KUNJUNGAN Presiden Prabowo Subianto ke Tiongkok pada 8–10 November 2024 menjadi tonggak penting dalam hubungan bilateral Indonesia-Tiongkok. Ditambah dengan rencana Indonesia bergabung dengan BRICS, kemitraan strategis itu semakin memperkuat posisi kedua negara di panggung internasional.
Langkah-langkah tersebut mencerminkan tekad Indonesia dan Tiongkok untuk meningkatkan kerja sama di bidang ekonomi, politik, dan diplomasi, khususnya dalam konteks Global South yang meliputi negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Melalui kolaborasi itu, Indonesia dan Tiongkok berupaya membangun tatanan global yang lebih adil dan inklusif di tengah dunia yang semakin multipolar.
Di era globalisasi yang sarat ketidakpastian geopolitik, hubungan Indonesia-Tiongkok mencakup lebih dari sekadar ekonomi atau perdagangan. Itu juga mencerminkan bagaimana dua kekuatan di Global South dapat bersama-sama berkontribusi pada tatanan dunia yang lebih seimbang.
Namun, di balik optimisme tersebut, Indonesia perlu bersikap kritis dan berhati-hati dalam menghadapi tantangan yang mungkin muncul, terutama terkait dengan kedaulatan nasional dan posisinya di antara negara-negara BRICS dan Global South lainnya.
MI/Seno
Relevansi Global South dalam dunia multipolar
Istilah Global South telah menjadi lebih dari sekadar klasifikasi geografis. Di tengah meningkatnya ketidaksetaraan global, Global South telah menjadi simbol perjuangan negara-negara berkembang untuk memperoleh kesetaraan ekonomi, politik, dan sosial di kancah internasional.
Sejak Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada 1955, negara-negara Global South telah berusaha menciptakan solidaritas yang kuat untuk melawan dominasi Barat dan menemukan solusi bersama bagi masalah-masalah pembangunan.
Dalam konteks itu, kemitraan antara Indonesia dan Tiongkok ialah salah satu contoh bagaimana negara-negara di Global South dapat memanfaatkan potensi mereka untuk saling mendukung dan mendorong pembangunan yang lebih inklusif.
Tiongkok, sebagai kekuatan ekonomi terbesar di Global South, telah berhasil menjadi contoh bagaimana negara berkembang dapat menantang hegemoni Barat melalui kekuatan ekonominya.
Di sisi lain, Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara memiliki peran kunci dalam menjaga stabilitas kawasan dan berpotensi menjadi pemimpin di antara negara-negara berkembang lainnya.
Namun, apakah kemitraan itu benar-benar dapat membawa solidaritas Global South yang lebih kuat atau justru menempatkan Indonesia dalam posisi yang rentan? Pertanyaan ini menjadi semakin relevan ketika kita menelaah beberapa aspek penting dari hubungan Indonesia-Tiongkok.
Proyek Belt and Road Initiative (BRI)
Salah satu elemen utama dalam kemitraan Indonesia-Tiongkok adalah keterlibatan Indonesia dalam proyek Belt and Road Initiative (BRI). BRI adalah proyek ambisius yang diluncurkan Tiongkok pada 2013 dengan tujuan memperkuat konektivitas global melalui pembangunan infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, dan rel kereta api. Di Indonesia, proyek-proyek seperti Kereta Cepat Jakarta-Bandung dan pembangunan kawasan industri Morowali menjadi simbol penting dari kerja sama BRI.
Meskipun proyek tersebut membawa manfaat nyata bagi pembangunan infrastruktur Indonesia, terdapat tantangan besar yang perlu diantisipasi, yakni potensi ketergantungan ekonomi.
Proyek-proyek infrastruktur yang didanai oleh pinjaman dari Tiongkok sering kali menimbulkan kekhawatiran akan jebakan utang, sebuah situasi yang mana negara penerima proyek menghadapi kesulitan untuk membayar kembali pinjaman besar yang diberikan oleh Tiongkok.
Situasi seperti itu sudah terjadi di beberapa negara, termasuk Sri Lanka, yang terpaksa menyerahkan kendali atas pelabuhan strategisnya kepada Tiongkok setelah gagal melunasi utang terkait dengan proyek BRI.
Dalam konteks Indonesia, potensi jebakan utang itu menjadi tantangan serius yang harus diantisipasi. Pemerintah Indonesia harus memastikan bahwa setiap proyek yang didanai melalui BRI tidak hanya memberikan manfaat jangka pendek, tetapi juga memperhitungkan dampak jangka panjang bagi perekonomian nasional.
Transparansi dalam pengelolaan proyek, analisis biaya-manfaat yang mendalam, dan tata kelola yang baik ialah kunci untuk meminimalisasi risiko ketergantungan yang berlebihan.
Geopolitik tantangan Laut China Selatan
Selain tantangan ekonomi, hubungan Indonesia-Tiongkok juga menghadirkan tantangan geopolitik, terutama terkait dengan sengketa di Laut China Selatan. Meskipun Indonesia secara teknis tidak terlibat langsung dalam sengketa tersebut, klaim Tiongkok atas nine-dash line yang tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di perairan Natuna menjadi sumber ketegangan yang potensial.
Dalam situasi itu, Indonesia menghadapi dilema strategis. Di satu sisi, Indonesia membutuhkan investasi Tiongkok untuk mendukung pembangunan ekonomi, di sisi lain, Indonesia juga harus menjaga kedaulatannya atas wilayah maritim.
Kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas aktif menempatkan negara ini dalam posisi yang unik untuk memainkan peran sebagai mediator dalam sengketa Laut China Selatan. Namun, posisi itu juga memerlukan diplomasi yang hati-hati agar Indonesia tidak terjebak dalam konflik kepentingan antara Tiongkok dan negara-negara ASEAN lainnya, seperti Filipina dan Vietnam.
Dalam konteks teori neorealisme, situasi itu menggambarkan bagaimana negara-negara harus terus berusaha mempertahankan keamanan dan kepentingan nasional mereka di tengah sistem internasional yang anarkis.
Dengan meningkatnya kekuatan Tiongkok di kawasan Asia-Pasifik, Indonesia harus menyeimbangkan hubungannya dengan Tiongkok tanpa mengabaikan aliansi strategis lainnya, termasuk dengan Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara ASEAN.
Solidaritas Global South
Untuk memahami lebih jauh bagaimana hubungan Indonesia-Tiongkok dapat memperkuat solidaritas Global South, penting bagi kita untuk menghindari pandangan yang sempit tentang kerja sama Selatan-Selatan.
Solidaritas Global South harus didasarkan pada prinsip-prinsip saling menghormati, kesetaraan, dan kemandirian, bukan pada ketergantungan sepihak.
Bagi Indonesia, itu berarti bahwa hubungan dengan Tiongkok harus diarahkan untuk mencapai pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan dengan mengutamakan kepentingan nasional dan kedaulatan.
Kerja sama ekonomi yang berbasis pada proyek-proyek BRI harus dipandang sebagai peluang, bukan sebagai beban yang dapat menjerat Indonesia dalam siklus utang. Selain itu, Indonesia harus memperluas cakupan kerja sama dengan negara-negara Global South lainnya di luar Tiongkok, seperti India, Brasil, dan Afrika Selatan, untuk memperkuat posisi negosiasinya di kancah internasional.
Dalam konteks tersebut, peran ASEAN juga sangat penting. Indonesia, sebagai pemimpin de facto di ASEAN, dapat menggunakan platform regional itu untuk mendorong kerja sama yang lebih luas di antara negara-negara Global South.
ASEAN memiliki potensi besar untuk menjadi blok yang kuat dalam tatanan dunia multipolar. Namun, itu hanya dapat terwujud jika negara-negara anggotanya, termasuk Indonesia, dapat bekerja sama secara efektif untuk mengatasi tantangan bersama.
Mengelola sentimen publik
Selain tantangan eksternal, hubungan Indonesia-Tiongkok juga menghadapi tantangan internal yang tidak boleh diabaikan. Sentimen publik terhadap Tiongkok di Indonesia sering kali dipengaruhi oleh faktor sejarah dan politik.
Sejak era Orde Baru, terdapat ketegangan yang mengakar terkait dengan komunitas Tionghoa di Indonesia, yang terkadang menimbulkan sentimen negatif terhadap Tiongkok. Sentimen itu, meskipun telah mereda, masih muncul dalam bentuk ketidakpercayaan terhadap investasi dan kerja sama dengan Tiongkok.
Survei ISEAS-Yusof Ishak Institute pada 2022 menunjukkan bahwa sebanyak 41,5% masyarakat Indonesia mengkhawatirkan potensi jebakan utang dalam proyek BRI. Selain itu, penurunan pandangan positif terhadap Tiongkok, dari 76,7% pada 2015 menjadi 66% pada 2020, menunjukkan bahwa ada tantangan serius dalam membangun kepercayaan publik terhadap kerja sama Indonesia-Tiongkok.
Untuk mengatasi masalah itu, pemerintah Indonesia perlu mengedepankan diplomasi publik yang inklusif dan transparan. Masyarakat perlu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan kerja sama internasional, terutama dalam hal yang berkaitan dengan investasi dan proyek-proyek besar.
Pertukaran budaya dan pendidikan antara Indonesia dan Tiongkok juga harus diperkuat untuk mengurangi ketegangan dan kesalahpahaman yang mungkin timbul.
Memperkuat kemitraan
Kunjungan Presiden Prabowo ke Tiongkok ialah langkah penting dalam memperkuat hubungan strategis Indonesia-Tiongkok yang menawarkan peluang signifikan bagi pembangunan ekonomi Indonesia sekaligus meningkatkan posisi kedua negara di panggung internasional.
Kemitraan tersebut sangat berpotensi untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan memajukan kepentingan bersama di kawasan Asia dan Global South. Namun, penting bagi Indonesia untuk memastikan bahwa kerja sama itu tetap berlandaskan pada prinsip kesetaraan dan kemandirian.
Dalam beberapa proyek infrastruktur yang melibatkan kedua negara, Indonesia dapat mengambil langkah-langkah pengelolaan yang transparan dan evaluasi menyeluruh terhadap manfaat jangka panjang.
Pendekatan itu bertujuan agar setiap inisiatif bersama benar-benar mendukung pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan, sejalan dengan kepentingan nasional Indonesia. Kesuksesan proyek BRI di Indonesia, misalnya, akan semakin diperkuat dengan pengelolaan yang memastikan keseimbangan antara manfaat ekonomi dan keberlanjutan, menghindari potensi risiko bagi kedua belah pihak.
Selain itu, Indonesia perlu memperkuat kemitraannya di kawasan ASEAN dan Global South untuk menyeimbangkan pengaruh dan mendorong kolaborasi yang lebih luas. Dengan memperkaya hubungan strategisnya, Indonesia dapat tetap memegang peran independen dan proaktif dalam mendukung stabilitas regional.
Jika dikelola dengan prinsip saling menghormati dan transparansi, kemitraan Indonesia-Tiongkok dapat menjadi contoh hubungan bilateral yang bermanfaat bagi kedua negara dan mempromosikan solidaritas di Global South.
Dengan menempatkan kepentingan bersama dan pembangunan yang seimbang sebagai prioritas, Indonesia dan Tiongkok dapat membangun fondasi yang kukuh untuk kerja sama jangka panjang yang produktif dan berkelanjutan.