Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (Core) Mohammad Faisal menilai anjloknya Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dipicu dari tren pelemahan konsumsi rumah tangga, utamanya kelas menengah. Bank Indonesia (BI) melaporkan data IKK pada Oktober 2024 berada di angka 121,1, menurun dibandingkan data IKK pada September lalu yang di posisi 123,5.
Sementara, berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Harga Konsumen (IHK) mengalami penurunan dari 105,93 pada September 2024 menjadi 106,01 pada Oktober 2024.
"Saya melihat distribusi terbesar pelemahan konsumsi itu ada di kelas tengah," ungkap Faisal kepada Media Indonesia, Senin (11/11).
Faisal menuturkan keyakinan konsumen terpantau menyusut pada seluruh kategori penghasilan, terutama pada persepsi responden dengan penghasilan Rp2 juta-Rp3 juta yang mengalami penurunan dari level 114,9 pada September 2024 menjadi 111,5 pada Oktober lalu. Responden dengan penghasilan Rp3,1 juta-Rp4 juta juga mengalami penurunan optimisme yang cukup dalam dari 122,1 pada September menjadi 114,0 pada bulan lalu.
"Kalau kita lihat distribusi IKK Oktober ini yang mengalami pelemahan terdalam di kelas pengeluaran Rp2 juta sampai Rp4 juta. Namun, penurunan keyakinan ini sebenarnya sudah terlihat sejak kuartal III 2023," ujarnya.
Menurut Faisal pemerintah perlu segera menelurkan kebijakan yang mendorong pendapatan kelas menengah naik agar belanja konsumsi mereka juga terangkat. Namun, jika tanpa ada intervensi yang berarti dari pemerintah, kondisi pelemahan daya beli di kelas menengah dikhawatirkan terus terjadi ke depannya.
"Jika tidak usaha dari pemerintah untuk mengembalikan keadaan, atau justru semakin diperparah, maka ini semakin menekan konsumsi rumah tangga kelas menengah karena luput dari perhatian pemerintah," pungkasnya.
Dihubungi terpisah, ekonom Yusuf Rendy Manilet berpandangan penurunan IKK menunjukkan bahwa konsumen merasakan penurunan dalam penghasilan, ketersediaan lapangan kerja, dan kemampuan untuk membeli barang tahan lama. Katanya, ini dapat diartikan sebagai sinyal bahwa konsumen mulai merasa kurang yakin terhadap stabilitas ekonomi mereka.
"Hal ini bisa disebabkan oleh faktor-faktor seperti inflasi, ketidakpastian politik, atau perubahan dalam pasar tenaga kerja," imbuhnya.
Melihat lebih jauh ke dalam data, penurunan dalam sub-indeks IKK seperti indeks penghasilan saat ini dan indeks ketersediaan lapangan kerja menandakan adanya kekhawatiran konsumen terhadap pendapatan dan peluang pekerjaan mereka.
Penurunan ini, ungkap Yusuf, bisa disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi atau kebijakan pemerintah yang mungkin belum sepenuhnya dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
"Penurunan dalam ekspektasi ketersediaan lapangan kerja dan kegiatan usaha menunjukkan bahwa konsumen lebih pesimis tentang kondisi ekonomi di masa depan," tuturnya. (Z-11)