PENINJAUAN kembali (PK) terpidana korupsi izin usaha pertambangan (IUP) Mardani H Maming di Mahkamah Agung (MA) harus diawasi secara ketat. Hal ini lantaran adanya keberadaan mafia peradilan di tanah air yang sudah menjadi momok di lembaga peradilan termasuk MA.
Demikian disampaikan Ketua Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman, Samarinda, Orin Gusta Andini di tengah kasus suap Rp 1 triliun yang menjerat eks pejabat MA Zarof Ricar. “(PK Mardani H Maming harus diawasi ketat).Soal mafia peradilan itu sudah jadi momok di lembaga peradilan kita,” tegas dia, di Jakara, pada Jumat (1/11).
Orin juga mendesak adanya evaluasi terhadap kelembagaan peradilan di tengah mencuatnya dugaan permainan guna meloloskan proses peninjauan kembali (PK) Mardani H Maming di MA. Orin menyarankan, agar pihak-pihak yang diduga bermain dalam untuk meloloskan peninjauan kembali (PK) Mardani H Maming dapat ditelusuri data-data keuangannya.
“Evaluasi saja semua secara kelembagaan. Telusuri data-data keuangannya (pihak bermain di PK Mardani H Maming) melalui PPATK,” jelas Orin.
Dengan demikian, Orin berharap, agar Majelis Hakim di MA dapat memutus peninjauan kembali (PK) Mardani H Maming dengan seadil-adilnya. Orin meminta, Majelis Hakim MA dapat memutus peninjauan kembali (PK) Mardani H Maming demi hukum dan kebenaran meteril.
“Lalu (PK Mardani H Maming) diputus saja dengan seadil-adilnya oleh majelis hakim dan kita berharap majelis hakim dapat memutus dengan sebaik-baiknya demi hukum dan kebenaran materiil,” tandasnya.
Sekedar informasi, Mardani H Maming yang terseret kasus suap dan gratifikasi Rp118 miliar dari pengurusan Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN) milik pengusaha (alm) Henry Soetio, beberapa kali mengajukan banding dan kasasi.
Pada 10 Februari 2023, majelis hakim Pengadilan Tipikor di Pengadilan Negeri (PN) Banjarmasin, Kalsel yang dipimpin Heru Kuntjoro, memvonisnya bersalah dan mengganjarnya 10 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta. Selain itu, Mardani diwajibkan membayar uang pengganti Rp110.601.731.752 (Rp110,6 miliar).
Tak terima dengan putusan itu, Mardani H Maming dan jaksa KPK sama-sama mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Banjarmasin. Kali ini, jaksa KPK yang menang. Hukuman Mardani diperberat menjadi 12 tahun. Tak terima lagi, Mardani H Maming mengajukan kasasi ke MA, namun ditolak.
Dari rekam jejak hukum ini, jelas sekali bahwa pandangan hukum yang digunakan para hakim di pengadilan tingkat pertama hingga kasasi, adalah sama. Bahwa Mardani H Maming memang menerima suap dan gratifikasi.
Kasus korupsi IUP yang menyeret Mardani H Maming berawal pada 2010. Mardani berkenalan dengan (Alm) Henry Soetio, Direktur Utama PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN) yang tertarik berbisnis batu bara di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan (Kalsel).
Kala itu, Mardani H Maming menjabat sebagai Bupati Tanah Bumbu, Kalsel. Beberapa kali keduanya bertemu. Hingga pertengahan 2010, Mardani mengenalkan Henry dengan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (Kadis ESDM) Tanah Bumbu, Dwidjono Putrohadi Sutopo.
Dalam pertemuan itu, Mardani memerintahkan Dwidjono membantu Henry terkait pengurusan IUP batu bara PT PCN. Selanjutnya, Dwijono menjalankan perintah Mardani dengan cara mengalihkan IUP milik PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL).
Muncul surat peralihan IUP dari BKPL ke PCN yang ditetapkan melalui surat bernomor 545/103/IUP-OP/D.PE/2010. Disahkan dengan Surat Keputusan Bupati Tanah Bumbu Nomor 296 Tahun 2011 yang ditandatangani Mardani H Maming. (I-2)