SOSOK guru hebat menjadikannya lebih dari sekedar motivasi bagi siswa. Guru yang hebat bisa lahir di mana pun, dari medan yang keras, dan mampu menembus apa pun. Guru SMP Satap Moyeba, Teluk Bintuni, Papua Barat, Theofilus Laki Jando, 35, menjadi sosok hebat bukan hanya pada siswanya, melainkan juga lingkungan di sekitarnya. Ia bersama beberapa guru lain yang juga masyarakat setempat menyumbangkan waktu, tenaga, dan hidup mereka untuk mencerdaskan anak suku Moskona yang merupakan suku asli yang mendiami sebagian wilayah Teluk Bintuni.
Hidupnya sebagai guru sudah ditekuninya sejak 10 tahun lalu dengan mengajar mata pelajaran agama Khatolik. Namun, dengan keterbatasan biaya dan tenaga pengajar, ia merangkap mengajar matematika, PKN, PJOK, hingga seni budaya.
“Artinya, kita coba mengisi meskipun bukan basic, namanya juga di pengalaman karena sebelumnya hanya tiga guru saja. Kemudian seiring waktu menjadi 8 guru. Saya aktif dari mengajar juga dari 2015 ke 2018 mengajar SD dan SMP, kemudian 2019 SMP saja,” kata Theofilus kepada Media Indonesia, Kamis (7/11).
Lingkungan menjadi tantangan tersendiri setiap harinya yang harus dihadapi siswa atau pengajar untuk menuju SMP Satap Moyeba ada siswa yang perlu jalan 3 km hingga menginap di desa terdekat. Ada siswa butuh waktu 2 jam perjalanan, kemudian zona merah kelompok bersenjata, malaria, dan berbagai halang rintang lainnya. Dengan begitu, banyak siswa juga yang memilih nonaktif sekolah dan memutuskan ikut keluarga mencari nafkah ke kota besar terdekat.
“Saya selalu menyampaikan kepada siswa dan sesama guru, saya selalu katakan bahwa kita ke sekolah sudah capek, meninggalkan keluarga, segala macam terbatas, bahkan sampai kita kehabisan bahan makanan, ada yang sampai berbulan-bulan, makan apa adanya. Jadi, kalau kita sudah dengan segala macam situasi begini, kesulitan yang kita hadapi, tetapi ketika kita dalam pembelajaran hanya sebatas masuk kelas, berbicara, dan pulang, itu tidak akan bermakna sia-sia,” ungkapnya dengan penuh emosi.
Karena itu, dengan situasi yang sulit, harus menghadirkan pembelajaran atau kegiatan yang benar-benar bermakna meskipun itu kecil. Itulah motivasi awal, bahkan ia meyakinkan para siswanya dengan memberi contoh perbandingan menggunakan foto, dokumen, ataupun video bahwa kondisi sekolah yang sulit bukan mereka saja yang mengalami, ada tempat lain yang juga sama.
Siswanya selalu termotivasi, aktif untuk sekolah, dan penuh harapan untuk tetap semangat menumbuhkan rasa penasaran dan ingin tahu terhadap sesuatu. Ia mencontohkan ada tiga anak murid yang tumbuh dewasa dan kini mengajar di SMP Satap Moyeba.
“Ditekankan kepada anak-anak, lihat, kakakmu yang dulu memang datang sekolah, dengan segala macam kondisi, tahan lapar, akses sulit, kesulitan lain, tapi bisa menjadi orang dan kembali aktif untuk negeri sendiri. Jadi kalian juga bisa, sekarang tergantung dari motivasi kalian untuk berkembang,” ucapnya.
Sebagai guru hebat di desa pedalaman, memberikan motivasi kepada siswa bukan hanya sesekali, melainkan harus setiap hari agar para siswa aktif belajar. Memberikan penguatan tentang keterbatasan itu bukan menjadi alasan untuk membatasi diri untuk berkembang, itu merupakan kalimat yang selalu diungkapkan.
“Keterbatasan itu bukan menjadi alasan membatasi diri untuk berkembang, membatasi diri untuk mencari ilmu pengetahuan, membatasi diri untuk mengejar cita-cita. Motivasi itu selalu kita tengahkan saat upacara pagi ataupun saat selesai pembelajaran,” ucapnya.
Tantangan yang tidak main-main lain juga dihadapi para guru hebat itu. Ia mengatakan sarana dan prasarana yang tersedia sangat terbatas. Ia hanya memiliki tiga ruang, tidak memiliki kantor, tidak ada lab, buku-buku yang sedikit, tanpa akses internet, listrik yang terbatas. Alhasil, ada anak yang kekurangan minat berada di sekolah sehingga guru mau tidak mau berpikir kreatif di tengah keterbatasan.
Ia menceritakan untuk menuju sekolah, guru-guru sering kali membawa obat sendiri, vitamin, antibiotik, obat untuk pertolongan untuk menghadapi penyakit malaria yang masih menghantui atau bahkan hal-hal yang mengerikan lainnya seperti hewan buas dan kelompok bersenjata.
Selain itu, akses internet menjadi kendala yang luar biasa. Setiap tahunnya para siswa dihadapi dengan kegiatan asesmen nasional berbasis komputer (ANBK) yang harus menempuh perjalanan berat. Ia sebagai guru mendampingi para siswa berjalan berhari-hari, berjalan jauh, menahan lapar untuk mendapatkan akses internet, dan para siswa bisa menempuh ujian ANBK.
Tidak tanggung-tanggung, mereka harus berjalan dari pagi, siang, sore, malam, hingga dini hari. Belum lagi melewati arus sungai yang deras untuk menuju titik penjemputan mobil sewaan baru menuju titik tempat ujian. Di tempat ujian pun, mereka harus belajar karena beberapa hari sebelumnya sudah dihabiskan untuk perjalanan.
“Ketiadaan jaringan komunikasi ini tentunya untuk kita yang sudah berkeluarga, itu menjadi satu kegelisahan tersendiri karena ingin sekali mendapat informasi dari keluarga. Kemudian, ingin juga mendapat informasi seputar kita punya profesi hingga sangat menyulitkan siswa menjalani ANBK, untuk mengantisipasi hal ini, setiap 2 minggu atau 3 minggu sekali saya dan rekan-rekan guru kita berjalan 3 km untuk ke tempat jaringan. Berjalan selama 2 jam di tengah hutan. Hanya untuk mendapat informasi itu,” ungkapnya.
Kemudian pengembangan kompetensi para siswa sangat terbatas. Karena nihil jaringan, untuk mengetahui informasi tidak ada. Meski tantangan berat tersebut terasa ringan karena relasi yang bersahabat dari para orangtua murid dan masyarakat setempat setiap kali ingin bertugas, masyarakat selalu mengonfirmasi keamanan dari kelompok bersenjata hingga mereka bisa beraktivitas seperti biasa.
“Itu yang menjadi satu kekuatan kita untuk kita merasa nyaman di tempat tugas, tetapi selalu ada was-was di situ. Kemudian, ketika saat-saat mobil kita tidak sampai ke tempat tugas, itu kita dengan siswa, yang membantu guru-guru. Itu kita jalan, bukan cuma pikul ATK sekolah. Kita pikul bahan-bahan, berupa beras, minyak goreng, dan lain-lain untuk kita bawa. Dan siswa itu senantiasa hadir untuk guru. Itu yang salah satu hal yang paling membuat kita termotivasi bahwa siswa juga merasa memiliki kita dan kita juga merasa memiliki siswa,” ceritanya.
Hambatan lainnya ialah harga bahan makanan yang mahal. Bisa dibayangkan beras 25 kg mencapai Rp1 juta, mi instan 40 bungkus mencapai Rp400 ribu, minyak goreng 5 liter mencapai Rp500 ribu, gula 1 kilo berkirsar Rp50 sampai 100 ribu.
“Tetapi syukur, ketika kita kehabisan bahan-bahan, orangtua selalu memberikan hasil kebun. Itu karena relasi yang kita bangun, para orangtua membawa umbi-umbian, singkong, bahkan anak sekolah itu inisiatif untuk membuat togok sagu atau pangkul sagu untuk menjadi bahan makanan untuk guru-guru, itu juga yang kita sertakan pada muatan lokal pembelajaran siswa,” ungkapnya.
Theofilus mengatakan satu hal yang menjadi motivasi guru untuk tetap berada di SMP Satap Moyeba terkait dengan dedikasi. Secara pribadi, ia memahami dedikasi itu sesuatu yang memotivasi diri yang mana menjadikan itu sebagai sebuah panggilan hati dengan cinta untuk pelayanan.
“Itu hal yang saya bawa ketika selesai kuliah, diajarkan oleh dosen, bahwa melakukan pekerjaan itu harus dengan cinta dan itu merupakan buah dari panggilan hati. Kemudian, panggilan hati saya menggambarkan sebagai sebuah kesadaran untuk memberi diri secara ikhlas dengan meluangkan waktu tenaga dan pikiran di sekolah. Dengan segala sikon. Kemudian cinta dalam pelayanan dan pengapian itu sebagai kehadiran kita itu sebenarnya adanya saya itu sebagai ada yang bermakna buat yang lain,” katanya.
Motivasi tentang dedikasi yang ingin ia sampaikan dalam hal ini. Karena itu, meskipun dalam keadaan sulit atau dalam keadaan senang, mau tidak mau sesuatu yang harus diterima dan itulah yang ia dan teman-teman guru lakukan.
Ke depannya, ia tidak banyak berharap. Ia hanya ingin para siswanya bisa mengembangkan diri mereka masing-masing, menolong keluarga, lingkungan, dan orang-orang yang mereka cintai melalui ilmu dan pendidikan yang mereka dapatkan. Kemudian, adanya perhatian dari pihak-pihak terkait, secara khusus Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, untuk memberi atau membantu dalam kekurangan terkait dengan sumber listrik atau jaringan internet.
“Jaringan internet karena siswa di sana tidak ada televisi dan lain-lain sangat sulit untuk memberikan pelajaran tambahan. Kemudian guru-guru di pedalaman, mungkin ke depannya ada program khusus yang melatih kita untuk mengembangkan kompetensi. Memang kita ada beberapa kegiatan yang kita ikuti secara mandiri ataupun diundang balai guru penggerak yang sebelumnya. Tetapi mungkin ada program dari pendidikan daerah khusus itu dikhususkan untuk guru-guru dalam 6 bulan sekali atau bagaimana itu kita meningkatkan kompetensi guru,” tuturnya.
Atas dedikasinya, Theofilus mendapat berbagai penghargaan pendidikan secara nasional. Seperti mendapat apresiasi Festival Potret Cerita Kurikulum Merdeka Tahun 2023 sebagai 12 peserta terbaik yang diundang pada hari puncak di Kemendikbudristek. Kemudian mendapat juara 3 Festival Potret Cerita Kurikulum Merdeka Tahun 2024 Provinsi Papua Barat dan Papua Barat Daya yang diselenggarakan BPMP Provinsi Papua Barat, dan mendapat peringkat 1 Jambore GTK 2024 tingkat Provinsi Papua Barat sebagai guru SMP kategori dedikatif. (Iam)