Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengungkapkan peraturan pemerintah (PP) terkait hapus tagih kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang ada di Himbara atau bank-bank BUMN, saat ini tengah digodok. Menurutnya, aturan itu menjadi angin segar bagi UMKM karena memiliki dasar hukum yang kuat dalam mengambil langkah penting untuk menjalankan usaha mereka ke depannya. Hingga saat ini, kredit macet UMKM di bank-bank BUMN mencapai Rp8,7 triliun. Hal ini dijelaskan Erick Thohir dalam Rapat Kerja dengan Komisi VI, DPR di Senayan, Jakarta, Senin (4/11).
"Kami memerlukan payung hukum terlebih dahulu agar Himbara memiliki dasar yang kuat. Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait hal ini sedang disusun," ungkapnya dalam keterangan resmi, Selasa (5/11).
Erick menambahkan dengan adanya penghapusan buku tagih terhadap kredit macet bagi para petani dan pelaku UMKM di sektor pertanian, diyakini dapat mendorong program-program Pemerintahan Prabowo Subianto di sektor pertanian, khususnya dalam upaya akselerasi swasembada pangan.
"Kebijakan hapus tagih kredit bagi UMKM, petani dan nelayan ini menjadi salah satu prioritas bagi pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo," jelasnya.
Menteri BUMN kemudian mengusulkan agar kredit macet UMKM, nelayan dan petani yang dihapusbukukan memiliki jangka waktu selama lima tahun.
"Kami mengusulkan, kurang lebih dengan track record lima tahun kalau bisa bukan dua tahun karena kalau dua tahun terlalu cepat,” ucap Erick.
Sebelumnya, kepala ekonom Bank Permata Josua Pardede berpandangan dengan penghapusan utang, UMKM yang terbebas dari beban kredit masa lalu akan tertarik untuk kembali mengakses layanan perbankan, baik untuk kebutuhan pembiayaan baru. Bank pun dapat menawarkan produk pinjaman atau kredit baru kepada pelaku usaha yang telah direstrukturisasi.
"Dengan kondisi keuangan yang lebih stabil, UMKM dapat menjadi target potensial untuk berbagai jenis kredit usaha, termasuk kredit usaha rakyat (KUR), pinjaman modal kerja, atau kredit investasi," kata Josua kepada Media Indonesia beberapa waktu lalu.
Josua menuturkan dengan penghapusan utang, UMKM termasuk petani dan nelayan juga akan mendapatkan kelonggaran likuiditas karena mereka tidak lagi terbebani oleh kewajiban pembayaran utang. Hal ini dapat meningkatkan daya beli mereka dan memberikan modal tambahan untuk investasi atau pengembangan usaha.
"UMKM yang diuntungkan oleh penghapusan utang dapat lebih percaya diri dalam menjalankan usaha dan berpotensi untuk mengembangkan bisnis mereka," imbuhnya.
Terpisah, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan menyampaikan setidaknya ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan kebijakan penghapusan utang nelayan. Pertama, masalah administrasi yang dipermudah. Dalam banyak kasus, petani atau nelayan sebenarnya ingin melunasi atau membayar. Tapi, karena masalah-masalah administratif, hal ini jadi tidak bisa diselesaikan dan menghalangi mereka untuk mengakses permodalan berikutnya.
Masalah kedua, lanjut Dani, perlu dipilah jenis utang dan nasabah yang akan diputihkan. Hal ini untuk menghindari kebijakan pemutihan menyasar nasabah-nasabah besar. Ketiga, rencana penghapusan utang ini perlu disertai dengan meningkatkan literasi keuangan di kalangan nelayan dan petani.
"Nelayan membutuhkan pelatihan dan peningkatan kapasitas dalam mengelola keuangan dan mengakses permodalan," ucapnya kepada Media Indonesia.
Masalah berikutnya yakni pemerintah perlu menyusun mekanisme pembiayaan petani dan nelayan yang lebih fleksibel secara syarat, biaya, dan waktu pembayaran guna menghindari masalah-masalah terjadi lagi di kemudian hari. (Ins)