SETIAP bangsa (negara) punya pahlawan. Untuk mengenang jasa perjuangan serta pengorbanan mereka, diadakanlah hari peringatan. Indonesia menetapkan pada 10 November sebagai Hari Pahlawan dan diperingati setiap tahunnya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pahlawan artinya orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran dan atau pejuang gagah berani. Dalam konteks itu, tentunya demi bangsa dan negara.
Dalam imajinasi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegara IV (1809-1881), sosok pahlawan itu seperti Bambang Sumantri, Kumbakarna, dan Karna dalam wayang. Itu tertuang dalam Serat Tripama pupuh Dhandhanggula.
Tiga pahlawan itu terukir pada era berbeda. Sumantri mencatatkan sejarah pada masa Lokapala, Kumbakarna pada periode Ramayana, Karna dalam Mahabarata. Mereka, menurut Mangkunegara IV, patut diteladani nilai-nilai kepahlawanan mereka.
Misalnya Sumantri, diceritakan sebagai kesatria yang dilukiskan meneguhkan tiga aspek daya juang, yaitu guna, kaya, dan purun. Artinya sakti, selalu menang dan berjaya, serta berani dan pantang menyerah hingga tetes darah penghabisan.
Menurut kisahnya, Sumantri ialah rakyat kecil di Negara Maespati. Putra pertama Resi Suwandagni-Dewi Darini yang tinggal di Pertapaan Jatisrana, Argasekar. Sumantri punya adik laki-laki bertubuh kerdil bermuka raksasa bernama Sukrasana.
Sebagai anak petapa, Sumantri biasa menggulawentah kualitas jiwa dengan laku prihatin, berpuasa, dan bersemedi. Di sisi lain, ia mengasah kekuatan fisik dan gentur menggeladi taktik perang serta berlatih menggunakan berbagai senjata.
Pada bagian lain, Sumantri mendapat piwulang dari bapaknya tentang adeg-adeg (pegangan) yang mesti dijunjung tinggi seorang kesatria. Di antaranya kesatria itu berperilaku utama dan berbudi luhur. Berani menegakkan keadilan dan kebenaran.
Pada suatu hari, Sumantri meminta izin bapak ibunya pergi ke kota ingin mengabdi kepada Prabu Arjunasasrabahu, Raja Negara Maespati. Suwandagni merestui dan memberi bekal piandel (pusaka) berupa panah Cakrabaskara titipan dewa.
Sumantri tidak memberi tahu kepergiannya kepada Sukrasana. Entah khawatir adiknya itu akan ikut sehingga merepotkan perjuangannya meniti karier atau malu karena fisiknya yang buruk. Padahal, Sukrasana sangat sayang kepada kakaknya.
Sukrasana sendiri jarang di Argasekar, hanya sesekali pulang kampung bila kangen Sumantri dan ayah ibu. Ia menjadi ‘tukang kebun’ Taman Sriwedari di Kahyangan Untarasegara atas rekomendasi kakek dari garis ibu, Bathara Sambujana.
Jadi, kepergian Sumantri mengadu nasib ke kota tanpa sepengetahuan Sukrasana. Sebenarnya hatinya sedih tidak mengabari adik yang amat disayangi. Apalagi pasti akan berpisah dalam waktu lama dan tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan.
Sesampainya di kota, Sumantri melamar menjadi prajurit seperti warga lainnya. Ia tidak memberi tahu siapa pun atau merahasiakan dirinya putra Resi Suwandagni. Menurut trahnya, bapaknya dengan Arjunasasrabahu masih berhubungan darah.
Menjadi patih
Singkat cerita, Sumantri diterima. Bahkan, berkat keistimewannya, kariernya melesat hingga terdengar Prabu Arjunasasrabahu. Sumantri dijanjikan jabatan patih apabila berhasil melamar dan memboyong putri Negara Magada, Dewi Citrawati.
Arjunasasrabahu, titisan Bathara Wisnu, menginginkan Citrawati yang diyakini titisan Bathari Widowati sebagai permaisuri. Kodratnya, di mana pun Wisnu berada, pasangannya memang dengan Widowati.
Betapa kagetnya Sumantri ketika tiba di Magada mengetahui dan melihat sendiri ternyata ada puluhan raja dengan maksud sama. Di antara para pelamar itu ada Raja Negara Widarba Prabu Darmawisesa yang ditakuti karena kesaktiannya.
Sejak awal, Darmawisesa bahkan telah mengancam jika lamaran ditolak, Magada akan dijadikan karang abang (dihancurkan). Ribuan prajurit sudah disiapkan dan sewaktu-waktu bisa dikerahkan mengganyang Magada seisinya.
Raja Magada Prabu Citradarma yang mengetahui bahwa salah satu pelamar utusan dari Maespati, lalu dipanggilnya. Sumantri diminta memulangkan semua pelamar. Bila berhasil, keinginannya memboyong Citrawati bakal terkabul.
Singkat cerita Sumantri mampu mengalahkan Prabu Darmawisesa dan menaklukkan semua pelamar lain. Selain itu, ia bisa memenuhi persyaratan yang diminta calon pengantin Citrawati yang ingin didampingi putri domas sebanyak 800 orang.
Berkat keberhasilan itu, Arjunasasrabahu mengangkat Sumantri menjadi warangka dalem bergelar Patih Suwanda. Sumantri pun menyerahkan pusaka Cakrabaskara kepada rajanya setelah mengenal bahwa Arjunasasrabahu titisan Bathara Wisnu.
Kedudukan Sumantri makin kuat setelah mampu ‘mendirikan’ Taman Sriwedari di Maespati yang diidamkan Citrawati. Sesungguhnya Sukrasana yang menghadirkan taman yang amat indah dari Kahyangan Untarasegara tersebut ke kompleks istana.
Sejak dipercaya raja, Patih Suwanda benar-benar menjadi benteng dan andalan negara meluaskan jajahan. Duet kepemimpinan Arjunasasrabahu dan Suwanda menjadikan Maespati negara adidaya yang adil-makmur dan sejahtera.
Pada suatu ketika, Maespati diserbu Raja Alengka Prabu Dasamuka yang berbala puluhan batalion raksasa. Dalihnya, Arjunasasrabahu dianggap biang kerok banjir bandang di Alengka karena bertiwikrama membendung Sungai Gangga.
Sumantri mengadang dan menyirnakan bala tantara Alengka. Dasamuka murka mendapati pasukannya bergelimpangan. Ia bergegas memburu Sumantri dan terjadi peperangan sengit antardua senapati yang sama-sama sakti.
Kodratnya, pengabdian Sumantri berhenti di sini. Ia gugur sebagai kusuma bangsa setelah lehernya digigit Dasamuka. Sukmanya bertemu dengan roh Sukrasana yang telah lama menunggu untuk kemudian bersama-sama mapan di alam keabadian.
Demikian kisah singkat kepahlawanan Sumantri kepada bangsa dan negara. Jasa dan pengorbanannya tercatat dengan tinta emas dalam sejarah Maespati. Ia menjadi contoh seorang patriot sejati yang mencintai tanah airnya hingga ajal menjemput. (M-3)