun masih belum menggambarkan pemahaman permasalahan korupsi di Jakarta.
“Sehingga gagasannya masih terkesan masih terlalu mengawang karena tidak berangkat dari persoalan aktual,” imbuh Egi.
Badan Kepegawaian Negara tahun 2018 mencatat bahwa Provinsi Jakarta menempati posisi teratas sebagai provinsi dengan pegawai negeri sipil terbanyak yang menjadi pelaku tindak pidana korupsi.
Egy menyebut beberapa kasus korupsi teranyar yang melibatkan pemerintahan provinsi Jakarta berangkat dari pengadaan barang dan jasa, spesifiknya terkait dengan pengadaan lahan. Misalnya kasus di Cengkareng, Rorotan, serta Cipayung.
“Ketimbang berlomba-lomba untuk menjual gimmick terkait program-program baru, sebetulnya para calon kepala daerah bisa mengangkat gagasan-gagasan yang meski terlihat sederhana tetapi justru mengoptimalkan modalitas antikorupsi yang sudah ada,” jelasnya.
Egi mendorong para calon gubernur dan wakil gubernur yang nantinya akan memenangkan Pilkada, harus mampu memperkuat Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) dengan menawarkan model peningkatan integritas internal pemerintah provinsi.
“Hal ini bisa dilakukan melalui kebijakan pengelolaan konflik kepentingan yang progresif atau kolaborasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk meningkatkan kualitas pelaporan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) di jajaran pemerintah provinsi nantinya,”
Selain itu, model lain yang juga bisa diterapkan adalah membuka lebih lebar transparansi dan partisipasi publik dari pengadaan barang dan jasa yang sebetulnya sudah terakomodir melalui kanal Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). (Dev/I-2)