MENTERI Perdagangan (Mendag) RI periode Agustus 2015-Juli 2016, Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong), melalui tim kuasa hukumnya resmi mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan dalil pemohon penetapan tersangkanya oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak sah. Sebelumnya, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Kejagung dengan Surat Penetapan Tersangka Nomor: TAP-60/F.2/Fd.2/10/2024 tanggal 29 Oktober 2024 menersangkakan dan menahan Tom Lembong dalam kegiatan importasi gula di Kementerian Perdagangan (Kemendag) tahun 2015 hingga 2023.
Keraguan Kejagung terlihat dari pengenaan dua pasal sekaligus sebagai delik korupsi, yakni Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang (UU) No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan UU No 20/2001 (UU Tipikor). Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor tersebut mengandung unsur perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000 dan paling banyak Rp1.000.000.000.
Adapun Pasal 3 UU Tipikor mengandung unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya, karena jabatan atau kedudukan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp50.000.000 dan paling banyak Rp1.000.000.000. Salah satu dari kedua pasal itu pengenaannya untuk satu pelaku dengan perbuatan hukum yang sama merupakan pilihan bukan saling melengkapi.
Praperadilan diperlukan untuk menguji kesesuaian antara penetapan tersangka dan UU No 8/1981 tentang Kitab UU Hukum Acara Pidana (KUHAP) guna mencegah salah pemidanaan. Perlindungan hukum bagi setiap warga negara sejalan dengan asas in dubio pro reo, yakni prinsip hukum yang menyatakan bahwa terdakwa tidak boleh dihukum jika ada keraguan mengenai kesalahannya.
Pemenuhan unsur pidana korupsi
Penanganan perkara korupsi harus sejalan dengan arahan Presiden Prabowo dalam sidang kabinet perdana pada 23 Oktober 2024, yang meminta Jaksa Agung dan Kapolri dalam penegakan hukum fokus dan tidak ragu-ragu. Menurut Prabowo, penegakan hukum harus dilakukan secara tegas dengan inteligensi yang baik dan disertai bukti-bukti yang kuat sehingga mampu memitigasi semua penyelewengan, korupsi, dan kebocoran.
Pernyataan Ketua Komisi III DPR Habiburokhman yang menilai konstruksi hukum kasus korupsi impor gula ternyata masih sumir atau abstrak di mata publik menunjukkan kemungkinan Kejagung berbeda dengan garis kebijakan Presiden ke-8 RI dalam menangani kasus korupsi impor gula tersebut. Menurutnya, kalau penegakan hukum tidak selaras dengan cita-cita politik hukum pemerintah, dikhawatirkan pemerintahan ini dituduh melakukan politisasi hukum.
Karena itu, Wakil Ketum Gerindra ini meminta Kejagung menyampaikan kepada publik kasus itu secara jelas dan detail. Pandangan tersebut sesuai Pasal 51 KUHAP, hak tersangka untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengertinya, mengenai delik hukum yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai.
Asas tranparansi tidak tecermin pada surat penetapan tersangka karena tidak menjelaskan delik korupsi dan unsur pidana yang telah terpenuhi. Transparansi dalam penanganan perkara diperlukan untuk memberikan kesempatan kepada tersangka melakukan praperadilan. Untuk itu, penyidik harus memperhatikan asas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, proporsionalitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Mengingat proses penyidikan dengan Surat Perintah Penyidikan oleh Direktur Penyidikan JAM-Pidsus Nomor: Prin-54/F.2/Fd.2/10/2023 tanggal 3 Oktober 2023 telah berjalan setahun lebih, maka penetapan tersangka dan penahanan seyogianya sudah berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Ironisnya, setelah menahan Tom Lembong, Kejagung menyatakan masih dan sedang melakukan pendalaman untuk mencari pihak lain yang terkait, menghitung kerugian keuangan negara, dan menelusuri aliran dananya.
Penetapan tersangka harus memenuhi aspek prosedural sesuai KUHAP dan secara subtansial alat bukti yang cukup, menyangkut peristiwa pidana korupsi dimaksud. Penetapan Tom Lembong sebagai tersangka dugaan pidana korupsi dalam kegiatan importasi gula di Kemendag dalam kurun waktu 2015 sampai 2023 dinilai mengandung cacat hukum dari sisi tempus delicti karena melampaui masa jabatan Tom Lembong dan peristiwa pemberian izin impor gula dari November 2015 hingga Juni 2016.
Setelah itu, yang bersangkutan dimutasi menjadi Kepala BPKM terhitung sejak 27 Juli 2016 hingga 23 Oktober 2019, sebagai pembuktian Jokowi tidak melihat kesalahannya secara administratif.
Kejagung menilai Tom Lembong melakukan perbuatan melawan hukum karena tanpa rapat koordinasi memberikan izin impor gula kristal mentah (GKM) sebanyak 105.000 ton di 2015 kepada perusahaan swasta dan sebanyak 300.000 ton di 2016 penugasan kepada PT PPI. Tom Lembong disangkakan tidak melaksanakan kewajibannya memenuhi ketentuan impor gula dimaksud, sebagaimana diatur dengan Kepmen Perindag No 527/2004 untuk tahun 2015 dan Permendag No 117/2015 untuk tahun 2016.
Indikasi adanya kejanggalan penetapan tersangka terlihat dari sangkaan melakukan perbuatan melawan hukum. Padahal, menteri ketika melaksanakan kewenangan atributif menjalankan regulasi merupakan keputusan administrasi pemerintahan yang masuk ranah hukum administrasi negara. Tindakan administrasi pemerintahan tersebut, baru berubah menjadi pidana korupsi hanya apabila ditemukan aliran dana, suap, dan gratifikasi.
Berdasarkan Pasal 1 UU No 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, keputusan administrasi pemerintahan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Izin adalah keputusan pejabat pemerintahan yang berwenang sebagai wujud persetujuan atas permohonan warga masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Setelah dicermati, terdapat kejanggalan lain karena izin impor tersebut telah didelegasi kepada Dirjen Perdagangan Luar Negeri yang menerima kewenangan secara delegatif. Pendelegasian kewenangan merupakan pelimpahan kewenangan dari pejabat atasan kepada pejabat yang lebih rendah dengan tanggung jawab dan tanggung gugat beralih sepenuhnya kepada penerima delegasi. Dalam hal ini, kewenangan izin impor telah beralih dari Mendag kepada Dirjen Perdagangan Luar Negeri, dengan konsekuensi tanggung jawab hukum atas perbuatan hukum yang dilakukannya.
Berdasarkan LHP BPK atas Perencanaan, Pelaksanaan, dan Pengawasan Tata Niaga Impor Tahun 2015 s.d semester I Tahun 2017, Nomor: 47/LHP/XV/03/2018 tanggal 2 Maret 2018, tidak ditemukan rekomendasi terkait penyalahgunaan wewenang. Namun, ada ketentuan yang tidak dilaksanakan dalam proses pemberian izin yaitu rapat koordinasi. Mengingat pemberian izin sudah menjadi kewenangan dirjen, pelaksanaan rapat koordinasi sebagai persyaratan menjadi tugas dan tanggung jawab Dirjen Perdagangan Luar Negeri.
Konsep kerugian keuangan Negara
Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 dalam perkara pengujian Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No 31/1999 yang diubah dengan UU No 20/2001 tentang Tipikor, mengubah pidana korupsi dari delik formil menjadi delik materiil. Konsekuensi dari putusan MK itu, Kejagung harus memperhatikan beberapa pertimbangan sebelum menetapkna PNS atau penyelenggara negara sebagai tersangka pidana korupsi.
Pertama, penerapan unsur merugikan keuangan dengan menggunakan konsepsi kerugian keuangan negara yang nyata (actual loss) menurut MK lebih memberikan kepastian hukum yang adil dan sesuai UU No 30/2014, UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No 15/2006 tentang BPK.
MK menolak penggunaan konsepsi potensi kerugian keuangan negara (potensial loss) sebagaimana dakwaan Kejagung. Kedua, kerugian keuangan nyata dan pasti ini mengadung makna kerugian itu harus betul-betul ada, dan merupakan akibat yang nyata dari perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan, sehingga menjadi delik materiil.
Ketiga, unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain memiliki keterkaitan dengan kerugian keuangan negara yang terjadi. Hubungan kausalitas terjadi karena sumber kekayaan berasal dari aliran dana atau aset kerugian keuangan negara tersebut. Selain suap dan gratifikasi, kerugian keuangan menjadi sumber keuntungan dan kekayaan pelaku korupsi.
Keempat, menurut Pasal 1 ayat (22) UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, kerugian negara/daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai. Berdasarkan pengertian tersebut, kerugian negara telah terjadi apabila telah terpenuhinya unsur-unsur kerugian negara.
Dakwaan yang dilakukan Kejagung menggunakan konsep potensial loss karena angka Rp400 miliar yang bersifat asumtif mengandung kelemahan. Asumsi yang digunakan karena dijual oleh perusahaan swasta, maka perusahaan swasta tersebut menikmati keuntungan sebesar Rp3.000 per kilogram dari selisih harga eceran tertinggi (HET) Rp13.000 per kilogram dibandingkan harga jual gula di pasaran Rp16.000 per kilogram.
Logika sesat ini mudah terbantahkan, karena adanya perbedaan jumlah antara GKM setelah diolah atau dikonversi menjadi dengan gula kristal putih (GKP), salah satu penyebab penghitungan nilai kerugian negara menjadi tidak pasti. Selain itu, kalau impor dilakukan oleh BUMN yang mengolah jadi GKP, belum dapat dipastikan BUMN itu akan meraup keuntungan dari selisih harga pasar dengan HET seperti yang dilakukan swasta, karena ada kewajibannya melakukan stabilitasi harga, sehingga asumsi keuntungan perusahaan swasta menjadi kerugian BUMN terbantahkan.
Asas kausalitas tidak terpenuhi karena Kejagung menetapkan sangkaan perbuatan melawan hukum dari pemberian izin impor GKM pada pasar international, tapi kerugian ditimbulkan dari penjualan GKP pada pasar domestik, di mana perbuatan melawan hukum pada importasi tapi kerugian negara pada penjualan domestik. Kedua perbuatan itu sudah dipisahkan oleh proses pabrikasi untuk mengolah GKM menjadi GKP sehingga perhitungan kerugian keuangan negara menjadi tidak pasti dan nyata.
Di samping itu, menjadikan keuntungan swasta sebagai kerugian BUMN dan sekaligus menjadi kerugian keuangan negara tidak sejalan dengan Putusan MA No 121K/Pidsus/2020 yang menegaskan kerugian BUMN sepanjang tidak keluar dari ranah business judgement rule, ditandai tiadanya unsur kecurangan, benturan kepentingan perbuatan melawan hukum, dan kesalahan yang disengaja, tidak merupakan kerugian keuangan negara.
Penghitungan kerugian keuangan negara sebagai alat bukti
Kejagung mengakui telah menemukan alat bukti kerugian keuangan sebesar Rp400 miliar berdasarkan perhitungan sendiri. Pakar hukum mempertanyakan keabsahan alat bukti Kejagung yang dibuat sendiri, dipersamakan dengan surat menurut Pasal 184 KUHAP, karena selama ini surat yang digunakan sebagai alat bukti kerugian keuangan berupa laporan hasil audit investigasi perhitungan kerugian keuangan yang dilakukan oleh auditor, bukan dokumen internal penyidik Kejagung.
Kendati Kejagung memiliki kemampuan melakukan penghitungan kerugian keuangan negara, tetapi profesi penghitungan kerugian keuangan negara merupakan keahlian auditor investasi yang berpengalaman dalam profesinya. Selain objektivitas hasil penghitungan diragukan kalau dilakukan sendiri untuk dijadikan alat bukti suatu perkara yang disidik sendiri.
Keabsahan penghitungan kerugian keuangan negara harus dilakukan oleh auditor, ditegaskan pada beberapa regulasi dan Putusan MK dan MA. Pertama, Putusan MA No 69 K/Pid.Sus/2013 menyatakan bahwa karena tidak adanya audit BPK atau BPKP, maka jaksa tidak dapat membuktikan adanya kerugian keuangan negara. Pertimbangan tersebut menegaskan audit BPK mutlak diperlukan untuk mengetahui kerugian keuangan negara.
Kedua, penjelasan Pasal 32 UU Tipikor hanya menyebutkan bahwa ‘kerugian keuangan negara adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk’, secara implisit bukan dilakukan oleh instansi penyidik.
Ketiga, SE MA No 04/2016 antara lain menegaskan hanya BPK instansi yang memiliki wewenang dalam menghitung kerugian negara.
Keempat, dalam Pasal 14 (1) UU No 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara disebutkan, apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK segera melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kelima, Pasal 10 UU No 15 Tahun 2006 tentang BPK menyatakan BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 2/Pid.Pra/2024/PN Jkt Sel yang mengadili perkara praperadilan dalam perkara antara Edward Omar Sharif Hiariej, eks Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, melawan KPK terkait keabsahan dua alat bukti untuk menetapkannya sebagai tersangka, dapat menjadi yurisprudensi. Hakim menyatakan penetapan tersangka tidak memenuhi minimum dua alat bukti yang sah sebagaimana ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP sehingga hakim menyimpulkan tindakan KPK menetapkan pemohon sebagai tersangka tidak sah.
Penetapan status seseorang sebagai tersangka, yang tidak dilakukan berdasarkan hukum, memberikan hak hukum bagi seseorang untuk melakukan upaya hukum berupa pengujian terhadap keabsahan melalui lembaga praperadilan. Upaya penggunaan hak yang demikian itu, selain sesuai dengan spirit atau roh atau jiwa KUHAP, juga dijamin dalam ketentuan Pasal 17 UU No 39/1999 tentang HAM, yakni ‘Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi’ serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak’.
Lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah. Kalimat bijak tersebut menggambarkan pentingnya prinsip kehati-hatian dalam menangani perkara pidana agar tidak sampai salah dalam menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang sebenarnya tidak bersalah. Asas in dubio pro reo
yang pertama kali dikemukakan Egidio Bossi (1487-1546), seorang ahli hukum dari Milan, semoga menjadi pertimbangan hakim dalam mengadili praperadilan.