Fenomena Pelacuran Intelektual dan Mafia Akademik

4 days ago 2
Fenomena Pelacuran Intelektual dan Mafia Akademik (Dok. Pribadi)

SEBAGAI dosen, bercita-cita menjadi guru besar atau profesor merupakan hal yang mulia. Hanya saja, dalam meraih cita-cita tersebut menjadi tidak mulia jika mempergunakan segala cara, termasuk cara-cara yang ‘mempergunakan’ bantuan setan. Yakni, meminta bantuan makhluk terkutuk dengan cara-cara yang sesungguhnya dilarang oleh agama apa saja.

Fenomena lahirnya para guru besar yang ‘bermasalah’ di hadapan kita merupakan tamparan telak pada etika akademik. Etika yang menjadi fondasi utama dan terakhir para pendidik, ternyata dihantam begitu saja hanya karena ingin menjadi profesor atau guru besar. Kita mengajarkan etika kepada mahasiswa, tetapi tidak sedikit para dosennya, termasuk profesor bahkan melanggar dengan sengaja. Dikatakan sengaja, karena sesungguhnya sudah mengerti apa yang dilakukan dengan ‘mempergunakan’ bantuan setan merupakan perbuatan dilarang, tapi tetap dilakukan, bahkan dengan bangganya.

MI/Seno

Hasrat keangkuhan

Agaknya, hasrat yang demikian tinggi untuk menjadi guru besar, karena dorongan meraih prestise dan penghormatan yang berlebihan di hadapan para kolega, sesama dosen, mahasiswa, atasan, ataupun memang dengan keangkuhan ingin mengatakan bahwa saya juga dengan mudah dapat menjadi guru besar di hadapan banyak orang di kampusnya, atau di mata banyak pihak di luar kampus sekalipun.

Demi meraih hasrat keangkuhan tersebut, seperti dikatakan Michel Focault, merupakan hasrat kuasa yang tak terbantahkan dan senantiasa hinggap pada setiap orang. Mereka yang tak sanggup menahan hasrat kuasa itulah yang akan mempergunakan segala cara untuk memperolehnya. Sebab, setelah mendapatkan apa yang diinginkan, orang tersebut akan berjalan congkak, mempertontonkan kepada yang lain bahwa apa yang dicita-citakan banyak orang akhirnya diraihnya. Bahkan, dapat diraihnya sebelum orang lain mampu meraih.

Fenomena memperoleh hasrat keangkuhan seperti ini muncul sejak dikatakan bahwa Indonesia, mulai 2004-2009, kekurangan guru besar, sehingga membutuhkan gelontoran profesor agar tidak terlampau kalah dengan negara-negara seperti Malaysia dan Thailand, apalagi Singapura. Sejak tahun tersebut, program 5.000 guru besar menjadi program unggulan berbagai universitas di Indonesia. Hanya, tidak memperhitungkan dampak bagaimana cara memperoleh guru besar itu hingga mempergunakan cara-cara tidak beretika dan cara mulia. Hanyalah kebanggaan bahkan keangkuhan akademik yang menjadi kenyataan setelah memperoleh gelar guru besar.

Melacurkan profesi intelektual

Harkat martabat gelar guru besar, yang semestinya menjadi derajat terakhir seseorang menempati posisi jabatan akademik tertinggi hingga semakin mulia perbuatan, ucapan, dan sikapnya, sering kali tidak berbanding lurus. Bahkan tidak jarang seorang yang memiliki gelar guru besar, karena hasrat keangkuhannya, maka terbiasa melakukan tindakan yang sudah sangat jelas melanggar aturan profesi akademik seperti melacurkan dirinya. Tanpa memiliki rasa malu, bahkan bangga melakukan perbuatan yang melanggar etika akademik, sekalipun telah diperingatkan orang lain.

Guru besar melacurkan diri, tentu saja merendahkan martabat dan harkat jabatan akademik yang menjadi harapan setiap dosen. Guru besar melacurkan diri bisa jadi karena demi mendapatkan limpahan gelimang harta yang ingin diraihnya sebelum menjadi guru besar. Melacurkan profesi intelektual sebagai guru besar bisa juga dilakukan seseorang karena jabatan yang didapatkan, dapat dimanfaatkan untuk ‘menindas’ dan memaksa orang lain tunduk kepadanya. Bahkan, melacurkan diri demi jabatan yang ingin diperolehnya.

Melacurkan profesi guru besar bisa juga dilakukan oleh seseorang demi popularitas yang diinginkan, sehingga merasa paling berjasa pada kampusnya karena dianggap sebagai sosok yang paling dapat ‘membantu’ dosen-dosen di kampusnya atau kampus lainnya yang ingin menjadi guru besar. Orang yang merasa dibantu atau kampus yang ‘dibantu’ menjadi tunduk dan patuh pada permintaan sang ‘pembantu di jalan gelap’ sehingga apa pun permintaan dikabulkan. Bahkan, jika ‘pembantu di jalan gelap’ melakukan kejahatan dan kesalahan pun akan tetap dibela, demi menjaga agar tidak terbuka rahasia perbuatan kotornya.

Berbagai jalan melacurkan diri sebagai guru besar, misalnya menjadi ghost writer calon guru besar di kampusnya atau kampus lain di mana terdapat ‘mangsa’ yang ingin segera meraih gelar guru besar. Seseorang yang bernafsu menjadi guru besar demikian menggebu tidak akan malu dan bergeming memakai jasa ghost writer asalkan gelar guru besar dapat diraih. Dengan demikian, dapat dikatakan antara ‘pembantu’ sebagai ghost writer dan calon guru besar sama-sama andil dalam kejahatan akademik, sama-sama sebagai ‘pelacur akademik’. Satu sebagai penjaja jasa dan satunya pengguna jasa.

Selain sebagai ghost writer, pelacuran profesi guru besar dilakukan dengan menjadi tim percepatan guru besar yang bertugas menjadi ketua atau meminta orang lain untuk segera menuliskan artikel yang harus dikirimkan ke jurnal internasional bereputasi, sebagai syarat khusus seorang dosen yang hendak mengajukan dirinya menjadi guru besar. Oleh karena belum memiliki syarat khusus, dibentuklah tim percepatan guru besar untuk menuliskan artikel dengan alasan karena ‘perintah’ atasan seperti rektor, sehingga siapa yang diminta menjadi tim harus melalukan tanpa harus bertanya mengapa harus melakukannya.

Bentuk lain dari pelacuran profesi ialah mengambil, mencuri, dan membegal karya orang lain lalu diakui sebagai karya sendiri. Bisa saja dilakukan dengan mengganti nama penulis asli menjadi namanya, dengan memberikan imbalan material, asalkan jangan ‘buka mulut’ bahwa artikelnya telah diganti nama orang lain.

Hal semacam ini jelas menjadi perbuatan yang berlawanan dengan etika akademik. Namun, tanpa memiliki rasa bersalah dan rasa malu, tetap ada saja guru besar yang melakukannya. Melacurkan profesi dilakukan demi mendapatkan banyak keuntungan dari berbagai pihak, sehingga tanpa tedeng aling-aling, seakan-akan tidak akan ada yang mengetahui, apalagi dengan dalih ‘membantu dosen’, maka terus dilakukan.

Bentuk-bentuk ‘pelacuran profesi’ tersebut jelas merusak etika akademik. Namun, agaknya di beberapa kampus, menjadi ghost writer, menjadi tim penulis siluman atas calon guru besar, bahkan menjadi idola dan dianggap sebagai ‘juru selamat’ kampus dan teman sejawat. Oleh karena itu, sama sekali tidak akan pernah dianggap sebagai bentuk ‘pelacuran profesi’ dan pelanggaran etika akademik. Bahkan, bisa saja dosen atau kolega yang mempersoalkan akan dianggap sebagai ‘penghalang’ yang harus dilenyapkan.

Mafia akademik

Hasrat alias nafsu menjadi guru besar yang demikian menggebu pada akhirnya melahirkan apa yang saya sebut sebagai mafia akademik. Mereka bergentayangan di dunia kampus, di mana para dosen ingin menjadi guru besar. Kampus dipengaruhi dan dijadikan sasaran. Kampus menjadi ‘pasien’ akademik para mafia. Berbagai model mafia akademik dilakukan dengan dalih ‘membantu dosen’ agar menjadi guru besar.

Para mafia meloloskan usulan calon guru besar yang belum memenuhi syarat khusus jurnal internasional bereputasi karena bertindak sebagai penilai calon guru besar. Patut diduga mafia akademik ini mendapatkan ‘imbalan’ dari kampus atau dari seseorang yang mengusulkan guru besar, sehingga sekalipun belum memenuhi syarat khusus tetap diloloskan. Tentu saja hal ini mencederai etika akademik pengusulan guru besar. Namun, sebagai ‘pasien’ tidak akan peduli dengan etika akademik.

Selain meloloskan pengusulan guru besar yang tidak memenuhi syarat jurnal, bisa juga menjadi mafia dengan menempatkan orang-orangnya sebagai tim penilai atau sebagai penilai sendiri atas usulan guru besar yang akan ‘bermasalah’ di kemudian hari. Tim penilai atau reviewer atas usulan guru besar, karena telah dikendalikan oleh ‘tim mafia’, maka dengan mudah diloloskan sekalipun syarat khusus tidak dimiliki atau tidak sesuai. Hal ini terjadi karena telah adanya ‘kesepakatan antarsesama mafia’ untuk meloloskan sang calon guru besar. Sangat mengerikan dan berbahaya bagi dunia kampus.

Kondisi semacam itu, jika terus berlangsung di dunia akademik (dunia kampus), maka tidak mengherankan jika kasus-kasus guru besar bermasalah terus bermunculan di hadapan kita. Oleh sebab itu, sudah saatnya dunia akademik benar-benar mengembalikan muruah guru besar dengan memberantas ‘pelacur akademik/intelektual’ dan ‘mafia akademik’. Sebab, jika tidak diberantas, akan terus berulang kejahatan demi kejahatan atas nama ‘membantu’ bergentayangan tiada akhir. Semoga Kementerian Pendidikan Tinggi, Sain, dan Teknologi Kabinet Merah Putih dapat mengembalikan muruah akademik dan muruah guru besar. Dengan begitu, ke depan tidak lagi kita dengar ada guru besar yang bermasalah secara etika akademik.

Skandal akademik

Dalam dua bulan, antara Juli dan Agustus 2024, dunia akademik kita benar-benar terguncang hebat bagai terkena gempa bumi tektonik. Setelah liputan Majalah Tempo edisi Juli dan Bocor Alus yang menyelisik adanya jejaring para ‘pembuat profesor’, maka layak dikatakan sebagai skandal akademik alias sebagai bentuk patronase akademik mereka yang kebelet menjadi guru besar. Dengan berbagai cara, seseorang yang ingin segera menjadi guru besar alias profesor, apa pun jalannya dilakukan dengan menyewa para begundal akademik pun dilakukan.

Skandal akademik ini, setali tiga uang dengan apa yang dikatakan sebagai patronase akademik, yakni ketergantungan seseorang kepada orang lain untuk mendapatkan sesuatu. Sesuatu yang dikejar ialah gelar mercusuar akademik profesor alias guru besar. Sayangnya, para guru besar sering kali mendapatkannya dengan cara yang tidak etis dan melibatkan skandal antara para pencari gelar dan pemerika atau bahkan pemberi gelar. Inilah dunia hukum mafia akademik menjadi tidak terhindarkan.

Rezim scopus

Rezim scopus ibarat kehidupan yang sangat ‘gelap’ dan penuh dengan ‘kekerasan’ sehingga istilah ‘kepiting Meksiko’ menjadi suatu yang bisa dijadikan analog dalam hal ini. Apa itu ‘kepiting Meksiko’? Kepiting Meksiko merupakan binatang yang berperilaku menghendaki adanya kebersamaan dalam ‘kegelapan’ dan kesusahan.

Kepiting Meksiko ibarat dalam sebuah ember yang telah tertangkap oleh para pencari kepiting. Jika ada satu kepiting yang hendak melarikan diri dari ember karena telah tertangkap maka si kepiting tersebut akan berusaha dengan berbagai cara menjadikan kepiting itu tidak dapat keluar dari ember. Inilah ketam (kepiting) yang sangat ganas atas lainnya. Kepeting yang berusaha keluar ditarik kakinya dari bawah, diinjak kepalanya dan diseret dari samping kanan kiri sehingga tidak lagi dapat keluar dari ember. Dengan demikian, akan terus selamanya dalam ember oleh karena tidak dapat keluar dari jebakan dan tempat yang sengaja dibuat untuk menyimpan kepiting tersebut.

Rezim scopus yang telah menjadi rezim akademik di Indonesia dengan berbagai akrobat telah menjadikan sebagian para calon guru besar terjebak dalam perangkap para penangkap kepiting Meksiko. Seseorang yang tidak layak menjadi guru besar karena mendapatkan ‘rumah bersama’ para kepiting maka dia akan terus menjadi komunitas yang yang terjebak dalam perangkap rezim scopus, yang belakangan ini di dunia kampus benar-benar bagaikan dewa maut untuk para dosen yang hendak menjadi guru besar.

Menulis atau memublikasikan hasil penelitian oleh seorang dosen tentu saja merupakan kewajiban akademik. Namun, memublikasikan hasil riset karena terkena jebakan ‘kepiting Meksiko’ tidak ada bedanya dengan menjadi jurnal terindeks scopus menjadi ‘dewa maut’ karena seakan-akan tidak menjadi seorang dosen yang hebat dan diakui sebagai profesor atau malah sebagai ahli, sekalipun tulisan yang terbit dalam sebuah jurnal teridenks scopus juga karena buah karya skandal akademik perbuatan para ‘kepiting Meksiko’.

Dunia akademik kita, jika terus terjebak dalam patronase akademik, maka tidak akan pernah mendapatkan penghormatan oleh dunia yang menjunjung etika dan integritas akademik. Hendaknya, kita bersama-sama berani secara tegas menghentikan praktik-praktik patronase akademik yang dilakukan oleh jaringan ‘kepiting Meksiko’ dalam kampus.

Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi harus benar-benar menindak tegas para pelaku patronase akademik dan jejaring ‘kepting Meksiko’ yang bergentanyangan menunggu mangsa yang ingin menjadi guru besar. Jika dibiarkan praktik-praktik patronase akademik dan jejaring ‘kepiting Meksiko’, maka akan terus melahirkan adanya para guru besar gadungan alias  guru besar abal-abal, yang dipanggil dengan ‘Pret’.

Peran Muhammadiyah

Dalam kaitan yang sungguh mengerikan semacam itu, maka sebagai gerakan keagamaan, Muhammadiyah sudah saatnya pula merambah pada dakwah yang dikatakan jihad intelektual untuk mencegah terjadi dan munculnya pelacur-pelacur intelektual yang menghilangkan muruah akademik perguruan tinggi, khususnya guru besar (profesor).

Muhammadiyah, khususnya perguruan tinggi Muhammadiyah, sudah semestinya menjadi teladan dalam mengawal muruah akademik sehingga dunia pendidikan kita tidak penuh sesak dengan lahirnya guru besar yang rakus kekuasaan, haus pujian, serta meninggalkan etika akademik.

Perguruan tinggi Muhammadiyah harus berani mencegah dengan serius lahirnya guru besar di perguruan tinggi tuna-etika dan hanya ingin gagah-gagahan dengan gelar yang disandangnya sebagai jabatan fungsional tertinggi di dunia kampus. Jika perguruan tinggi Muhammadiyah turut serta dalam melahirkan guru besar yang tuna-etika, maka masa depan perguruan tinggi Muhammadiyah hanya akan mendapatkan nilai minus sekalipun memiliki segudang guru besar.

Oleh sebab guru besar yang dihasilkan perguruan tinggi Muhammadiyah pada akhirnya tidak berbeda dengan guru besar yang rakus pujian dan gila penghormatan, karena tidak ada bedanya dengan para pelacur intelektual yang tidak memiliki muruah akademik. Kita tentu saja tidak ingin dipanggil sebagai ‘Pret’ karena menjadi guru besar tapi tanpa muruah.

Read Entire Article
Global Food