DALAM hitungan hari KPU akan menggelar Pilkada untuk 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Besarnya sumber dana yang dibutuhkan membuat para kandidat kerap melakukan praktik kotor dan bersimbiosis dengan para pelaku bisnis di sektor hutan dan tambang.
Praktik ini kerap diduga melahirkan kejahatan pencucian uang. Litbang Kementerian Dalam Negeri menyebut besarnya dana untuk menjadi bupati atau wali kota rata-rata Rp30 miliar, sedangkan biaya menjadi gubernur bisa mencapai Rp100 miliar. Kebutuhan dana untuk mendapatkan suara dari pemilih yang makin transaksional membuat peluang mendapatkan kandidat berkualitas semakin kecil. Sebaliknya, segala upaya akan dilakukan oleh calon terpilih yang ingin mengembalikan modal secepatnya saat terpilih nanti.
Seperti dalam pileg, kebutuhan dana dalam pilkada tentu menjadi kebutuhan para kandidat dalam pilkada. Melihat hal tersebut, Indonesia Working Group on Forest Finance (IWGFF) bersama Bawaslu, Formappi, Koalisi pemilu bersih (Kopi Bersih), dan Indonesia budget center mendorong gerakan green democracy untuk mendorong agar proses pemilihan kepala daerah bersih dari money politics.
Direktur IWFGG Willem Pattinasarany mengatakan, para kandidat Pilkada diharapkan memiliki visi tentang pembangunan di daerahnya yang berdampak baik pada keberlangsungan lingkungan dan sumber daya alam, serta masyarakat. Pilkada ini diharapkan menghasilkan pemimpin yang memiliki visi dan misi pembangunan ekonomi hijau di daerah.
"Para kandidat dalam pilkada jangan sampai tersandera dengan pemberian sumbangan besar untuk dana kampanye mereka yang berasal dari perusahaan yang memiliki rapot merah dalam urusan pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam. Ini bisa menjadi ancaman serius bagi proses demokrasi dan pelestarian lingkungan di Indonesia," kata Willem, Jumat (15/11).
Laporan PPATK tentang adanya transaksi janggal dari sekitar 100 calon legislatif jelang Pemilu 2024 yang mencapai Rp51,47 triliun menjadi bukti tak terbantahkan mengenai praktik kotor ini. Proses demokrasi ini juga dapat menjadi ajang pencucian uang dari kejahatan lingkungan dan kejahatan lainnya.
"Setelah kandidat terpilih dikhawatirkan nantinya kebijakan pembangunan daerah yang diambil akan memberikan privilege kepada perusahaan tersebut, bisa berakibat makin rusaknya tata kelola hutan dan sumber daya alam di Indonesia," ungkapnya.
Willem menambahkan, penting untuk masyarakat mulai peduli dan menolak bagi-bagi amplop saat serangan fajar yang diberikan kandidat kepada mereka. Jumlahnya tidak seberapa dibandingkan dengan dampak kerusakan jangka panjang lingkungan. Dampak dari kejahatan lingkungan dikatakan Willem justru malah akan mengganggu kesehatan, infrastruktur pembangunan hingga mata pencaharian masyarakat itu sendiri.
Dalam kesempatan yang sama, manager riset Formappi Lucius Karus menekankan pentingnya tata kelola kepemiluan yang transparan dan akuntabel. Belajar dari pelaksanaan pemilihan anggota legislatif lalu, indikasi praktik jahat yang dilakukan oleh para penyelenggara pemilu kepada kandidat dan gerbong pendukungnya juga menjadi ajang tidak netralnya proses pemilihan umum yang diadakan.
"Banyak caleg yang seharusnya gugur saat proses seleksi administrasi tetap dapat mengikuti pemilu dan bahkan sebagian terpilih menjadi anggota legislatif," ucap Lucius.
Transparansi dan akuntabilitas para penyelenggara pemilu harus ditingkatkan saat pelaksanaan pilkada serentak nanti. Masyarakat wajib melakukan pemantuan terhadap para penyelenggara pemilu ini dalam melaksanakan tugasnya agar praktik-praktik kotor tersebut tidak terulang kembali.(M-2)