DI tengah euforia berlakunya PP No 44 Tahun 2024 terkait dengan peningkatan kesejahteraan hakim, tiba-tiba muncul kasus yang memalukan oleh sejumlah oknum hakim. Putusan bebas PN Surabaya terhadap Gregorius Ronald Tannur (GRT), terdakwa pembunuhan terhadap DSA, telah menggemparkan publik. Tertangkapnya mafia kasus itu menjadi momentum perbaikan manajemen sistem pengawasan internal pengadilan demi mengembalikan kepercayaan dan harapan publik atas keadilan di negeri ini.
Banyak pihak menaruh curiga atas putusan yang membebaskan GRT tersebut. Bahkan, Komisi Yudisial merekomendasikan pemecatan majelis hakim dari kasus terkait. Sayangnya, Mahkamah Agung justru berkilah dengan prinsip independensi dan putusan majelis hakim yang harus dihormati.
Keadaan berbalik ketika tim Kejaksaan Agung berhasil menangkap dan menahan ED, M, serta HH, yaitu para anggota majelis hakim kasus di atas. Tim Kejaksaan menemukan tumpukan uang yang diduga gratifikasi terkait dengan putusan bebas tersebut. Tim Kejaksaan Agung kemudian juga menangkap dan menahan LR, advokat yang diduga melakukan penyuapan.
Kegemparan memuncak ketika ZR--mantan pejabat tinggi MA--ditangkap juga. Ia diduga terlibat patgulipat putusan kasus tersebut. Penggeledahan di rumah ZR menemukan sejumlah uang dan logam mulia emas dalam jumlah yang fantasis.
Temuan tersebut tidak sesuai dengan profil ZR sebagai pegawai negeri sipil eselon I. Terkonfirmasi bahwa harta tersebut merupakan hasil jasa pengurusan perkara sejak 2012-2024. Ungkapan 'Gusti Allah mboten sare', 'kejahatan tidak pernah sempurna', 'melik nggendong lali', serta 'akhirnya kebenaran menemukan jalannya sendiri' ialah benar adanya.
Novel klasik karya AA Navis, Robohnya Surau Kami, menjadi analogi yang presisi dengan perumpamaan robohnya Mahkamah pengadilan saat ini. Sebenarnya, Sebastiaan Pompe dalam bukunya berjudul The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse (2005) sudah menggambarkan busuknya pengadilan kita, sayangnya kita mengabaikan peringatan tersebut.
Hakim jabatan mulia?
Dalam persidangan, sering kali majelis hakim disebut sebagai 'yang mulia' karena hakim ialah jabatan mulia (noble profession). Hakim bahkan disebut wakil Tuhan di dunia yang diharapkan membawa keadilan bagi para pihak yang sedang beperkara.
Pemahaman di atas harus diakhiri. Tuhan tidak pernah mewakilkan atau mendelegasikan kewenangan-Nya kepada manusia, termasuk ke para hakim sekalipun. Hakim bukan Tuhan, melainkan hakim juga bukan setan. Hakim ialah manusia biasa dengan kewenangan untuk memeriksa dan memutus suatu perkara.
Independensi hakim dijamin secara konstitusional. Siapa pun, tanpa terkecuali, tidak boleh melakukan intervensi, baik langsung maupun tidak langsung, apalagi membeli independensi hakim. Namun, hakim tidak boleh bertransaksi atas nama independensi karena itu merugikan yang miskin dan bertentangan dengan keluhuran harkat dan martabat jabatan hakim.
Masih banyaknya penyuapan, gratifikasi, terhadap (oknum) hakim menunjukkan bahwa putusan bisa dibeli. Praktik-praktik kolutif semacam itu sudah menjadi rahasia umum dan secara hipokrit selalu disangkal oleh pengadilan. Tentu saja tidak mudah membuktikan praktik memalukan tersebut.
Praktik culas berdasar prinsip 'sama-sama enak' dilakukan dengan hati-hati, rapi, tahu sama tahu (TsT), serta meminimalisasi jejak bukti. Ada perumpamaan bahwa semua yang terlibat harus bagai berjalan di atas air, tidak berjejak. Namun, sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh juga.
Beberapa kasus besar yang melibatkan SD dan GS, oknum hakim agung, juga HH dan NH, mantan Sekretaris MA, telah diadili dan dijatuhi hukum sebelum kasus pembebasan GST oleh pengadilan Surabaya di atas. Artinya, mafia pengadilan tak terganggu dan tetap melakukan kejahatan, bahkan dengan modus operandi yang lebih canggih.
Karena itu, penegakan hukum atas pelaku mafia di internal pengadilan harus dihukum maksimal dengan diberikan pemberatan, misalkan dengan dakwaan berlapis. Advokat sebagai representasi kepentingan klien juga harus diberikan hukuman yang sama seperti hakim karena advokat juga berperan kunci dalam memengaruhi proses penegakan hukum, termasuk putusan hakim.
Lord Acton mengatakan power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Kekuasaan memiliki tendensi disalahgunakan untuk melakukan korupsi. Kekuasaan dalam bentuk apa pun, bagi pemangkunya, terdapat potensi disalahgunakan.
Secara individual, manusia memiliki kecenderungan berbuat sesuka hati, tanpa pembatasan dan pengawasan sama sekali. Ungkapan tersebut vis a vis berlaku pula pada kekuasaan (kewenangan) hakim. Praktik kolutif dan koruptif di lingkungan peradilan (judicial corruption) bukan berita baru. Mirisnya, hal tersebut justru makin masif setelah Reformasi 1998.
Minimnya kesejahteraan hakim tidak bisa dijadikan kambing hitam. Kesejahteraan hakim dan pejabat pengadilan relatif sudah cukup memadai untuk hidup wajar dan tidak berlebihan. Selera, gaya hidup dan cara hidup yang tidak wajar, merupakan salah satu penyebab terjadinya kecenderungan kolutif dan koruptif dalam penegakan hukum.
Lingkungan kerja, sosial, keluarga, atau dari dirinya sendiri bisa menciptakan dorongan hakim bergaya hidup hedon. Tidak jarang keluarga hakim ber-flexing di akun sosial media masing-masing. Gaji dan tunjangan hakim atau penghasilan lainnya tentunya sudah ditetapkan sesuai prinsip kelayakan sehingga para hakim tidak perlu korupsi.
Perlu pengawasan intensif
Untuk menjaga dan memastikan agar tidak terjadi praktik penyimpangan, diperlukan pengawasan secara intensif dan berkelanjutan terhadap semua aparat penegak hukum. Gaya hidup hakim, polisi, jaksa, advokat, dan lingkungan masing masing harus selalu dalam pengawasan.
Pengawasan terhadap hakim tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Hakim harus tetap dijamin kemerdekaan mereka meskipun dalam waktu yang sama terus dilakukan pengawasan. Badan pengawasan internal dan Komisi Yudisial dapat berkoordinasi dalam pengawasan selain pengawasan oleh pers, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi. Semua pengawasan bertujuan mewujudkan peradilan yang agung.
Prof Sunarto telah mengangkat sumpah dan dilantik sebagai Ketua Mahkamah Agung yang baru. Ia nakhoda yang bertanggung jawab untuk membawa dan mangarahkan kapal MA dan peradilan di bawahnya mencapai tujuan yang diharapkan.
Sikap dan tindakan tegas terhadap semua jajarannya perlu dilakukan sambil memberikan keteladanan yang baik. Blueprint Mahkamah Agung menetapkan visi 'mewujudkan badan peradilan yang agung' memerlukan komitmen dan dukungan penuh semua pihak, baik dari kalangan internal maupun eksternal pengadilan. Saatnya bersih-bersih, jangan ragu atau ditunda lagi.