Gelaran Indonesian Dance Festival (IDF) 2024 yang mengusung tema Liquid Ranah telah dimulai sejak, Sabtu (2/11) dan berlangsung hingga 6 November. IDF 2024 menghadirkan 12 karya tari, 10 kelas lokakarya, dan melibatkan lebih dari 50 seniman multidisiplin dalam berbagai programnya. Seniman tari dan koreografer yang terlibat pun tak hanya dari seantero Indonesia, namun juga berasal dari berbagai negara seperti Jepang, Filipina, Laos, Taiwan, Amerika Serikat, Australia, dan Prancis.
Sebagai salah satu festival tari kontemporer paling langgeng di Asia Tenggara dan salah satu yang tertua di dunia, IDF 2024 merupakan peristiwa kesenian yang menjadi titik temu penting bagi pegiat seni tari, sekaligus meletakkan Indonesia pada peta ekosistem tari kontemporer global. Seluruh rangkaian acara ini akan berlangsung di tiga lokasi: Graha Bhakti Budaya Jakarta Pusat, Komunitas Salihara Arts Center Jakarta Selatan, Institut Kesenian Jakarta Jakarta Pusat, dan Galeri Indonesia Kaya Jakarta Pusat.
Liquid Ranah yang menjadi tema tahun ini, ditujukan untuk mewadahi ragam karya yang dibawa oleh para koreografer. Liquid berarti cair dalam bahasa Indonesia, dan Ranah berarti realm dalam bahasa Inggris menjadi konsep kuratorial yang mengajak para seniman dan penonton untuk menyelami kemungkinan-kemungkinan gerak yang cair.
Dengan ragam eksplorasi karya pada isu seputar gender, pergulatan identitas, perjuangan atas ruang gerak, memori kolektif tubuh, mitologi, hingga spiritualitas, festival ini merayakan bagaimana tari kontemporer memperkaya interaksi manusia dengan tempat, komunitas, dan media sehari-hari. IDF 2024 dikuratori oleh Agnesia Linda Mayasari, dan Nia Agustina (Indonesia), Arco Renz (Belgia), River Lin (Taiwan) menjajal kerangka kuratorial yang berangkat dari ragam karya, gagasan, dan ekspresi realitas yang hadir akhir-akhir ini.
“Liquid Ranah mewujudkan gagasan tentang fluiditas dan keberagaman, serta membentuk kembali kemampuan beradaptasi dan ketahanan kita sendiri di dalam dunia yang terus berubah, termasuk cara-cara mengkoreografi visi dan tubuh kita,” ungkap Linda Agnesia, salah satu kurator IDF 2024 lewat siaran pers yang diterima Media Indonesia, Minggu, (3/11).
Salah satu karya yang mencerminkan tema Liquid Ranah misalnya, Bedhaya Hagoromo dari maestro tari Indonesia Didik Nini Thowok dengan seniman noh Akira Matsui dan Richard Emmert. Melalui strategi artistik yang meleburkan keanggunan tari bedhaya klasik Yogyakarta dengan drama Noh klasik Jepang, karya ini mengelaborasi isu-isu budaya yang lebih luas tentang inovasi, kolaborasi, perjuangan kelas dan identitas, lokasi budaya, serta politik representasi. Karya ini juga menunjukkan bagaimana budaya gender direpresentasikan dan dinegosiasikan dalam konteks pertunjukan transnasional.
Karya seniman-seniman lain juga patut ditunggu. Nastaran Razawi Khorasani (Iran) misalnya, menampilkan This is not a dance yang mengangkat isu soal perang, sensor, dan kebebasan berekspresi. Karya The Singer dari Bunny Cadag, koreografer muda asal Filipina, menggabungkan teater, musik vokal, kerajinan, dan gerakan untuk membicarakan gender, kolonialisme, hingga penyembuhan. Ada pula Huang Huai-te (Taiwan) dengan karya Pan Xian, Leu Wijee (Indonesia) dan Mio Ishida (Jepang) dengan karya Ridden, Fitri Setyaningsih (Indonesia) dengan karya Garis Tegak Lurus, serta Try Anggara (Indonesia) dengan Dibungkus Level 5, akan membawa penonton menyelami fluiditas dan keberagaman yang senantiasa melingkupi dan semakin nyata di sekitar kita.
Untuk mewadahi tema dan ragam karya tersebut, IDF 2024 yang tahun ini telah sampai pada penyelenggaraan ke-17 menghadirkan sembilan program, pertunjukan malam, kampana, pertunjukan situs spesifik, bincang tari, lokakarya dan masterclass, matatari, simpul gerak, laku cipta, dan lifetime achievement award. (Z-11)