PROSES seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Indonesia (Capim KPK) tahun 2024 telah melalui serangkaian tahapan, ada berbagai tantangan terkait sosok yang lolos dalam seleksi Pansel serta kepentingan dalam penetapannya.
Ketua Umum Forum Dekan Fakultas Hukum dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Perguruan Tinggi Muhammadiyah se-Indonesia, Faisal Piliang mengatakan Keputusan final mengenai pimpinan KPK periode 2024-2029 akan bergantung pada proses lanjutan di DPR dan pemerintahan baru.
“Pertimbangan dari pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto, dimana dalam pertimbangannya tidak ada yang berubah dari tahapan pemilihan Capim KPK yang ditetapkan oleh periode presiden Joko Widodo yang sarat kontroversial,” ujar Faisal dalam keterangan resminya di Jakarta pada Jumat (8/11).
Faisal menilai proses Capim KPK ke depan memiliki persoalan legitimasi proses seleksi yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo, mengingat masa jabatannya diambang masa berakhir pada saat itu.
“Tendensi yang jauh dari sikap negarawan tersebut nyatanya menjadikan Capim KPK yang terpilih memiliki rekam jejak yang tidak baik dan memiliki agenda pemberantasan korupsi yang lemah,” imbuh Faisal.
“Keluarnya 10 nama ini, jelas terbukti bahwa Pansel pun tidak mengerti akar persoalan KPK hari ini,” lanjutnya.
Menurut Faisal, proses seleksi Capim KPK harus memenuhi asas fundamental seperti kapasitas, integritas, independensi politik, dan rekam jejak yang tidak boleh mengandung “cacat” sedikitpun. Namun sayangnya, tidak satupun dari seluruh nama pilihan pansel memiliki rekam jejak baik dalam pemberantasan korupsi.
“Situasi ini justru berpotensi untuk menambah bencana pemberantasan korupsi ke depan,” ungkapnya.
Berbagai organisasi masyarakat sipil salah satunya Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) telah melakukan rilis terkait Capim KPK bermasalah. Dalam pernyataan resminya, PBHI menilai bahwa capim KPK Johanis Tanak, yang saat ini merupakan Wakil Ketua KPK periode 2019-2024 memiliki kekayaan yang fantastis dengan kenaikan kekayaan yang patut dipertanyakan.
“Tanak juga diduga pernah melanggar kode etik karena pertemuan dengan tersangka kasus suap penandatanganan perkara di Mahkamah Agung, yakni mantan komisaris PT Wika Beton, Tbk., pada 28 Juli 2023,” tulis keterangan PBHI.
Catatan merah lainnya, Johanis Tanak diduga mengirim pesan atau chat kepada PLH Dirjen Minerba Kementerian ESDM pada 27 Maret 2023 yang menimbulkan konflik kepentingan karena KPK sedang memeriksa dugaan korupsi di Kementerian ESDM dan mengeluarkan pernyataan yang merugikan dan merendahkan KPK dalam kasus Korupsi Basarnas di tahun 2023.
“Selain hal yang disebutkan diatas, Johanis Tanak pernah menyampaikan permintaan maaf atas Operasi Tangkap Tangan (OTT) Kepala Basarnas dan menganggap para penyidiknya melakukan kekeliruan,” katanya.
Selanjutnya, ada Capim KPK Ibnu Basuki Widodo, yang saat ini masih menjabat sebagai Hakim Pemilah Perkara Pidana Khusus Mahkamah Agung/Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Diketahui, jumlah kekayaan Ibnu dalam LHKPN mengalami kenaikan yang signifikan, yaitu tahun 2020 sejumlah Rp 2,1 Miliar, naik menjadi Rp 4,1 Miliar di tahun 2023. Ibnu Basuki bahkan pernah memvonis bebas terdakwa korupsi dalam kasus pengadaan alat laboratorium IPA MTs di Kementerian Agama tahun 2010.
“Ibnu juga pernah melarang peliputan media massa dan jurnalis dalam siaran langsung persidangan kasus megakorupsi e-KTP dengan terdakwa Setya Novanto saat menjabat sebagai Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Desember 2017,” imbuhnya.
Beberapa Capim KPK yang bermasalah lainnya, diantaranya Fitroh Rohcayanto dari Kejaksaan Agung. Dalam seleksi wawancara, Fitroh meyakini bahwa kemunduran KPK bukan karena Revisi Undang-Undang KPK melainkan perilaku yang menyebabkan turunnya kepercayaan masyarakat.
Ada pula Capim KPK Djoko Poerwanto, Kapolda Kalimantan Tengah yang dalam seleksi wawancara tidak mengetahui status istrinya yang merupakan komisaris di PT MSK.
Selain itu, proses seleksi Capim KPK juga dinilai bermasalah jika berangkat pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 112/PUU-XX/2022, yang mengamanatkan bahwa pembentukan panitia seleksi (pansel) Capim KPK dan Dewan Pengawas (Dewas) KPK 2024-2029 seharusnya dilakukan oleh Presiden Prabowo Subianto, bukan oleh Presiden sebelumnya Joko Widodo.
“Disinilah keberpihakan politik-hukum Presiden Prabowo Subianto diuji, komitmen awal pemerintahannya yang menyatakan akan menjadikan prioritas pemberantasan korupsi seharusnya bersamaan dengan upaya pemilihan Capim KPK 2024-2029 yang bermasalah ini untuk diatasi,” kata Faisal
Berdasarkan pertimbangan yang matang, Faisal mendorong agar pemerintah segera menerbitkan Perpu untuk perubahan Undang-Undang No.19 tahun 2019 agar mengembalikan KPK sebagai Lembaga anti-korupsi independen dan berintegritas, serta mengembalikan proses pemilihan Capim KPK periode 2024-2029 kepada kewenangan Presiden Prabowo.
“Kami juga meminta Presiden baru (agar) memiliki komitmen politik-hukum yang kuat dalam agenda pemberantasan korupsi di Indonesia dengan tidak meloloskan Capim KPK yang bermasalah,” jelasnya.
Faisal juga mendorong agar seluruh PTMA se-Indonesia, khususnya Fakultas Hukum dan STIH PTM se-Indonesia melakukan kajian akademik mendalam serta pengawasan terhadap rekam jejak Capim KPK 2024-2029 yang dilakukan saat ini.
“Dan kajian tersebut dapat dituangkan dalam tulisan popular, policy brief, atau produk akademik yang lain. Semoga masa depan hukum, HAM, dan lingkungan hidup kedepan semakin lebih baik kedepan,” pungkasnya. (Dev/I-2)