DALAM Laporan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2024, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat, hanya 17% dari target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang berjalan sesuai rencana. Hampir 50% menunjukkan kemajuan yang minimal atau sedang, dan lebih dari 33% terhenti atau mengalami kemunduran. Penyebabnya, dampak pandemi covid-19, meningkatnya konflik, ketegangan geopolitik, dan kekacauan iklim yang menghambat kemajuan capaian SDGs.
Laporan itu juga mencatat, dari 166 negara (dari 193 jumlah negara anggota PBB), daftar peringkat 1-10 negara dengan kinerja SDGs terbaik ialah Finlandia dengan nilai 86,35, Swedia (85,70), Denmark (85), Jerman (83,45), Prancis (82,76), Austria (82,55), Norwegia (82,23), Kroasia (82,19), Inggris (82,16), dan Polandia (81,89). Praktis 10 negara terbaik SDGs berada di ‘Benua Biru’ (Eropa) dan didominasi negara-negara Skandinavia. Untuk mempercepat dan transformasi capaian SDGs pada 2030 diperlukan tindakan yang lebih berani dan ambisius.
Hal itu selaras dengan semangat Hari Kota Dunia (HKD) pada 31 Oktober 2024. Tema HKD yang diusung ialah Kaum muda yang memimpin iklim dan aksi lokal untuk kota. HKD akan berfokus pada bagaimana kita dapat melibatkan generasi baru dalam merencanakan masa kini dan masa depan habitat kota yang berkelanjutan mereka melalui proses partisipatif dan peluang kepemimpinan lokal. Lalu, langkah apa yang harus dilakukan?
Pertama, Laporan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2024, pada Tujuan 11 Kota dan Komunitas Berkelanjutan, PBB mencatat lebih dari 50% penduduk dunia saat ini tinggal di perkotaan, tetapi wilayah perkotaan menghadapi banyak sekali tantangan yang kompleks. Secara global, sekitar 25% penduduk perkotaan tinggal di kawasan kumuh, dengan total populasi kawasan kumuh mencapai 1,1 miliar (2022). Kurangnya akses yang adil terhadap transportasi umum merupakan kekhawatiran yang signifikan, terutama di negara berkembang, di mana hanya 4 dari 10 orang yang mempunyai akses mudah.
Meskipun tingkat polusi udara telah menurun di sebagian besar wilayah, angka tersebut masih jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan pedoman kualitas udara yang direkomendasikan untuk perlindungan kesehatan masyarakat (WHO, 2024). Sementara hanya 40% penduduk kota yang dapat dengan mudah menjangkau ruang terbuka hijau. Antara tahun 2000 dan 2020, kota-kota telah berkembang 3,7 kali lebih cepat jika dibandingkan dengan kepadatannya, sehingga menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan alam dan penggunaan lahan.
Dengan meningkatnya urbanisasi dan hampir 70% populasi global diproyeksikan tinggal di perkotaan pada 2050, pembangunan infrastruktur, perumahan yang terjangkau, sistem transportasi yang efisien, dan layanan sosial merata merupakan hal yang sangat penting untuk menciptakan kota yang berketahanan dan berkelanjutan, serta memenuhi kebutuhan masyarakat.
Kedua, dalam Laporan Kota Dunia 2024: Kota dan Aksi Iklim (UN Habitat, 2024), PBB mendorong pemerintah di berbagai negara untuk mulai merencanakan dan mewujudkan kota yang lebih hijau, lebih layak huni, dan lebih berkelanjutan demi meningkatkan kualitas hidup penduduknya di tengah perubahan iklim.
Laporan itu berupaya memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai peran kota dan permukiman melalui penyegaran tindakan dalam mengatasi ancaman nyata yang ditimbulkan oleh perubahan iklim. Laporan ini mengeksplorasi bagaimana wilayah perkotaan dalam berbagai konteks dapat diposisikan untuk mengambil tindakan efektif guna mencapai Perjanjian Paris yang membatasi pemanasan global hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industri, mengingat betapa mendesaknya krisis iklim.
Dalam konteks perkotaan, aksi iklim itu berupa mitigasi perubahan iklim melalui pengurangan emisi GRK, adaptasi terhadap dampak perubahan iklim dengan membangun ketahanan di berbagai sektor. Selain itu, membalikkan dampak perubahan iklim dan mengurangi kerentanan lingkungan hidup, komunitas, kelompok, dan individu yang berisiko. Aksi iklim memerlukan kemitraan dan kerja sama di berbagai tingkatan, serta bersifat inklusif.
Ketiga, hasil penilaian Indeks Kota Berkelanjutan 2024 yang dirilis Arcadis terhadap 100 kota menempatkan 10 kota paling berkelanjutan, dari 1-10, yaitu Amsterdam, Rotterdam, Kopenhagen, Frankfurt, Munich, Oslo, Hamburg, Berlin, Warsawa, dan London. Semua berada di ‘Benua Biru’ (Eropa), didominasi negara Jerman (4 kota), Belanda (2), dan Skandinavia (2).
Dari Benua Asia, yang terbaik diwakili Seoul di posisi 11, Singapura 18, Shanghai 19, Beijing 20, Tokyo 22, Shenzhen 24. Di kawasan Asia Tenggara, di luar Singapura, terdapat Kuala Lumpur 69, Jakarta 75, Bangkok 77, Hanoi 79, Manila 93.
Keempat, ada tujuh rekomendasi yang bisa dilakukan, yakni adaptasi dampak iklim (IPAL komunal massal, 5R: regenerasi sungai, rehabilitasi drainase, revitalisasi situ/danau/embung/waduk, refungsi ruang terbuka hijau, restorasi pesisir dan reforestasi mangrove). Kemudian, akselerasi transisi energi baru terbarukan (bus listrik, rusun surya, taman mentari, PLTU hijau). Dan, dekarbonisasi perumahan dan kawasan permukiman, fasos-fasum, industri (bangun hijau, logistik berbasis rel).
Lalu, memperkuat infrastruktur mobilitas dan moda transportasi (trotoar-utilitas-drainase terpadu, infrastruktur pesepeda, transit hub, thematic invesment urban area); menyediakan rusunawa terjangkau (rusunawa MBR-ASN sistem KPBU, rusun pabrik kreativitas/produktivitas). Rekomendasi terakhir: serta memacu digitalisasi dan inovasi teknologi (parkir elektronik, one way one pay ticket, desalinasi portabel/mobile, pengolah sampah praktis) (The Arcadis Sustainable Cities Index 2024).