PERUBAHAN iklim terus menjadi ancaman serius bagi dunia. Badan ilmiah utama PBB untuk iklim, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), kembali mengingatkan dunia akan semakin cepatnya laju pemanasan global. Untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industri, diperlukan investasi besar-besaran dalam teknologi energi bersih, infrastruktur, serta langkah-langkah adaptasi.
Namun, negara-negara berkembang, terutama negara kepulauan kecil dan negara-negara kurang berkembang, berada di garis depan dampak perubahan iklim. Dengan ancaman seperti kenaikan permukaan laut, cuaca ekstrem, dan kekeringan, mereka membutuhkan dukungan finansial besar untuk beradaptasi, membangun ketahanan, dan beralih ke ekonomi rendah karbon.
COP29 menjadi panggung negosiasi penting untuk menentukan masa depan pendanaan iklim global. COP29 berlangsung di tengah perhatian global yang besar, terutama dengan adanya KTT G20 yang akan diadakan di Brasil minggu depan.
Sekretaris Eksekutif UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Simon Stiell menekankan pentingnya peran G20 dalam mengatasi krisis iklim. Ia menyerukan agar para pemimpin dunia menjadikan pendanaan iklim sebagai prioritas utama. “Krisis iklim global harus menjadi urutan pertama dalam agenda di Rio minggu depan,” ujar Stiell.
Ia menekankan perlunya sinyal kuat dari G20 untuk menyediakan lebih banyak pendanaan hibah dan reformasi bank pembangunan multilateral demi mendukung aksi iklim.
Pada 2009, dalam COP15 di Kopenhagen, negara-negara maju berkomitmen untuk menyediakan pendanaan iklim sebesar $100 miliar per tahun pada 2020. Meskipun target ini akhirnya tercapai pada 2022, banyak pihak yang mengkritiknya karena dianggap terlambat dan tidak mencukupi untuk mengatasi skala krisis iklim.
Di COP29, para negosiator berupaya menetapkan target baru yang lebih ambisius. Negara-negara berkembang mendorong angka yang jauh lebih besar, bahkan mencapai triliunan dolar per tahun. Meski demikian, perdebatan mengenai jumlah pasti dan cara penyediaan dana ini masih menjadi hambatan utama dalam pembicaraan.
“Worsening climate change and the socioeconomic damage it inflicts mean billions of people simply cannot afford for their government to leave COP29 without a global climate finance goal,” tegas Stiell.
Dalam pidatonya di KTT Aksi Iklim Pemimpin Dunia, Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menegaskan bahwa tahun 2024 adalah contoh nyata kehancuran iklim. Ia menekankan bahwa pendanaan iklim bukanlah amal, melainkan investasi. “Dunia harus membayar, atau umat manusia yang akan membayar harganya aksi iklim bukan pilihan, melainkan keharusan,” tegas Guterres.
Dengan tekanan besar untuk menghasilkan solusi, para negosiator COP29 diharapkan dapat menemukan titik temu. Komitmen baru yang ambisius tidak hanya penting untuk membantu negara-negara berkembang, tetapi juga untuk memastikan bahwa dunia dapat mengatasi ancaman perubahan iklim secara kolektif.
“Di dunia yang semakin terpecah, kerja sama internasional tetap menjadi satu-satunya cara terbaik untuk bertahan dari pemanasan global,” pungkas Stiell. (Ata/M-4)