BADAN Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan potensi pemanfaatan sumber air yang terdapat di kawasan karst. Hal itu untuk mengatasi persoalan keterbatasan akses air bersih di banyak wilayah.
Deputi Riset dan Inovasi Daerah BRIN Yopi menyampaikan, kawasan karst memiliki formasi geologi khusus berupa batuan kapur yang menyimpan air di bawah permukaan tanah. Ia diperkirakan memiliki ketersediaan air yang melimpah dan kualitas yang baik.
“Di Indonesia, kawasan karst mencakup sekitar 55.000 km persegi, dengan wilayah Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), sebagai kawasan terbesar yang memiliki luas hingga 28.000 km persegi,” ungkapnya dalam keterangan resmi, Kamis (14/11).
Untuk itu, BRIN menekankan pentingnya pengenalan teknologi dalam pemanfaatan air bawah tanah karst. Teknologi diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas pasokan air bersih, terutama di wilayah yang mengalami kekurangan pasokan air bersih.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Limnologi dan Sumber Daya Air Bersih BRIN Ignasius Dwi Atmana Sutapa menjelaskan, wilayah karst yang terbentuk dari batuan kapur ini memiliki formasi geologi yang unik. Air permukaan sering kali sulit ditemukan karena sebagian besar air meresap ke dalam tanah.
“Wilayah Karst tampak kering di permukaannya, padahal kawasan ini sebenarnya menyimpan cadangan air tanah yang cukup besar. Hal ini sebagai tantangan utama di wilayah karst agar kita dapat mengakses dan memanfaatkan cadangan air tanah tersebut secara optimal," ungkapnya.
Dalam menghadapi tantangan tersebut, ungkapnya, teknologi memainkan peranan penting. Berbagai inovasi, mulai dari metode sederhana seperti slow sand filter hingga teknologi canggih seperti membran dan smart drinking water treatment kini telah dikembangkan untuk mengolah air baku menjadi air bersih yang aman untuk dikonsumsi.
“Kualitas air di berbagai wilayah karst seperti di Gunung Kidul, sering kali terkontaminasi dengan kandungan kapur tinggi. Maka teknologi modern memungkinkan pengolahan air yang lebih efisien dan efektif,” tambahnya.
Selain itu, Ignasius membeberkan teknologi terbaru yang memanfaatkan energi terbarukan, seperti panel surya dan turbin mikro-hidro, kini tengah diuji untuk mengatasi tantangan energi dalam proses pengolahan air.
"Dengan memanfaatkan sumber daya alam lokal, seperti arus sungai bawah tanah, teknologi ini diharapkan dapat mendukung keberlanjutan penyediaan air bersih, khususnya di wilayah-wilayah terpencil dan sulit dijangkau," jelasnya.
Ignasius menekankan, masalah utama dalam penyediaan air bersih bukan hanya pada aspek teknologinya, tetapi juga pada kebijakan dan keberpihakan pemerintah. Dalam konteks ini, pemerintah perlu lebih memperhatikan kebutuhan daerah-daerah marginal seperti kawasan karst, gambut, dan pesisir yang sering kali kekurangan perhatian dalam pembangunan infrastruktur air bersih.
Ignasius mengingatkan, kerja sama antara pemerintah, peneliti, sektor swasta, dan masyarakat sangat penting untuk mengatasi krisis air bersih ini. Teknologi yang terus berkembang harus disesuaikan dengan kondisi lokal, termasuk kualitas air baku, volume, dan kontinuitasnya.
“Selain itu, riset dan pengembangannya juga perlu difokuskan pada pemanfaatan sumber daya air yang ada dengan biaya yang efisien dan ramah lingkungan,” pungkasnya. (H-2)