WAKIL Ketua Komisi II DPR RI, Aria mengungkapkan tantangan demokrasi Indonesia pada pemerintahan Prabowo Subianto ke depan semakin berat, khususnya dalam memulihkan integritas kelembagaan termasuk penegak hukum dan aparatur negara yang telah mengalami kerusakan pasca pemilu 2024.
“Selama 5 tahun ke depan, kepastian hukum ini adalah suatu yang penting, hukum yang adil dan independen ini menjadi fokus dalam kita berdemokrasi. Adanya lembaga dan hukum yang independen ini merupakan suatu perwujudan bagaimana demokrasi ke depan bisa menjalankan check and balance,” katanya dalam diskusi bertajuk ‘Prospek Demokrasi Indonesia di masa Pemerintahan Prabowo Subianto’ di Jakarta pada Selasa (12/11).
Berkaca dari pemerintahan Jokowi periode kedua, Aria menekankan bahwa kekuasaan eksekutif terlihat lebih dominan dari legislatif dan yudikatif. Menurutnya, demokrasi akan berjalan sehat jika ketiga lembaga tersebut berjalan seimbang serta tidak saling mengintervensi.
“Tapi lima tahun terakhir tidak demikian. Kekuasaan eksekutif terlalu dominan dengan mengintervensi kekuasaan yudikatif dan legislatif seperti KPK, MA, Polri, MK, DPR, Parpol, TNI/Polri diintervensi,” jelas Aria.
Politisi PDIP itu mendorong pihak istana khususnya Presiden Prabowo aagr tak melemahkan demokrasi dengan mengulangi pola intervensi terhadap legislatif dan yudikatif untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, seperti yang dilakukan Presiden Jokowi lalu.
“Hal seperti ini harus dicermati, bagaimana agar kekuasaan yang diberikan kepada presiden ini bisa ditahan, agar tidak memaksimalkan kekuasaannya yang menyebabkan terjadi abuse of power, karena ini menjadi hal yang sangat bisa dilakukan oleh kekuasaan eksekutif,” tuturnya.
Aria menjelaskan untuk merevitalisasi iklim demokrasi menjadi lebih baik, dibutuhkan sosok presiden berintegritas yang bisa menjalankan fungsi check and balance kelembagaan.
“Proses demokrasi yang prosedural itu bisa atau tidak berjalan tergantung pada kehendak baik seorang presiden, mampukah dia menahan kekuasaannya untuk tidak digunakan secara maksimal demi kepentingan diri dan kelompoknya,” imbuhnya.
Aria juga tak menafikan bahwa sistem presidensial yang berlaku di Indonesia memungkinkan Presiden untuk bersikap dominan dan membawa Indonesia ke arah otokrasi, bila tak diimbangi oleh kekuatan oposisi dan gerakan masyarakat sipil.
“Memang salah satu tantangan dalam demokrasi adalah kekuasaan presiden bisa menjadi sangat besar, khususnya kepala presiden sebagai kepala negara, apalagi melihat (Jokowi) kemarin sudah semau-maunya bisa menggunakan semua (lembaga). Jadi dengan kekuasaan yang demikian besar sebagai kepala negara, demokrasi mudah bergerak ke arah lain yaitu otokrasi,” tandasnya. (Dev/M-4)