Inovasi Jamur Tempe Jadi Daging Vegetarian: Solusi Superfood Nabati Berpotensi Kurangi Stunting

5 days ago 3
 Solusi Superfood Nabati Berpotensi Kurangi Stunting Rachma Wikandari, S.T.P., M.Biotech, Ph.D., salah satu peneliti pemenang dari L'Oréal-UNESCO For Women in Science (FWIS) 2024(MI/Nur Amalina)

TEMPE sudah menjadi makanan khas Indonesia yang sering disajikan dalam menu masakan sehari-hari. Berbagai olahan tempe banyak diminati, mulai dari tempe mendoan hingga keripik tempe. Namun, pernahkah Anda membayangkan jamur tempe dapat dijadikan daging

Ya, daging vegetarian yang rasanya sangat mirip dengan daging unggas. Selain itu, jamur tempe yang dapat dijadikan alternatif memiliki gizi yang baik, protein tinggi, tidak mengandung anti-gizi, dan mudah ditumbuhkan.

Seperti Apa Bentuk Jamur Tempe?

Jika Anda membeli tempe dan melihat ada serabut halus yang membaluti kacang kedelai, itulah jamur tempe. Daging vegetarian yang dihasilkan dari jamur tempe memiliki kandungan nutrisi yang tak kalah dengan daging pada umumnya. Mari kita telusuri keajaiban dari jamur tempe ini.

Rachma Wikandari, S.T.P., M.Biotech, Ph.D., salah satu peneliti pemenang dari L'Oréal-UNESCO For Women in Science (FWIS) 2024, berhasil mengembangkan penemuannya mengenai jamur tempe yang dapat diolah menjadi daging vegetarian dengan rasa yang sangat mirip dengan daging unggas. Ia mengembangkan sumber protein dan mineral berbasis jamur benang (Rhizopus oligosporus) sebagai solusi nabati yang lebih terjangkau dan bergizi. Penelitiannya berpotensi mengurangi stunting dan mendukung ekonomi sirkular dengan memanfaatkan limbah pabrik tempe.

“Jadi, ini namanya mikroprotein. Tadi yang daging tiruan yang berasal dari tubuh jamur itu namanya mikroprotein. Mikroprotein ini memang di Indonesia belum ada, dan biasanya yang digunakan adalah jamur Fusarium venenatum, di mana itu jamurnya berasal dari tanah,” ujar Rachma.

Pengembangan jamur tempe menjadi daging tiruan ini merupakan hal yang baru dan belum dilakukan sebelumnya. Rachma mengatakan, “penggunaan jamur untuk membuat daging tiruan memang sudah ada di luar negeri, namun untuk jamur tempe sendiri baru dilakukan di Indonesia.”

Dosen dari Departemen Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Universitas Gadjah Mada ini memanfaatkan limbah kedelai untuk menghasilkan mikroprotein dengan kandungan gizi tinggi yang dapat mendukung ketahanan pangan dan ekonomi sirkular.

“Penelitian saya sebelumnya telah berhasil menemukan jamur tempe pada sisa rebusan kedelai di pabrik tempe untuk menghasilkan mikroprotein, dan kami menganalisis kandungan gizinya. Hasilnya menunjukkan bahwa proteinnya tinggi, seratnya tinggi, rendah lemak, dan mengandung asam amino esensial yang lengkap,” ujarnya.

Hasil dari penelitian ini sudah melalui uji konsumen atau uji pasar dan mendapatkan respon yang positif. Pengujian ini telah dilakukan terhadap 200 orang masyarakat umum di Alun-Alun Kidul Yogyakarta. Hasil pengujian ini disambut dengan baik oleh para konsumen, bahkan ada yang tidak bisa membedakan antara daging yang terbuat dari jamur tempe dan daging sebenarnya.

“Kami sudah mencoba kepada 200 orang, dan dari segi rasa mereka juga menerima. Kami sudah melakukan uji pasar yang dilakukan kepada masyarakat umum di wilayah Alun-Alun Kidul Jogja. Mereka bilang mereka akan membeli karena manfaat kesehatannya. Kami juga sudah mengujikan, dan dari beberapa orang bahkan tidak tahu itu bukan dari daging. Jadi, kami mengujikan produknya ada tiga: satu dari mikroprotein dan dua lagi dari daging ayam. Tapi ada beberapa orang yang salah menebak,” jelas Rachma.

Besar harapannya agar daging tiruan dari jamur tempe ini dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat. Sayangnya, saat ini peraturan agar daging ini bisa dinikmati oleh masyarakat luas belum selesai. Namun, hal ini sudah menjadi pembicaraan dengan pihak industri.

“Ini juga sudah ada pembicaraan dengan industri juga. Jadi, kalau secara peraturan bisa disetujui, ini bisa cepat. Yang lama adalah mengurus peraturan itu yang saya di luar bisa. Kalau dari riset dan teknologi-nya semuanya sudah siap,” ujar Rachma.

Untuk perkiraan waktu, Rachma memperkirakan bahwa produksi secara luas agar masyarakat Indonesia dapat menikmatinya akan terlaksana sekitar 5 tahun mendatang. Bagi Anda yang penasaran dengan rasanya, mohon bersabar, dan semoga penelitian ini terus berkembang serta berpotensi menjadi superfood bagi Indonesia yang tidak hanya mendukung ketahanan pangan, tetapi juga ekonomi sirkular. (Z-3)

Read Entire Article
Global Food