SEKRETARIS Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo mengatakan, maraknya kasus yang menimpa para guru saat ini menyadarkan bahwa para guru perlu meningkatkan kesabaran dalam pembelajaran dan mengomunikasikan tindak kekerasan secara hati-hati serta jangan sampai masyarakat emosional.
“Kami juga imbau masyarakat ketika kasus kekerasan mohon dicek secara benar dari berbagai sisi. Kasus tersebut harus dipastikan kasus kekerasan atau hanya manipulasi kasus untuk mencari keuntungan tersendiri,” ungkapnya kepada Media Indonesia, Rabu (30/10).
Dia mencontohkan kasus Supriyani, guru honorer di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara yang dikatakan akan mengalami proses yang alot karena pembuktiannya lemah. Menurutnya saat ini kedua belah pihak sudah dalam posisi yang terlanjur.
“Satu pihak itu merasa tercemar karena dituduh melakukan tindak kekerasan. Tapi oknum polisi juga akan malu karena dengan kekuasaannya dia sewenang-wenang. Akhirnya ini tidak akan menghasilkan apa-apa tapi hanya menghabiskan waktu dan menghancurkan nama baik,” tegas Heru.
Hal yang sama juga terjadi baru-baru ini kepada Marsono, guru olahraga SD di Wonosobo yang melerai siswa berkelahi dan dituduh melakukan kekerasan, hingga dimintai uang damai sebesar Rp30 juta.
“Guru itu hanya melerai anak yang sedang berantem di halaman sekolah. Tidak ada unsur kekerasan, melerai supaya bubar. Tapi bocahnya bilang dipukul guru. Laporan itu kan akhirnya orangtua tidak melakukan pengecekan malah divisum sebagai alat bukti kekerasan. Dengan seperti itu, akhirnya orangtua komplain terhadap guru dengan meminta tuntutan uang. Ini jadinya transaksional. Di Konawe juga mengajak damai itu kan akhirnya dipelintir menjadi transaksional. Ada oknum yang tidak baik dalam mengatasi permasalahan,” tuturnya.
Heru menegaskan bahwa saat ini seharusnya seluruh pihak mengamalkan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, tepatnya di pasal 39 yang berbunyi pemerintah pusat, pemerintah daerah, organisasi profesi, satuan pendidikan harus melindungi guru dalam proses pembelajaran.
“Ini kan berarti kementerian pendidikan harus memberikan perlindungan kepada guru makanya ada Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan. Kemudian juga dinas di daerah juga perlu memberikan perlindungan. Semuanya jadi harus memberikan perlindungan terhadap guru. Ada juga Peraturan Pemerintah dan Permendikbud mengenai perlindungan terhadap guru. Regulasinya sudah lengkap tapi pelaksanaannya yang perlu ditingkatkan,” ujar Heru.
Dihubungi secara terpisah, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) Dudung Abdul Qadir menjelaskan bahwa akar masalah dari maraknya kasus kriminalisasi terhadap guru adalah pemerintah harus serius dan fokus menata kelola pendidikan, khususnya masalah sarana prasana, anggaran, masalah guru mulai dari kesejahteraan guru, perguruan tinggi yang menyiapkan guru, kekurangan guru, peningkatan kompetensi dan pengembangan karier guru yang masih mengalami diskriminasi serta perlindungan guru.
“Selain itu, perlu optimalisasi peran trilogi pendidikan yaitu sekolah, pemerintah, dan masyarakat/orangtua disinergikan melalui program bersama membangun in harmony progresio memajukan pendidikan nasional,” kata Dudung.
Saat ini menurutnya para guru dan orangtua harus dilatih self driving for teacher sehingga mengerti trend watching, envisioning, membangun paradigma berpikir dan mindset.
Perlu juga dilakukan penguatan komunikasi, koordinasi, dan kolaborasi antara sekolah, aparat penegak hukum, masyarakat dan orangtua terkait pemahaman bahwa guru dalam melaksanakan tugas profesionalnya boleh memberikan hukuman disiplin kepada peserta didik yang mendidik.
“Tidak kalah penting adalah penguatan pendidikan karakter di sekolah,” ujarnya.
Dudung menekankan bahwa jika akar masalah ini segera diatasi, dia meyakini akan terminimalisir guru melakukan kesalahan dalam pelayanan pembelajaran, baik di dalam dan di luar kelas.
Orangtua dan masyarakat juga akan arif serta bijaksana dalam menyikapi setiap masalah yang terjadi di sekolah, baik yang dilakukan oleh guru dan tenaga kependidikan serta dapat diselesaikan di forum mediasi sekolah melalui peran komite dan kerukunan kelas.
“Aparat penegak hukum juga akan berhati-hati dalam melakukan penyelidikan atau penyidikan karena guru saat melakukan tindakan kesalahan di sekolah akan ditentukan kesalahannya apakah kesalahan etik atau tindakan pidana. Sehingga PGRI mendorong kepada pemerintah untuk menyusun undang-undang perlindungan guru,” pungkas Dudung. (H-2)