UNDANG-undang Nomor 11 Tahun 2010 yang mengatur tentang cagar budaya di Indonesia sering menjadi perbincangan banyak pihak karena dinilai membingungkan. Para ahli yang bergelut dalam bidang cagar budaya mendesak agar UU tersebut harus segera direvisi, karena pasal-pasalnya tidak aplikatif, multitafsir dan tidak relevan lagi dengan kondisi masyarakat sekarang ini.
Gatot Ghautama, Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Provinsi DKI Jakarta mengatakan tidak semua warisan kebendaan yang disebutkan dalam UU itu.
“Setelah saya jalankan dan kemudian masukan dari teman-teman di daerah, ternyata memang ada beberapa gitu atau di undang-undang ini belum mencakup semua jenis warisan budaya kebendaan. Jadi ada yang nggak bisa disebutkan gitu ini apa gitu ya,” ungkapnya dalam Diskusi Ilmiah Arkeologi 2024 di BRIN, Rabu (30/10).
Dalam UU itu disebutkan cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan baik itu di darat atau di air. Sayangnya dalam penerapannya kerap kali menyusahkan karena tidak dijelaskan secara detail.
“Kan udah ada benda, ada struktur. Nah ketika saya dikasih contoh itu rock art (seni cadas) di tebing-tebing di Raja Ampat, itu namanya apa itu. Kita mau sebut apa itu rock art, apakah benda atau bukitnya itu yang mau kita jadikan warisan cagar budaya, itu juga sulit gitu. Jadi kita harus mulai menggali lagi gitu beberapa jenis cagar budaya,” pungkasnya.
Gatot juga menilai ada sejumlah pasal yang multitafsir karena tidak diurai secara rinci. Selain itu, ketidakjelasan kriteria penentuan warisan kebendaan untuk pengolongan cagar budaya.
“Itu tadi ya, menentukan dulu jenisnya apa, benda, bangunan, struktur, itu pun masih jadi perdebatan, sebagian sebut struktur, sebagian sebut benda. Kemudian ada kriteria, yaitu memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa, ini buat kami sebagai ahli berat banget ini. Itu yang paling krusial karena itu yang menentukan ini nanti ditetapkan sebagai cagar budaya atau bukan,” tambahnya.
Arya Abieta, Arsitek sekaligus Ketua Tim Ahli Pelestarian Provinsi DKI Jakarta menilai penerapan UU ini kurang tepat untuk daerah perkotaan. Mengingatk daerah tersebut mengalami perkembangan pembangunan yang cepat. Hampir keseluruhan pasal di dalamnya membahas tentang pelesetarian cagar budaya untuk menjaga keasliannya.
“Undang-undang ini hanya untuk arkeolog. Kami baca undang-undang ada empat juga, restorasi, rehabilitasi, konsolidasi, dan rekonstruksi itu semua ada kata-kata asli di belakangnya. Buat kami (arsitek), berat sekali kalau ada kata-kata asli karena ada fungsi-fungsi baru (kemanfaatan),” ungkap Arya.
Ia mengusulkan agar, UU cagar budaya tidak hanya membahas terkait pelestarian. UU itu sebaiknya mengangkat tentang asas manfaatnya, sehingga dinilai cocok untuk perkembangan yang ada di kota. (Z-3)