WHO atau Organisasi Kesehatan Dunia PBB kembali menyerukan gencatan senjata seusai rumah sakit di Jalur Gaza diserang pasukan Israel. Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menegaskan, gencatan senjata harus segera dilakukan untuk melindungi warga sipil dan petugas kesehatan di wilayah tersebut.
"Sangat menyedihkan bahwa rumah sakit di Gaza terus diserang. Banyak nyawa bergantung kepada pemberlakuan gencatan senjata segera dan tanpa syarat. Sudah waktunya menghentikan baku tembak dan mewujudkan perdamaian!" tulis Tedros melalui X.
Untuk diketahui, Rumah Sakit Kamal Adwan di Gaza utara yang berlantai tiga diserang setelah tim WHO meninggalkan lokasi tersebut. Serangan kesekian kalinya terhadap rumah sakit itu melukai enam pasien anak dan satu di antaranya saat ini dalam kondisi kritis.
Menurut Tedros, penembakan terus dilakukan tentara Israel di sekitar rumah sakit ketika staf WHO mengantarkan perlengkapan penting antara lain peralatan medis, 150 unit darah dan 20 ribu liter bahan bakar. "Meskipun berisiko, tim WHO tetap memindahkan 25 pasien dan 37 pendamping menuju Rumah Sakit Al-Shifa," ungkapnya.
Tedros juga mengecam kurangnya perlindungan bagi petugas layanan kesehatan di tengah pengeboman tanpa jeda Israel sehingga sangat menyulitkan memasok bantuan kemanusiaan. "Di RS itu mereka berusaha memindahkan lima pasien namun gagal memasok perlengkapan karena membahayakan operasional rumah sakit," ujarnya.
Juru bicara PBB Stephane Dujarric menegaskan pihaknya tidak berubah dan terus mendukung UNRWA sekalipun Israel sudah bersurat dan memutuskan kerja sama dengan badan PBB untuk pengungsi Palestina itu.
Pada Minggu (3/11) waktu setempat, Israel secara resmi memberi tahu PBB tentang keputusan menarik diri dari perjanjian dengan UNRWA karena alasan keamanan.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, kata Dujarric, tidak akan mencabut dukungan terhadap UNRWA. "Tidak ada alternatif selain UNRWA," tegas Dujarric.
Dia menambahkan UNRWA sejak kemarin sudah melanjutkan kegiatan operasional. Hal ini penting karena bidang pekerjaan UNRWA bukan hanya kemanusiaan, tetapi juga pendidikan dan perawatan kesehatan.
"Setiap kegagalan dalam menyediakan bantuan yang diperlukan masyarakat (Palestina) akan menjadi tanggung jawab Israel," katanya.
Lebih jauh Dujarric mengatakan, semua negara yang memasok senjata ke pihak-pihak yang bertikai dalam konflik memiliki tanggung jawab moral. Hal itu ia sampaikan guna menanggapi surat yang dikirimkan Turki dan 52 negara anggota PBB lainnya kepada Dewan Keamanan PBB pada 1 November lalu.
Melalui surat tersebut, 53 negara menyerukan tindakan segera dari Dewan Keamanan PBB untuk menghentikan pasokan senjata dan amunisi ke Israel.
"Saya pikir negara-negara pemasok senjata kepada pihak-pihak yang bertikai memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa mereka tidak dimanfaatkan dalam pelanggaran hukum internasional. Hal itu diserahkan kepada para anggota untuk bersikap," cetus dia.
Di sisi lain, Kementerian Luar Negeri Mesir mengecam langkah Israel yang menarik diri dari perjanjian dengan UNRWA selaku penyedia layanan penting bagi pengungsi Palestina.
"Itu pelanggaran terang-terangan dan sistematis terhadap hukum internasional dan prinsip kemanusiaan," demikian pernyataan Mesir.
Mesir juga menegaskan keputusan itu merupakan eskalasi berbahaya yang bertujuan untuk melemahkan perjuangan Palestina, khususnya hak-hak pengungsi dan prinsip hak untuk kembali.
Kementerian Luar Negeri Mesir memperingatkan keputusan Israel dapat menyebabkan runtuhnya dukungan kemanusiaan bagi warga sipil Palestina, mengancam layanan penting yang disediakan oleh badan tersebut.
Kepala UNRWA Philippe Lazzarini mengatakan Israel mengurangi jumlah harian kendaraan bantuan kemanusiaan yang diizinkan masuk ke Jalur Gaza menjadi hanya 30 truk pada Oktober. Hal itu tidak dapat memenuhi kebutuhan lebih dari 2 juta orang.
Padahal, banyak di antara mereka yang kelaparan, sakit, dan berada dalam kondisi putus asa. Ia mencatat truk-truk ini hanya mewakili 6% dari pasokan (komersial dan kemanusiaan) yang diizinkan masuk ke Gaza sebelum perang.
"Ini adalah jumlah terendah dibandingkan waktu-waktu sebelumnya, dan perlu waktu lama untuk mengembalikan bantuan ke tingkat pada awal perang," kata Lazzarni di X.
Sejak perang meletus pada 7 Oktober, Israel memberlakukan penutupan ketat di perbatasan Gaza, membatasi barang-barang esensial dan memberlakukan pembatasan signifikan pada bantuan kemanusiaan sehingga menciptakan kondisi hidup yang parah.
Israel terus melanjutkan serangan menghancurkan di Gaza sejak serbuan tahun lalu oleh Hamas, meskipun ada resolusi Dewan Keamanan PBB yang meminta gencatan senjata segera dilakukan.
Sudah hampir 43.400 orang, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak, terbunuh sejak saat itu sementara lebih dari 102.200 lainnya mengalami luka-luka, menurut otoritas kesehatan setempat. (Anadolu/Fer/P-3)