KRISIS iklim yang terjadi saat ini di Indonesia menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam kemandirian pangan yang ditargetkan Presiden Prabowo Subianto. Sektor pertanian pasti akan terdampak dengan perubahan iklim tersebut, yang kemudian akan mengurangi produksi berbagai produk hasil pertanian.
Di sisi lain, geopolitik yang terjadi di mana banyak negara melakukan peperangan juga bisa membuat kebutuhan pangan dalam negeri terancam karena selama ini ada sejumlah produk yang didatangkan secara impor.
“Oleh karena itu restorasi sumber daya air dan iklim dapat dilakukan sebagai salah satu solusi permanen darurat pangan demi mendukung ketahanan pangan yang berkelanjutan,” kata Menteri Pertanian (Mentan) Amran dalam sambutannya, yang dibacakan kepala Kepala Badan Standardisasi Instrumen Pertanian (BSIP), Fadjry Djufry dalam simposium bertema “Restorasi Sumber Daya Air dan Iklim untuk Kemandirian Pangan Menuju Indonesia Emas 2045” di Bandung, Rabu (30/10).
Menurut Amran, tahun ini Kementan telah mencapai beberapa hasil signifikan, terutama di bidang pengelolaan air dan perubahan iklim, dengan melakukan terobosan melalui solusi cepat peningkatan produksi padi. Kementan mengalokasikan subsidi pupuk sebesar 9,55 ton dan menggencarkan program perluasan areal tanam (PAT) melalui pompanisasi, optimalisasi lahan rawa, dan tumpang sisip padi gogo serta cetak sawah.
“Program pompanisasi di sawah tadah hujan telah berhasil meningkatkan produksi beras selama tiga bulan berturut-turut. Sejumlah 60.332 unit pompa dan 5.262 unit irigasi perpompaan, direalisasikan untuk meningkatkan produktivitas dan menyelamatkan pertanaman dari ancaman kekeringan karena keterlambatan tanam akibat perubahan iklim,” papar Amran.
Amran melanjutkan, data proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan terjadi kenaikan produksi beras pada bulan Agustus 2024 sebesar 2,84 juta ton, September 2,87 juta ton dan Oktober 2,59 juta ton. Jika dibandingkan dengan tahun 2023 pada bulan yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa peran restorasi sumber daya air menjadi semakin vital.
“Demikian juga dengan penerapan teknologi pertanian cerdas iklim.Restorasi sumber daya air dan iklim di sektor pertanian dimaksudkan untuk menyesuaikan, merekayasa, mengevaluasi dan memonitor sumber daya air dan iklim secara komprehensif dan berkelanjutan, berbasis kawasan dan masyarakat pertanian. Perbaikan ini harus diarahkan pada perbaikan ekosistem yang berperan dalam penyediaan jasa lingkungan melalui pengembangan pertanian terpadu,” tuturnya.
Khusus untuk beras, kata Amran perlu dilakukan produksi berkelanjutan agar bisa ada kemandirian atau swasembada pangan di Indonesia. Kementan
pun mempersiapkan setidaknya empat program utama, yaitu, pertama ekstensifikasi yang dilakukan dengan pencetakan sawah baru seluas 3 juta hektar selama kurun waktu tiga tahun.
Kedua, intensifikasi untuk optimalisasi lahan melalui : peningkatan indeks pertanaman padi, menjamin ketersediaan benih unggul bersertifikat, pengendalian OPT, penggunaan mekanisasi pertanian modern.
Ketiga adalah revitalisasi irigasi dan pemanfaatan 61 bendungan dengan total potensi layanan mencapai 400.000 hektare, serta meningkatkan efisiensi alsintan khususnya irigasi perpompaan bertenaga Listrik dan terakhir transformasi pertanian tradisional ke modern melalui cluster pertanian modern, mulai dari hulu
ke hilir.
“Selain itu, Kementan juga mendukung restorasi sumber daya air melalui penerapan pertanian cerdas iklim (Climate Smart Agriculture) yang mencakup pemanfaatan teknologi sensor tanah. Drip irrigation, serta pemantauan cuaca berbasis satelit yang secara tepat waktu membantu petani dalam mengambil keputusan yang lebih tepat. Serta penguatan kapasitas petani dan infrastruktur pendukung melalui pelatihan dan penyuluhan yang lebih intensif. Ada juga peningkatan akses terhadap informasi iklim yang akurat melalui aplikasi digital,” ujar Amran.
Di sisi lain lanjut Amran, Kementan juga telah melakukan langkah-langkah untuk memitigasi dampak bencana alam yang semakin sering terjadi, seperti kekeringan, banjir, dan kebakaran lahan. Program mitigasi ini dilakukan dengan memperkuat sinergi antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat petani.
Pada 2024, lebih dari 128.000 hektare lahan pertanian yang terdampak kekeringan telah berhasil direhabilitasi melalui bantuan perbaikan irigasi dan pompa air, tertanaminya lahan rawa melalui optimalisasi lahan seluas 400.000 hektare, serta perluasan areal tanam padi seluas 1,1 juta ha.
“Keberhasilan ini tentu saja tidak bisa kita capai sendiri. Kita membutuhkan kerja sama dari semua pihak, baik dari pemerintah, akademisi, praktisi dan seluruh masyarakat pertanian. Kami juga berkomitmen untuk terus mendukung penelitian dan pengembangan inovasi teknologi pertanian yang berbasis pada prinsip-prinsip keberlanjutan dalam mewujudkan kemandirian pangan menuju Indonesia Emas 2045. (H-2)