Negosiasi Pembebasan Lahan Proyek PLTP Atadei Berjalan Alot

5 days ago 3
Negosiasi Pembebasan Lahan Proyek PLTP Atadei Berjalan Alot Warga Desa Nubahaeraka, Lembata, NTT, berdialog terkait pembebasan lahan untuk proyek PLTP Atadei di desa itu.(MI/Alexander P Taum)

PROSES negosiasi pembebasan lahan untuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Atadei di Lembata, Nusa Tenggara Timur, berjalan alot.

Sebanyak 16 warga Desa Nubahaeraka, Kecamatan Atadei, tidak setuju dengan harga pembelian lahan yang diajukan oleh PLN. Mereka pun bimbang. 

Para warga tersebut memiliki lahan seluas 18 persil untuk pembangunan PLTP 10 Mw Atadei. Langkah pembebasan lahan tersebut dilakukan PLN setelah survei dan perhitungan lahan maupun tegakan di tanah Paysnara itu. 

Paysnara sendiri adalah sebutan untuk wilayah Kecamatan Atadei pada era kolonial Belanda yang membagi wilayah tersebut sebagai wilayah Paji untuk berhadapan dengan wilayah Demong di sekitarnya, buntut politik De Vide Et Impera.

Warga Desa Nubahaeraka terbilang lebih progresif menghadapi rencana pengembangan sumber energi bersih yang telah ditetapkan Kementerian ESDM sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional itu. Setelah melalui berbagai tahapan sosialisasi, warga Desa Nubahaeraka kompak menyetujui rencana pengembangan PLTP 10 MW Atadei itu.

Dukungan pengembangan PLTP 10 MW itu berasal dari 16 pemilik lahan terdampak, seluruh warga desa hingga aparat pemerintah desa setempat. Sejak awal, warga menegaskan dukungan diberikan untuk kebaikan dan kemajuan Lembata. 

PT PLN menyasar 18 persil lahan milik warga Desa Nubahaeraka yang diproyeksikan cukup untuk membangun infrastruktur utama dan penunjang proyek energi baru terbarukan geotermal di wilayah desa itu. Selebihnya, lahan yang dibutuhkan mayoritas ada di wilayah Desa Atakore. 

Rencananya, 16 pemilik lahan terdampakpun akan menerima ganti untung secara bervariasi berdasarkan luasan lahan. Sayangnya, upaya pihak PLN untuk segera merealisasi pengadaan tanah masih terganjal harga satuan. Warga meminta pihak PLN untuk membayar Rp5 juta per meter persegi. Bahkan pemilik lahan hanya menurunkan permintaannya menjadi Rp2,5 juta per meter persegi.

"Kenapa kami ajukan, karena mereka (PLN) yang butuh kami. Kami pemilik lahan tidak berpikir bahwa hari ini aji mumpung buat kami. Setiap kali pertemuan, kami selalu menyampaikan bahwa kebun kami ini adalah kebun adat warisan yang tidak ada di benak kami untuk dijual. Dalam perjalanan, hari ini kita ketemu bersama, sepertinya kami tidak puas. Bahwa apa yang kami sampaikan ke PLN (tentang harga tanah 5 juta per meter persegi-red) juga kami sampaikan kepada KJPP, Tetapi itu tidak juga menjadi acuan untuk menentukan harga satuan," ujar salah satu pemilik lahan yang juga mewakili pemilik lahan di Desa Nubahaeraka, Paul Keraf. Sabtu (9/11).

Harga itu, lanjutnya, telah didasari dari nilai lahan adat serta keuntungan yang nantinya akan diperoleh oleh PLN dengan adanya PLTP Atadei.

"Bahwa kami tidak jual tanah kami. Mereka (PLN-red) butuh, tapi jangan kasih mati (merugikan) kami. Kalau dengan angka begini, sama halnya PLN kasi kami mati. Kami tidak akan tersenyum dengan angka yang ditunjukkan oleh PLN. Kami sudah bersepakat, apa yang sudah kami ajukan kemarin tolong dipertimbangkan. Kalau untuk fasilitas umum kami serahkan gratis, tetapi ini kan untuk bisnis," ujar lanjutnya.

Namun, pihak PLN memiliki dasar perhitungan berdasarkan ketentuan perundang-undangan, diatas Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Kabupaten Lembata. 

Pihak PLN UIP Nusa Tenggara III mematok harga satuan lahan milik warga terdampa  berdasarkan perhitungan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP). Berdasarkan perhitungan KJPP itu, PT PLN mempersiapkan total Rp3,2 miliar untuk ganti rugi  lahan seluas 1,9 hektare termasuk tanaman milik warga. 

Dalam kesempatan itu, Asep Maulana dari Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) mengatakan, pihaknya berpatokan pada standar penilaian Indonesia. 

"Kalau tidak ikuti standar, saya bisa ikut dipidana. Karena untuk pembebasan lahan ini sangat rentan sekali dengan hukum. Kami melakukan analisa untuk menentukan nilai tanah. Kalau di Nubahaeraka tidak ada bangunan, kalau di Atakore ada bangunan itu semua kami nilai. Namanya tanah selalu tergantung, yang depan jalan utama lebih mahal daripada yang belakang. Kalau mau jujur, dibandingkan tanah di ibu kota Kecamatn Atadei, nilai tanah disini lebih besar. Apalagi jika dibanding NJOP hanya Rp5.000. Angka ini sudah lebih dari harga pasar dan NJOP," ujar Asep Maulana. 

Sementara itu pihak PLN dipimpin Team Leader Perizinan dan Pertanahan PT PLN Persero UIP Nusra, Tri Satya Putra Pamungkas, menjelaskan meski warga Nubahaeraka belum menyepakati harga satuan lahan, pihaknya akan terus melakukan pendekatan secara persuasif guna menemukan benang merah menuju transisi energi bersih di Kabupaten Lembata. (PT/J-3)

Read Entire Article
Global Food