DALAM sistem demokrasi modern, akuntabilitas dan moralitas publik menjadi landasan utama dalam penyelenggaraan negara. Namun, di Indonesia, praktik-praktik tersebut sering kali terabaikan.
Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Kementerian Perencanan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Amich Alhumami menegaskan pentingnya mengembalikan etika dan keteladanan sebagai fondasi dalam mengelola pemerintahan.
“Demokrasi modern mengandaikan ada pertanggungjawaban publik, bahwa jabatan publik yang diemban itu mensyaratkan pertanggungjawaban kepada konstituen secara keseluruhan,” ungkap Alhumami dalam FGD bertema Memperkokoh Etika Penyelenggara Negara dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Universitas Sumatera Utara, Medan, Sumut, Jumat (1/11/2024).
Amich Alhumami mencontohkan bagaimana beberapa tokoh dalam sejarah Indonesia, seperti Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatta, telah memberikan teladan luar biasa dalam moralitas dan etika publik.
“Sjahrir dan Hatta memberikan contoh terbaik keteladanan nasional, mengutamakan moralitas publik dan etika di atas hukum,” ujarnya.
Menurutnya, moralitas dan etika harus dijunjung tinggi, bahkan lebih dari sekadar aturan hukum yang tertulis.
Di sisi lain, Amich juga menyoroti pentingnya keterlibatan intelektual publik sebagai pengawas tata kelola pemerintahan.
Mengutip pemikiran Antonio Gramsci tentang intelektual organik, ia menegaskan intelektual publik memiliki tanggung jawab untuk terus menyuarakan kritik terhadap penyimpangan dalam tata kelola pemerintahan.
“Pencerahan dan kritik publik adalah bagian dari peran intelektual organik, oleh siapa saja yang masih memiliki pikiran untuk merujuk pada warisan berharga dari tokoh sejarah,” ucapnya,
Menurut Amich, tantangan besar lainnya adalah membangun masyarakat yang paham akan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, terutama dalam konteks jabatan publik.
Ia menilai akuntabilitas dan transparansi masih menjadi isu krusial dalam sistem demokrasi Indonesia.
“Prinsip demokrasi modern dalam konsep tata kelola mengandaikan bahwa misuse of public power itu adalah definisi korupsi. Namun, ini mengandaikan pejabat yang memahami prinsip etika publik,” ujarnya.
Ia menggarisbawahi keterlibatan pejabat dalam menyalahgunakan kekuasaan harus diakhiri dengan penegakan prinsip-prinsip moralitas dan akuntabilitas yang kokoh.
Keteladanan, menurut Amich, harus menjadi bagian tak terpisahkan dari jabatan publik. Ia mencontohkan bagaimana para tokoh sejarah bangsa seperti Ir. Sutami dan Sultan Hamengku Bowono IXmampu menunjukkan keteladanan dalam hidup sederhana meskipun memegang jabatan tinggi.
Bagi Amich, para tokoh ini menjadi bukti bahwa etika publik bukanlah konsep yang abstrak, tetapi bisa diwujudkan secara nyata jika para pemimpin berpegang teguh pada prinsip-prinsip moralitas.
Senada, Guru Besar Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung, Iwan Pranoto, menekankan keteladanan tidak hanya diharapkan dari pemerintah, tetapi juga harus datang dari masyarakat.
“Siapa yang memberi keteladanan? Apakah kita harus menunggu penguasa memberikan teladan? Menurut saya, tidak. Itu terlalu lama,” katanya.
Ia menekankan bahwa individu memiliki tanggung jawab untuk membangun karakter bangsa yang beretika, dimulai dari diri sendiri.
Iwan juga menyoroti stagnasi dalam pendidikan karakter akibat fokus pada hal-hal yang bersifat material. Menurutnya, sejak tahun 1990-an, Indonesia terlalu banyak menghabiskan anggaran untuk perubahan kurikulum, pelatihan guru, dan pencetakan buku teks tanpa melihat hasil yang signifikan.
“Yang harus dibenahi adalah diri kita masing-masing,” tegasnya.
Ia menyebut bahwa kegagalan dalam pendidikan etika sering kali berakar pada “kegagalan bernalar,” di mana tanpa nalar yang kritis, masyarakat cenderung abai terhadap konsekuensi dari tindakan-tindakan tidak etis.
Di sisi lain, Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Johanes Haryatmoko, melihat keteladanan sebagai bentuk pengajaran yang lebih efektif daripada nasihat atau ceramah yang bersifat menggurui.
“Teladan dan contoh tidak menggurui. Ketika kita membaca novel atau menonton film, kita bisa mengambil paradigma kehidupan tanpa merasa digurui,” ujarnya.
Haryatmoko mengusulkan langkah konkret untuk membangun partisipasi etis di masyarakat, seperti metode kartu pelaporan warga yang memungkinkan masyarakat menilai pelayanan publik dengan menggunakan kuesioner.
Dalam pandangannya, nilai-nilai Pancasila harus diurai dan dijelaskan dengan indikator yang konkret agar dapat diimplementasikan secara nyata.
“Nilai-nilai Pancasila itu jangan menjadi nilai yang abstrak,” tegasnya, menekankan pentingnya Pancasila sebagai pedoman hidup yang dapat diukur dan diwujudkan dalam tindakan.
Kendati demikian, tantangan terbesar yang dihadapi dalam upaya membangun masyarakat yang beretika adalah pola pikir instan yang mendominasi sebagian besar masyarakat.
Haryatmoko menyoroti bagaimana mentalitas masyarakat yang ingin cepat viral menunjukkan bahwa etika dan keteladanan masih dianggap sebagai hal yang instan, padahal pembentukan karakter yang baik memerlukan proses Panjang. ***