PENDIDIKAN adalah kekuatan mendasar yang membentuk setiap aspek kehidupan dan berpengaruh hingga masa depan, mempersiapkan generasi muda untuk berperan sebagai individu yang berarti dalam keluarga, masyarakat, dan dunia kerja (Homes & Pomsta, 2023:25).
Pendidikan formal dihadapkan pada tantangan untuk menanamkan nilai-nilai mendasar yang diwariskan dan membangun landasan bagi kehidupan yang bermakna dalam jangka panjang (Pritchett, 2013:2; Claxton, 2008:vi).
Namun, pendidikan juga membawa dimensi moral dan politik yang sering kali menjadi medan persaingan kepentingan sehingga pemahaman mendalam atas agenda ideologis yang diterapkan dalam kebijakan pendidikan menjadi penting (Webster & Whelen, 2019:7).
Di era ini, sekolah-sekolah berperan sebagai sarana pengembangan keterampilan teknis dan kebiasaan berpikir kritis yang memungkinkan siswa menjadi peneliti dan pembelajar seumur hidup (Claxton, 2008:55). Karena pengetahuan terus berkembang, siswa perlu beradaptasi dengan perubahan dan mengasah kemampuan belajar berkelanjutan di lingkungan yang relevan bagi kehidupan jangka panjang mereka (Eyler, 2009:28).
Refleksi
Pritchett (2013:14) mengajukan pertanyaan reflektif, “Apakah anak-anak di seluruh dunia memperoleh pendidikan yang benar-benar mereka butuhkan dari sekolah yang mereka jalani?” Pertanyaan ini penting bagi kita sebagai pendidik atau sebagai warga negara yang peduli terhadap pendidikan. Beberapa penulis, seperti Claxton (2008), Pritchett (2013), dan Eyler (2009), mengungkapkan kekhawatiran serupa dalam karya mereka.
Claxton (2008: vi) mengungkapkan bahwa sekolah seharusnya memainkan peran penting dalam membekali generasi muda untuk tumbuh dan berkembang. Namun, dalam praktiknya, meskipun siswa mungkin mencapai keberhasilan akademis, banyak dari mereka yang tetap takut meninggalkan zona nyaman dan terlalu bergantung pada keberhasilan di sekolah. Hal ini, menurut Claxton, disebabkan oleh pendekatan kurikulum dan ujian yang lebih berfokus pada pencapaian standar akademis daripada mempersiapkan siswa menghadapi masa depan yang kompleks dan dinamis.
Senada dengan hal tersebut, Pritchett (2013:2) mempertanyakan anggapan bahwa sekolah otomatis membawa pembelajaran yang bermakna. Dia mengingatkan, meskipun anak-anak menghabiskan waktu bertahun-tahun di sekolah, pendidikan tidak selalu menghasilkan keterampilan dan kompetensi yang relevan dengan kehidupan nyata. Dia menyatakan dengan tegas bahwa ‘bersekolah tidak sama dengan belajar’, menyoroti adanya jurang antara kegiatan sekolah dan proses pembelajaran yang seharusnya terjadi.
Selain itu, Claxton (2008: viii, 21) kembali menyoroti bahwa banyak siswa sangat terampil dalam mengerjakan ujian, tetapi kurang memiliki rasa ingin tahu yang kritis dan enggan mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan mendasar. Sikap mereka cenderung kompetitif daripada kolaboratif, dan mereka takut mengambil risiko dalam belajar. Menurut Claxton, pendekatan pendidikan saat ini gagal menumbuhkan siswa yang berani dan proaktif dalam belajar.
Webster dan Whelen (2019:3) memperkuat kritik ini dengan menegaskan bahwa pendidikan seharusnya menjadi upaya moral yang memberikan pengalaman berharga baik bagi siswa maupun masyarakat. Mereka mengungkapkan keprihatinan bahwa terdapat pemisahan yang signifikan antara konsep pendidikan, pembelajaran, dan bersekolah.
Jika pengajaran dan pembelajaran dipisahkan dari tujuan mendasar pendidikan, keduanya hanya akan menjadi kegiatan teknis yang kehilangan arah, tujuan, dan nilai. Pendidikan harus kembali pada misi intinya untuk memastikan bahwa ia tidak hanya berfungsi sebagai kegiatan teknis, tetapi juga sebagai proses bermakna yang mempersiapkan individu menghadapi tantangan kehidupan yang sesungguhnya.
Konsep learning power (daya belajar) telah lama menjadi bahasan dalam penelitian sosial dan pendidikan. Pada 1965, JW Forrester, ahli sistem dan profesor di MIT, memperkenalkan konsep ini melalui artikel berjudul The Sustaining of The Competitive Power of Companies by Organizational Learning. Gagasan ini kemudian diterapkan dalam dunia pendidikan. Menurut Claxton (2002), daya belajar adalah kombinasi antara kemampuan dan karakter belajar yang dimiliki siswa, termasuk kebiasaan berpikir umum yang mencakup rasa percaya diri, rasa ingin tahu, dan kreativitas (Dai, 2015:129).
Secara esensial, daya belajar adalah energi hidup dalam diri manusia yang memotivasi pertumbuhan, perkembangan, dan pemenuhan diri sepanjang waktu. Energi ini menjadi pendorong kesuksesan manusia dalam bidang budaya, pengetahuan, dan kemanusiaan. Tujuan belajar adalah untuk mengembangkan diri sekaligus mempersiapkan individu menghadapi tantangan kehidupan dewasa (Crick, 2006: 2, 3).
Daya belajar mencakup kesadaran diri seseorang sebagai pembelajar, yang tecermin dalam perilaku, keyakinan, dan perasaan terhadap proses belajarnya. Konsep ini melibatkan pemahaman diri dan tanggung jawab terhadap pengembangan pribadi, serta harapan dan aspirasi masa depan (Crick, 2006).
Daya belajar mencakup rasa ingin tahu, keberanian, eksplorasi, imajinasi, pemikiran kritis, sosiabilitas, dan refleksi, yang berfungsi sebagai ‘otot belajar’ untuk memperkuat kesadaran diri sebagai pembelajar (Claxton, 2008). Elemen-elemen ini bukan hanya keterampilan teknis, tetapi juga kualitas berpikir yang memupuk kepercayaan diri dan kesiapan menghadapi tantangan hidup. Guru berperan penting dalam membantu siswa mengembangkan daya belajar mereka.
Siapa pembelajar tangguh?
Claxton (2008) mengidentifikasi karakteristik pembelajar tangguh, yang ditandai oleh rasa ingin tahu yang tinggi dan keinginan untuk memahami hal-hal baru dengan skeptisisme terhadap informasi yang diterima. Mereka menghadapi ketidakpastian dengan berani, melihat kesalahan sebagai bagian penting dari proses belajar.
Pembelajar ini terampil dalam penelitian, mampu menyaring dan mengevaluasi informasi, serta terbuka terhadap sumber dan peluang baru. Pendekatan eksperimental mereka mencakup pencarian terus-menerus untuk meningkatkan keterampilan, bahkan dari kemajuan kecil.
Kreativitas dan imajinasi membantu mereka mengeksplorasi kemungkinan baru, sedangkan pemikiran kritis terasah melalui pertanyaan mendalam. Secara sosial, mereka berkolaborasi dengan baik, berbagi ide, dan peka terhadap dinamika kelompok. Pembelajar tangguh juga reflektif, menganalisis kekuatan dan kelemahan proses belajar mereka dan memandang diri sebagai individu yang terus berkembang, tanpa terikat pada label.
Pendidikan lebih dari sekadar proses akademis; ia adalah landasan pembentukan karakter dan keterampilan generasi mendatang. Dalam menghadapi tantangan yang kompleks, pengembangan daya belajar dan sikap reflektif siswa sangat penting.
Dengan menumbuhkan rasa ingin tahu, keberanian, dan kreativitas, kita mempersiapkan individu untuk sukses di dunia kerja dan berkontribusi dalam masyarakat. Sebagai pendidik, kita harus menciptakan lingkungan pembelajaran yang mendukung pengembangan karakter dan daya belajar siswa. Dengan demikian, pendidikan yang kita berikan menjadi relevan dan membantu mereka menjadi pembelajar seumur hidup yang siap menghadapi masa depan.
Walallaahu a’lam.