Pemerintah Masih Bahas Rencana Kenaikan Tarif PPN 12%

1 week ago 3
Pemerintah Masih Bahas Rencana Kenaikan Tarif PPN 12% Ilustrasi rencana kenaikan PPN jadi 12%(Dok. MI)

MENTERI Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan, keputusan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% masih dibahas oleh pemerintah.

"Terkait PPN 12% nanti kita akan bahas dan pemerintah tentu akan mempertimbangkan beberapa program yang bisa menunjang daya beli," kata dia dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Selasa (5/11).

Airlangga menjelaskan, salah satu upaya untuk menjaga daya beli masyarakat itu ialah pengalihan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang tidak tepat sasaran. Hanya, ia belum dapat memastikan peralihan subsidi itu akan seperti apa.

"Arahan Presiden Subsidi BBM tidak tepat sasaran akan dialihkan untuk menjadi subsidi yang tepat sasaran. Nah ini masih digodok dalam beberapa minggu ke depan," tandas Airlangga.

Sebelumnya diketahui, penaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025 dinilai berpeluang memperlebar tingkat kesenjangan di Indonesia. Itu karena tarif PPN berlaku sama bagi semua golongan dan memungkinkan masyarakat di kelompok menengah bawah menjadi yang paling tertekan.

"Skenario ini dapat memperburuk tingkat kemiskinan dan memperlebar kesenjangan sosial, mendorong lebih banyak orang ke bawah garis kemiskinan dan semakin membebani kelompok-kelompok rentan," ujar ekonom Makroekonomi dan Keuangan LPEM UI Teuku Riefky dikutip pada Selasa (5/11).

Penerapan tarif PPN yang lebih tinggi, juga bakal memberikan pengaruh langsung terhadap inflasi. Kenaikan harga barang dan jasa akan mendorong peningkatan biaya hidup masyarakat secara keseluruhan.

Situasi itu akan amat terasa dan menantang bagi rumah tangga berpenghasilan rendah yang berpotensi mengalami penurunan daya beli. Hal itu akan mendorong penurunan pengeluaran dan konsumsi konsumen secara keseluruhan.

Selain itu, efek distribusi dari kenaikan PPN dapat membebani rumah tangga berpenghasilan rendah secara tidak proporsional. Meski masyarakat berpenghasilan rendah membelanjakan sebagian kecil dari pendapatan mereka untuk barang dan jasa yang dikenai pajak, pengalaman terbaru di Indonesia menunjukkan bahwa kenaikan biaya hidup akan sangat membebani rumah tangga tersebut.

Laporan LPEM UI menunjukkan, kenaikan beban imbas tarif PPN yang tinggi paling dirasakan oleh kelompok masyarakat menengah ke bawah. 20% kelompok rumah tangga termiskin diperkirakan akan mengalami kenaikan beban sebesar 0,86% poin, sementara 20% kelompok rumah tangga terkaya mengalami kenaikan beban 0,71% poin.

Demikian pula, ketika membandingkan beban PPN selama tarif PPN saat ini sebesar 11% terhadap tarif 10% selama era covid-19 (2020-2021), beban PPN untuk 20% rumah tangga terkaya meningkat sebesar 0,55% poin, sementara itu meningkat sebesar 0,71% poin untuk 20% rumah tangga termiskin.

"Kenaikan beban paling berat dirasakan oleh rumah tangga yang berada pada persentil ke-20 hingga ke-22, di mana beban mereka meningkat sebesar 0,91% poin," kata Riefky.

Dampak regresif dari kenaikan tarif PPN menjadi jelas ketika melihat beban PPN berdasarkan kelas pendapatan. Dibandingkan dengan periode sebelum covid-19 dengan tarif PPN 10%, tarif PPN saat ini sebesar 11% menghasilkan kenaikan yang lebih kecil untuk rumah tangga terkaya.

Secara khusus, beban PPN meningkat sebesar 0,84% poin untuk kelompok termiskin, 0,87% poin untuk kelompok rentan, dan 0,61% poin untuk kelompok menengah. Sebaliknya, kenaikan beban PPN hanya 0,62% poin untuk kelas atas.

Lebih lanjut, kenaikan tarif PPN juga dinilai bakal berdampak pada daya saing, utamanya di sektor pariwisata. "Kenaikan tarif PPN dapat menghalangi pengunjung internasional yang menganggap Indonesia kurang hemat biaya dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang memiliki tarif pajak yang lebih rendah," kata Riefky.

Situasi tersebut pada akhirnya juga dapat memengaruhi investasi asing, karena investor sering mencari daerah dengan lingkungan pajak yang lebih menguntungkan. Selain itu, peningkatan biaya produksi yang terkait dengan PPN yang lebih tinggi dapat mengurangi daya saing ekspor Indonesia di pasar global.

Tantangan implementasi juga perlu diperhatikan. Kenaikan PPN dapat menyebabkan peningkatan tax avoidance atau tax evasion, terutama di sektor-sektor yang memiliki tingkat informalitas yang tinggi atau pengawasan yang terbatas.

"Risiko ini mengancam melemahkan tujuan pendapatan pemerintah dan mempersulit upaya penegakan hukum, sehingga berpotensi mengimbangi manfaat yang diharapkan dari kenaikan tarif PPN," pungkas Riefky.

Kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025 sedianya tertuang dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi dan Peraturan Perpajakan (HPP) Pasal 7 (1): Tarif PPN sebesar 12% berlaku paling lambat tanggal 1 Januari 2025.

Namun sejatinya pemerintah memiliki ruang untuk melakukan penundaan penaikan tarif itu. Kewenangan itu diberikan melalui UU PPN pasal 7 ayat (3). Beleid itu menyebutkan pemerintah dapat mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15% melalui Peraturan Pemerintah. (Z-9)

Read Entire Article
Global Food