SALAH satu persoalan iklim yang menjadi perhatian dunia saat ini ialah pemanasan global yang disebabkan oleh efek rumah kaca. Salah satunya akibat emisi gas karbon dioksida (CO2).
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Peneliti Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air (PRLSDA) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Mahally Kudsy menjelaskan, inventor menawarkan solusi baru dalam mengatasi masalah karbon dioksida melalui metode penyemaian kapur kalsium oksida (CaO) atau kalsium hidroksida (Ca(OH)2) di area yang mengandung konsentrasi CO2 tinggi.
“Penyemaian ini dapat dilakukan baik secara dinamis menggunakan pesawat terbang, maupun secara statis dengan menggunakan base generator,” kata Mahally dalam keterangan resmi, Selasa (12/11).
Tujuan utama dari penemuan ini, ungkap Mahally, adalah untuk mengurangi konsentrasi gas karbon dioksida yang terbentuk akibat kebakaran hutan dan atau lahan. Hal ini dilakukan dengan metode penyemaian kapur kalsium oksida atau kalsium hidroksida di udara yang terkontaminasi gas CO2, termasuk yang tercampur dengan asap kebakaran hutan.
“Selain itu, invensi ini bertujuan untuk menawarkan metode baru dalam mengatasi pemanasan global dengan cara mengurangi salah satu gas rumah kaca, yaitu CO2, melalui penyemaian kapur ke dalam udara yang mengandung gas rumah kaca tersebut,” tambah peneliti yang tergabung dalam Kelompok Riset Rekayasa Cuaca untuk Pengelolaan Sumber Daya Air ini.
Kalsium oksida dan kalsium hidroksida memiliki sifat yang secara spontan dapat mengikat gas CO2 dan mengubahnya menjadi kalsium karbonat (CaCO3). Proses ini membuat kedua senyawa ini sangat tepat digunakan untuk mengurangi gas rumah kaca, khususnya CO2.
Mahally menyebut, kapur kalsium oksida dan kalsium hidroksida merupakan senyawa yang mudah didapatkan di pasaran dan sangat efektif dalam menyerap gas CO2 dari udara, kemudian mengubahnya menjadi kalsium karbonat.
Meskipun gas rumah kaca seperti CO2 dalam konsentrasi tertentu diperlukan untuk mendukung kehidupan tumbuh-tumbuhan, kelebihan gas CO2 di atmosfer dapat menyebabkan pemanasan global yang berbahaya. Tanpa adanya gas rumah kaca, perbedaan suhu antara siang dan malam hari akan sangat ekstrem, yang dapat mengganggu keseimbangan ekosistem.
Lebih lanjut Mahally mengemukakan, menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), jika laju emisi gas CO2 terus dibiarkan tanpa upaya pengurangan, suhu global rata-rata diperkirakan akan meningkat 0,3 derajat celsius setiap sepuluh tahun.
Menurutnya, karbon dioksida memiliki kemampuan bertahan lama di atmosfer, bahkan bisa terurai dalam waktu 50 hingga 200 tahun. Akibatnya, konsentrasi CO2 di atmosfer semakin meningkat seiring berjalannya waktu.
“Upaya yang dilakukan oleh para ahli selama ini umumnya bersifat pencegahan. Seperti himbauan untuk mengurangi penggunaan material yang menghasilkan gas CO2 berlebihan, atau upaya statis seperti penanaman pohon untuk menyerap CO2 dari atmosfer. Namun, seiring dengan semakin berkurangnya luas hutan dan lahan pertanian akibat pertambahan jumlah penduduk dan perluasan daerah industri, maka untuk mempertahankan daerah hijau dan area tanam semakin sulit,” ungkap Mahally.
“Selain itu, sering terjadinya kebakaran hutan dan lahan semakin memperburuk kondisi ini,” tegasnya.
Mewakili Kepala PRLSDA BRIN, Hendro Wibowo menyampaikan, salah satu persoalan yang menjadi perhatian dunia hingga saat ini adalah masalah global warming sebagai efek dari rumah kaca, salah satunya dengan gas karbon dioksida. Menurut IPCC, jika laju emisi gas ini dibiarkan terus tanpa upaya menguranginya, maka suhu akan meningkat terus.
“Di Indonesia, pemanasan global telah menyebabkan musim kemarau semakin panjang dan kering sehingga menyebabkan kekeringan di beberapa area. Sedangkan musim hujan makin pendek tetapi dengan intensitas yang sangat tinggi dapat menyebabkan longsor,” pungkasnya. (h-2)