MATA uang Indonesia adalah rupiah. Rupiah telah menjadi alat pembayaran yang sah di negara Indonesia sejak kemerdekaannya tahun 1945. Rupiah merupakan mata uang yang dikeluarkan Bank Indonesia dan digunakan secara luas di seluruh wilayah Indonesia, dari Sabang hingga Merauke.
Nama rupiah berasal dari kata India "rupiya" yang berakar dari bahasa Sansekerta rupyakam yang berarti "perak". Nama ini dipilih karena pengaruh budaya India yang kuat di Nusantara selama ratusan tahun.
Meskipun mata uang ini tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia, sejarah di balik pemilihannya ternyata belum banyak orang ketahui. Melansir dari laman Kementerian Keuangan dan prestasi kita, berikut sejarah rupiah yang menjadi mata uang di Indonesia.
Masa Kerajaan
Pada masa sebelum keberadaan negara Indonesia, masyarakat menggunakan berbagai metode pembayaran yang berbeda-beda. Pada abad ke-8 hingga abad ke-10, masyarakat di wilayah Indonesia menggunakan uang perak dari kekaisaran Sriwijaya yang dikenal dengan sebutan “rupang”.
Selain itu, ada juga bentuk uang perak dari Kerajaan Medang yang disebut dengan “akce” . Kemudian, pada abad ke-14, Majapahit mulai menggunakan uang dari tembaga dan emas yang dikenal sebagai “gobog”.
Masa Kolonial Belanda
Pada 1602, Belanda mendirikan perusahaan dagang bernama Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Indonesia. Perusahaan ini kemudian menguasai sebagian besar perdagangan rempah-rempah di Indonesia.
Dalam rangka menyederhanakan transaksi dagang, VOC kemudian menciptakan mata uang sendiri yang dikenal dengan nama “ rijksdaalder “. Mata uang ini kemudian digunakan Belanda selama berabad-abad di Indonesia.
Tahun 1821, pemerintah Hindia Belanda menciptakan mata uang baru yang disebut “ Gulden ” untuk digunakan di seluruh wilayah Hindia Belanda. Mata uang ini terbuat dari perak dan memiliki nilai yang sama dengan mata uang Belanda. Gulden kemudian menjadi mata uang resmi Indonesia hingga tahun 1942 ketika Jepang berhasil menguasai Indonesia.
Masa Penjajahan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang, mata uang yang digunakan di Indonesia berubah. Tahun 1942, Jepang memperkenalkan mata uang baru yang dikenal sebagai ‘gulden‘ atau ‘gulden Jepang'. Mata uang ini dicetak di Surabaya dan memiliki denominasi yang sama dengan gulden Belanda yang sebelumnya digunakan, yaitu 1, 2 1/2, 5, 10, dan 100 gulden. Namun, gulden Jepang memiliki gambar dan huruf Jepang yang berbeda.
Pada 1944, Jepang kembali memperkenalkan mata uang baru yang disebut ‘romusha goku'. Mata uang ini diberi nama berdasarkan pekerja paksa yang dipaksa oleh Jepang untuk bekerja di Indonesia.
Mata uang ini terbuat dari kertas koran bekas dan memiliki nilai rendah. Romusha goku digunakan sebagai mata uang kecil dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan gulden Jepang digunakan untuk transaksi besar. Namun, inflasi yang tinggi dan kekurangan pasokan kertas membuat gulden Jepang menjadi semakin tidak berharga.
Masa Awal Kemerdekaan
Pada 1946, pemerintah Indonesia menerbitkan mata uang pertamanya yang dikenal sebagai Oeang Republik Indonesia (ORI). Tanggal emisi yang tercantum pada penerbitan pertama ORI adalah 17 Oktober 1945, sementara peredarannya baru dimulai pada 30 Oktober 1946.
Seiring berjalannya waktu, ORI mengalami kesulitan dalam distribusi ke wilayah Jawa Barat dan Sumatera karena beberapa daerah masih diduduki Belanda. Kesulitan pemerintah Indonesia untuk menyatukan seluruh wilayah sebagai satu kesatuan moneter menyebabkan para tokoh daerah mengusulkan agar tiap daerah diizinkan mengeluarkan mata uang sendiri.
Pemerintah menyetujui usulan ini, sehingga muncul ORI daerah (ORIDA). Akibatnya, pada masa itu terdapat 21 jenis mata uang dan 27 jenis ORIDA di Indonesia. Jenis-jenis ORIDA ini meliputi surat-surat seperti bon, surat tanda penerimaan uang, tanda pembayaran yang sah, dan ORIDA berbentuk mandat. Penggunaan ORI dan berbagai macam ORIDA hanya berlaku sampai 1 Januari 1950 dan kemudian dilanjutkan dengan penerbitan uang Republik Indonesia Serikat.
Bersamaan dengan berlangsung singkat masa pemerintahan RIS. Masa berlaku uang kertas RIS juga tidak panjang, hanya sampai tanggal 17 Agustus 1950 ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kembali terbentuk.
Pemberlakuan Rupiah
Pada Desember 1951, De Javasche Bank dinasionalisasi menjadi Bank Indonesia (BI) sebagai lembaga bank sentral. Sesuai dengan tanggal berlakunya Undang-Undang Pokok Bank Indonesia tahun 1953, maka tanggal 1 Juli 1953 dijadikan sebagai hari peringatan lahirnya Bank Indonesia. Di mana Bank Indonesia mengambil alih fungsi De Javasche Bank dan menjadi bank sentral.
Pada saat yang bersamaan, Bank Indonesia mengeluarkan uang Rupiah sebagai alat pembayaran. Terdapat dua jenis uang Rupiah yang sah digunakan di wilayah Republik Indonesia, yaitu uang yang diterbitkan Pemerintah Republik Indonesia (melalui Kementerian Keuangan) dan uang yang diterbitkan Bank Indonesia.
Selama ditetapkan rupiah ini menjadi mata uang Republik Indonesia, terdapat beberapa peristiwa penting yang mempengaruhi perkembangan nilai rupiah itu sendiri. Berikut ulasannya
Terjadinya Inflasi
Pada 1965 - 1991, Indonesia mengalami inflasi yang sangat tinggi. Inflasi yang terjadi tahun 1965-1966 disebabkan oleh krisis moneter akibat dari pengumuman kebijakan konfrontasi oleh Presiden Soekarno yang menyebabkan pelarangan ekspor ke Malaysia dan Singapura. Hal ini menyebabkan kekurangan devisa dan terjadinya defisit anggaran yang berdampak pada inflasi.
Pada masa pemerintahan Soeharto, kebijakan pembangunan ekonomi yang diprioritaskan untuk pembangunan infrastruktur dan industri menimbulkan kebutuhan dana yang besar. Untuk membiayai kebijakan tersebut, pemerintah melakukan pembiayaan dengan cara mencetak uang.
Selain itu, terjadinya kenaikan harga minyak dunia tahun 1973 dan 1979 juga memberikan dampak buruk pada perekonomian Indonesia. Kebijakan subsidi BBM yang diambil pemerintah untuk menstabilkan harga juga memberikan dampak buruk pada inflasi karena pengeluaran negara yang semakin besar.
Inflasi pada masa tersebut mencapai angka yang sangat tinggi. Bahkan mencapai ratusan persen per tahun. Hal ini membuat nilai rupiah semakin merosot dan terjadi penurunan daya beli masyarakat.
Upaya pemerintah untuk menstabilkan inflasi dilakukan dengan cara menaikkan suku bunga, menurunkan pengeluaran pemerintah, dan menekan jumlah uang yang beredar. Meskipun upaya tersebut memberikan hasil positif pada awalnya, namun inflasi yang terus menerus menjadi masalah yang sulit untuk diatasi.
Sebelum dan Sesudah Krisis Ekonomi
Pada awal 1990-an, ekonomi Indonesia tumbuh dengan pesat, dan nilai tukar rupiah stabil di sekitar Rp2.000 per dolar AS. Namun, krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998 mengguncang perekonomian Indonesia dan mengakibatkan nilai tukar rupiah anjlok secara drastis. Pada Agustus 1997, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah hingga mencapai Rp2.700 per dolar AS.
Selama periode ini, pemerintah Indonesia mencoba untuk menjaga nilai tukar rupiah tetap stabil dengan membeli rupiah dengan cadangan devisa negara. Namun, usaha tersebut tidak berhasil dan nilai tukar rupiah terus jatuh. Pada Januari 1998, nilai tukar rupiah mencapai rekor terendah sebesar Rp17.000 per dolar AS.
Setelah krisis ekonomi, pemerintah Indonesia melakukan reformasi ekonomi dan meluncurkan program-program stabilisasi ekonomi. Pada 1999, pemerintah memperkenalkan “Bank Indonesia Liquidity Support” (BLS) dan “Indonesia Bank Restructuring Agency” (IBRA) untuk membantu memperbaiki kondisi perbankan dan keuangan Indonesia. Pada akhirnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berhasil dipulihkan.
Krisis Keuangan Global 2008
Krisis keuangan 2008, sering disebut "Krisis Keuangan Global" atau "Krisis Finansial 2008," adalah salah satu resesi terburuk sejak Depresi Besar. Krisis ini disebabkan keruntuhan pasar perumahan di AS yang berujung pada runtuhnya pasar keuangan global.
Selama krisis keuangan 2008, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami tekanan yang sangat besar. Sebelum krisis, nilai rupiah relatif stabil di kisaran Rp9.000–Rp9.500 per USD. Namun, ketika krisis global mulai memuncak dan investor asing menarik investasinya dari Indonesia, rupiah mengalami pelemahan signifikan.
Pada akhir tahun 2008, rupiah jatuh drastis, sempat mencapai kisaran Rp 12.000–Rp 13.000 per USD. Penyebab utamanya adalah peluncuran global yang mendorong investor untuk beralih ke aset-aset yang lebih aman seperti dolar AS, sehingga terjadi penurunan nilai mata uang di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Bank Indonesia melakukan berbagai upaya untuk menstabilkan nilai rupiah, termasuk intervensi di pasar valuta asing dan pengetatan kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga. Meski begitu, dampak terhadap nilai tukar dan stabilitas ekonomi masih terasa, dan pemulihan memerlukan waktu beberapa tahun hingga kondisi perbaikan global.
Stabilitas di Era Modern (2010–2019)
Nilai tukar rupiah pada dekade ini bergerak dalam kisaran Rp12.000–Rp15.000 per USD. Bank Indonesia mengadopsi kebijakan suku bunga dan menjaga cadangan devisa yang kuat untuk menstabilkan rupiah.
Tahun 2013, rupiah mengalami tekanan dari fenomena “taper tantrum” ketika Federal Reserve AS mengumumkan rencana untuk mengurangi stimulus, menyebabkan arus keluar modal dari pasar berkembang termasuk Indonesia.
Pandemi COVID-19 (2020–2022)
Pada 2020, rupiah sempat melemah tajam hingga mendekati Rp16.000 per USD karena dampak pandemi. Bank Indonesia kembali melakukan intervensi untuk menjaga stabilitas dan mendukung perekonomian.
Setelah situasi pandemi membaik dan pemulihan ekonomi mulai terlihat, rupiah kembali stabil di kisaran Rp14.000–Rp15.000 per USD.
Perkembangan Terkini (2023 dan Seterusnya)
Saat ini, faktor global seperti kebijakan suku bunga The Fed, inflasi global, serta pembatasan geopolitik memainkan peran penting dalam pergerakan nilai rupiah. Nilai rupiah berada dalam kisaran Rp15.000–Rp15.500 per USD, dengan Bank Indonesia terus memantau kondisi eksternal dan mengambil langkah-langkah untuk menstabilkan nilai tukar. (Z-3)