MENJADI tuan rumah acara sebesar Konferensi Perubahan Iklim yang dikenal dengan nama COP adalah kesempatan untuk mengegolkan kepentingan nasional. Siapa pun akan melakukan hal yang sama.
Dalam konteks keselamatan planet bumi, COP-28 di Dubai tahun lalu telah gagal menghasilkan keputusan mengikat yang ditunggu-tunggu terkait dengan phasing out batu bara dan mekanisme pendanaan iklim yang diatur dalam Artikel 6 Perjanjian Paris.
Agenda fosil Uni Emirat Arab sebagai tuan rumah telah mendominasi proses negosiasi sehingga peningkatan suhu bumi makin tak terkendalikan. Bencana demi bencana juga datang silih berganti. Apakah COP-29 di Baku, Azerbaijan, akan mengulang lagi?
Belum lama berselang, CEO COP-29 Elnur Soltanov dalam sebuah rekaman video menyatakan bahwa dia akan memberi kesempatan pelobi minyak untuk mengangkat isu ini di COP-29. Bukan sinyal yang baik, bahkan menimbulkan kesan bahwa celah-celah (loopholes) yang menganga sejak Dubai akan dimanfaatkan. Tuan rumah yang memiliki pendapatan per kapita sebesar US$22.000 dan memiliki cadangan minyak sekitar 7 miliar barel, sudah barang tentu akan memperjuangkan agenda nasionalnya.
Di mana Indonesia berdiri?
Dengan formasi baru di Kabinet Merah Putih, tampaknya Indonesia juga bergegas dengan agenda yang akan didominasi oleh mekanisme pasar karbon. Dengan kebuntuan di Artikel 6, Indonesia perlu merapatkan barisan sektor lahan dan sektor energi. Pemisahan yang mungkin timbul karena dipecahnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tidak seharusnya membuat sektor lahan yang sudah melaju menjadi mandek.
Sektor lahan dengan inisiatif FOLU Net Sinks 2030 perlu terus didorong dengan mekanisme pasar. Jalur yang ditempuh sudah benar, dan kondisi net sinks sangat potensial dan realistis jika disentuh dengan kebijakan yang kuat dan jelas. Komponen karbon biru, penyertaan masyarakat pesisir, dan keanekaragaman hayati di kawasan lahan basah adalah jasa lingkungan yang melampaui manfaat karbon secara konvensional.
Sementara itu, NDC di sektor energi masih belum memiliki peta jalan yang jelas. Unilateral trading perlu segera dijajaki dan diuji coba. Bursa IDX Carbon yang sudah dibentuk perlu segera dimobilisasi. Siapa yang menjadi uptaker-nya? Sampai sejauh mana Pertamina dan PLN sebagai sektor swasta yang langsung berhubungan dengan emisi dari sektor energi perlu segera dilibatkan? Bagaimana move seperti yang pernah dilakukan Korea Selatan ini dijual di COP-29?
Kondisi pasar global yang belum matang dan demam fosil yang belum reda harus mendorong pembeli dan penjual domestik, baik dalam sektor energi maupun lahan. Energi baru dan terbarukan (EBT) yang baru mengisi 14% kebutuhan energi dengan muatan teknologi yang terjangkau perlu segera didorong hingga 35% di tahun 2030. Adapun sektor lahan harus diperjuangkan hingga menerima harga yang pantas, karena pembayaran dari REDD+ result based payment US$5 kelewat rendah dan harus dihindari.
Siapa memimpin?
Di tengah keterpurukan sektor energi dan bumi yang makin terpanggang, agak sulit mengidentifikasi pemimpin (leader) di COP-29. Tidak banyak yang bisa diharapkan dari hasil pilpres di Amerika Serikat. Presiden terpilih, Donald Trump, mungkin malah akan keluar lagi dari Perjanjian Paris seperti yang dilakukannya ketika dia terpilih sebagai presiden sebelum Joe Biden merebutnya. Eropa yang terpengaruh Ukraina yang dilanda perang dan dibanjiri pengungsi juga kehilangan banyak kesempatan.
Dengan cadangan batu bara yang cukup untuk 60 tahun ke depan, agak sulit bagi Indonesia untuk memensiunkan dini pembangkit berbahan bakar batu bara (coal-fired powerplant). Bisa jadi Indonesia malah terseret agenda tuan rumah yang ekonominya sangat tergantung cadangan minyak Laut Kaspia.
Jika gaya Al Jaber dalam memimpin COP-28 di Dubai ditiru Soltanov – yang ternyata Wakil Menteri Energi Azerbaijan, dengan memanfaatkan COP untuk membahas oil deal, maka prinsip dan etika konvensi, termasuk keadilan dan kesetaraan akan dicederai lagi. Bayang-bayang kegagalan COP-29 makin jelas dan angka psikologis 1.5 oC akan segera tercapai dalam hitungan tahun dan jari sebelah tangan.
Kita patut bangga dengan perkembangan dan capaian sektor lahan Indonesia. Meskipun tidak harus menjadi pemimpin kesiangan, kalau ingin memimpin sektor ini perlu dipersiapkan menjelang COP-30 di Brasil. Kelompok Brasil, Rusia, India, dan South Africa (BRICS) harus digarap di COP-29. Siapa tahu menjadi lebih besar (BRICSI) dengan carbon super power Indonesia di dalamnya.
Antusiasme para pihak dan organisasi masyarakat sipil sudah mulai kendur. Meskipun jumlah yang mendaftar sebanyak 70.000 orang, banyak pemimpin dunia yang membatalkan kedatangan mereka ke Baku di awal perhelatan akbar ini. Di hari kedua, jalan-jalan diblokir, lalu lintas umum dikendalikan pemerintah dengan dukungan penuh pihak militer. Tanda-tanda kegagalan dalam mengambil keputusan yang berarti bagi keselamatan planet bumi sudah mulai tampak.
Tidak berlebihan kalau banyak orang berpendapat agak kontradiktif dengan moto COP-29, Solidarity for a Green World. COP-29 juga dipandang berstandar ganda, yang direpresentasikan oleh pematung Denmark, Jens Galschiot, yang salah satu dari tiga karyanya dipajang di pintu masuk Blue Zone Stadion Baku.
Patung tersebut menggambarkan Dewi Justitia yang gemuk dan memegang timbangan dengan mata tertutup digendong oleh seorang pria kurus kering. Di bawahnya tertulis, ‘Saya duduk di pundak seorang lelaki yang akan tenggelam karena menanggung beban saya. Saya akan melakukan segala sesuatu yang saya bisa, ... kecuali turun dari pundaknya...’. Inikah solidaritas?