KEMENANGAN Donald Trump dalam Pilpres Amerika Serikat (AS) 2024 berpotensi membuka jalan baru diplomasi AS-Rusia yang selama ini seringkali diwarnai ketegangan.
Pendapat itu dikemukakan akademisi yang juga Guru Besar St Petersburg University Connie Rahakundini Bakrie, Sabtu (9/11).
"Putin menyambut baik kemenangan ini, meski hubungan antara AS dan Rusia selama ini digambarkan penuh ketegangan. Trump selama kampanye bahkan berjanji menyelesaikan konflik Ukraina-Rusia dalam 24 jam jika terpilih," ujar Connie yang baru saja menghadiri Pertemuan Tahunan ke-21 Klub Diskusi Valdai di Sochi, Rusia ini.
Menurutnya, janji Trump menyelesaikan konflik Ukraina-Rusia dianggap sebagai sinyal bahwa Trump bisa mengambil pendekatan kooperatif terhadap Rusia, mirip dengan kebijakan yang ia terapkan pada periode kepresidenan sebelumnya.
Connie menambahkan, kebijakan Trump yang fokus ke dalam negeri dapat membawa perubahan signifikan bagi Rusia, terutama terkait pengurangan sanksi-sanksi yang selama ini membebani sektor ekonomi dan energi Rusia.
Dalam kehadirannya di Pertemuan Tahunan ke-21 Klub Diskusi Valdai kali ini, Connie yang juga pakar geopolitik asal Indonesia serta dipercaya jadi salah satu think tank bagi Kremlin ini menyebut, Trump cenderung mengadopsi kebijakan inward-looking atau berfokus pada isu domestik AS.
Karenanya, ia memprediksi AS di bawah Trump kemungkinan mengurangi keterlibatannya dalam konflik internasional dan lebih fokus pada penyelesaian masalah domestik.
"Kebijakan isolasionis ini dapat berdampak positif bagi Rusia dan negara-negara lain yang selama ini merasakan tekanan dari kebijakan luar negeri AS," tambahnya.
Menurutnya, jika Trump benar-benar berkomitmen mengakhiri konflik di Ukraina, ini bisa mengubah lanskap geopolitik Eropa Timur dan menciptakan stabilitas baru di kawasan tersebut.
Dalam pandangannya, kebijakan yang cenderung isolasionis dari AS berpotensi mengubah peran AS dalam aliansi NATO, terutama dalam hubungannya dengan negara-negara Eropa Timur yang terlibat dalam sengketa geopolitik dengan Rusia.
"Bisa jadi, AS akan mengurangi perannya dalam NATO sebagai langkah diplomasi untuk mencapai perdamaian dengan Rusia," ujar Connie.
Connie juga menyoroti perubahan kebijakan luar negeri AS di bawah Trump dapat membuka peluang bagi Indonesia untuk memainkan peran strategis. Sebagai negara non blok, Indonesia bisa mempererat hubungan baik dengan AS maupun Rusia, memanfaatkan posisinya yang netral untuk memperkuat kerja sama ekonomi dan diplomasi.
“Jika AS dan Rusia lebih memilih jalur damai, Indonesia bisa memanfaatkan peluang ini untuk memperkuat hubungan bilateral dengan kedua negara di berbagai bidang seperti perdagangan, pertahanan, dan teknologi militer,” ungkapnya.
Namun, jika ketegangan antara AS dan Rusia tetap berlanjut, Indonesia perlu bersiap menghadapi dampak pada kerja sama diplomatik dan ekonomi.
Connie juga menyinggung konsep The Greater Eurasia yang saat ini digagas Rusia dan Tiongkok. Ia menyatakan di bawah Trump, kemungkinan besar AS akan lebih fokus pada dalam negeri sehingga dunia mungkin menyaksikan pergeseran ekonomi dan politik ke arah Asia, dengan Rusia, Tiongkok, dan India sebagai aktor utama.
“Kekuatan ekonomi dan geopolitik dunia kemungkinan akan bergeser ke timur, memberikan peran semakin besar bagi negara-negara Asia seperti Indonesia di tengah kemitraan antara ASEAN dan Eurasia,” katanya.
Kemenangan Trump ini pun jadi bahasan penting saat Pertemuan Tahunan ke-21 Klub Diskusi Valdai, pada 4–7 November 2024 di Sochi, Rusia.
Di hari ketiga ajang yang tahun ini mengambil tema Perdamaian Abadi Atas Dasar Apa? Keamanan Bersama dan Kesempatan yang Sama untuk Pembangunan di Abad ke-21 ini ada satu sesi khusus yang didedikasikan untuk menganalisis hasil Pilpres AS.
Connie melihat Presiden Rusia Vladimir Putin memandang kemenangan Trump sebagai peluang positif, terutama dalam meredakan ketegangan antara kedua negara.
Sementara itu, Presiden Vladimir Putin dalam pidatonya di Pertemuan Tahunan ke-21 Klub Diskusi Valdai menyampaikan pandangannya terkait dinamika global. Ia menekankan dunia sedang memasuki era perubahan besar yang ia sebut sebagai perubahan yang pada dasarnya revolusioner.
Putin memperkirakan tantangan yang akan dihadapi umat manusia dalam dua dekade mendatang akan lebih kompleks seiring dengan transformasi besar dalam tatanan dunia. (H-2)