Rencana Kenaikan PPN Dinilai Menurunkan Potensi Pertumbuhan Ekonomi

1 day ago 2
Rencana Kenaikan PPN Dinilai Menurunkan Potensi Pertumbuhan Ekonomi Tauhid Ahmad(Dok Indef)

RENCANA kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun depan kembali jadi sorotan di tengah penurunan daya beli masyarakat. 
Kenaikan tarif PPN sudah termaktub dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) untuk naik pada Januari 2025 menjadi 12%, dari yang saat ini berada pada level 11%. 

Adapun, PPh badan direncanakan dipangkas dari 22% menjadi 20%. Hal ini dilakukan untuk mendorong daya saing Indonesia.

Menanggapi itu, peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengungkapkan wacana pemerintah untuk menaikkan PPN yang semula 11% menjadi 12% dinilai akan menurunkan potensi pertumbuhan ekonomi.

“Sebab, jika pelaku usaha dibebankan kenaikan PPN dari 11% ke 12% akan menambah biaya produksi. Saat biaya produksi dibebankan pada produk akhir dan terjadi kenaikan harga yang kemudian dibebankan kepada konsumen, otomatis terjadi secara masif konsumen akan mengurangi pengeluaran belanja yang lain,” ujar Tauhid, Kamis (14/11).

Lantaran kenaikan satu produk ke produk yang lain akan berimplikasi terhadap double counting perhitungan PPN. Saat barang tersebut berada pada satu tangan ke tangan terakhir dikhawatirkan akan menjadi beban.

“Kenaikan PPN akan memiliki konsekuensinya atas penurunan pertumbuhan ekonomi. Di antaranya tingginya inflasi, menurunnya daya beli masyarakat, kemudian berefek negatif bagi perusahaan atau industri yang amat sensitif terhadap kenaikan PPN dari 11% ke 12%. Dikhawatirkan juga akan menurunkan lapangan pekerjaan,” beber Tauhid.

Lebih lanjut Tauhid mengatakan, jika dipelajari dari kenaikan PPN tahun 2022-2023 dari 10% ke 11%, ada tambahan penerimaan negara di atas Rp100 triliun. Akan tetapi, mengakibatkan stagnasi pertumbuhan ekonomi terutama konsumsi masyarakat pada 2024, dan ini merupakan efek kenaikan PPN tahun sebelumnya.

Terkait itu, Indef merekomendasikan agar pemerintah menunda terlebih dulu kenaikan PPN sampai ekonomi dalam negeri cukup pulih dan hambatan dari ekonomi global masih bisa diantisipasi. Sebab, di banyak negara PPN tidak harus 12%. Bahkan, sejumlah negara mengenakan tarif PPN 10%.

“Upaya lain di antaranya, melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi agar diperluas bukan pada kenaikan tarif PPN itu sendiri, tetapi upaya dari Kementerian Keuangan melakukan intensifikasi kenaikan PPN. Apakah penggunaan perluasan basis wajib pajak atau penggunaan teknologi, sehingga PPN itu lebih besar tanpa harus menaikkan tarif dari 11% menjadi 12%,” katanya.

Terkait program makan siang bergizi, Tauhid mengingatkan pemerintah agar mewaspadai risiko pembengkakan jumlah impor bahan pangan.
Untuk itu, dia menekankan pentingnya melibatkan usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) lokal untuk memperkuat suplai bagi program makan siang dan mengurangi impor bahan pangan.

"Dengan demikian, program makan siang gratis ini diharapkan tidak hanya berdampak positif bagi kesehatan anak-anak, tapi juga berdampak ekonomi yang signifikan bagi pelaku usaha lokal," ucapnya.

Secara terpisah, Direktur Ekonomi Badan Intelijen dan Keamanan Polri Brigjen Pol Ratno Kuncoro mengaku akan proaktif menyerap aspirasi dari para pakar ekonomi di Indonesia.

Ini dilakukan untuk mendengarkan secara langsung tantangan dan kebutuhan yang dihadapi pada pertumbuhan ekonomi dalam negeri guna meningkatkan perekonomian dan keamanan ekonomi nasional.

Dari hasil dialog dan aspirasi, kata dia, akan ditindaklanjuti secara serius sebagai upaya memperkuat iklim usaha yang kondusif, aman serta tercapainya pertumbuhan ekonomi sesuai arah dan tujuan Presiden Prabowo.

"Penyerapan aspirasi ini bagian komitmen Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam mendukung pertumbuhan industri nasional dan memastikan stabilitas keamanan sebagai landasan utama pembangunan ekonomi,” pungkasnya. (H-2)

Read Entire Article
Global Food