PERANG genosida Israel-yang kini telah berlangsung selama 396 hari--merenggut nyawa sedikitnya 43.314 warga Palestina di Jalur Gaza. Sebagian besar dari mereka ialah anak-anak dan perempuan. Serangan brutal itu juga melukai lebih dari 102.019 orang lainnya. Masih banyak lagi yang masih terperangkap di bawah reruntuhan dan belum diketahui keberadaannya.
Perang tanpa batas yang dilancarkan pada 7 Oktober tahun lalu itu telah berlangsung selama satu tahun bulan lalu. Namun, perang melawan warga Palestina tidak dimulai 13 bulan yang lalu. Perang itu berakar pada sejarah, dalam perampasan tanah mereka, penghancuran rumah mereka, penyangkalan hak-hak mereka, dan pembersihan etnis.
Pendudukan dan apartheid berakar pada Deklarasi Balfour pada November 1917. Pada 1917, menteri luar negeri Inggris saat itu, Arthur Balfour, mengirimkan surat kepada Lionel Walter Rothschild, seorang tokoh masyarakat Zionis Inggris, tentang pendirian tanah Yahudi di Palestina. Isi surat yang disusun pada 2 November 1917 itu kemudian dikenal sebagai Deklarasi Balfour.
Deklarasi itu dibuat selama Perang Dunia 1 (1914-1918) dan menjadi bagian penting dari mandat Inggris setelah jatuhnya Kekaisaran Ottoman. Surat itu menentukan nasib warga Palestina dan membuka babak baru yang ditandai oleh pendudukan dan apartheid, berlanjut hingga kini ketika rezim Israel, dan didukung oleh sekutu Baratnya, terus membantai warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat yang diduduki.
Sejarah Deklarasi Balfour
Awni Abd al-Hadi, seorang tokoh politik Palestina terkemuka, menulis dalam memoarnya bahwa deklarasi itu dibuat oleh seorang warga negara asing Inggris, yang tidak memiliki klaim atas Palestina, kepada seorang Yahudi asing yang tidak memiliki hak atas wilayah itu.
Setelah Perang Dunia I, di bawah sistem yang kontroversial, negara-negara yang menghadapi kekalahan selama perang harus menyerahkan wilayah yang mereka kuasai kepada negara-negara yang muncul sebagai pemenang.
Diyakini bahwa sistem ini bertujuan memungkinkan negara pemenang mengelola negara yang baru muncul hingga mereka bisa merdeka.
Namun, sistem mandat tidak diikuti dalam kasus Palestina, melainkan keputusan yang sangat aneh dan sangat kontroversial diambil terkait wilayah Palestina.
Deklarasi Balfour muncul sebagai janji publik untuk mendirikan negara untuk orang Yahudi di Palestina.
Pemerintah Inggris menyatakan bahwa mereka bertujuan mendirikan rumah nasional Yahudi di Palestina pada saat orang Yahudi bahkan belum mencapai 10% dari total populasi negara Palestina.
Draf awal deklarasi kontroversial tersebut bahkan menggunakan frasa pembentukan kembali Palestina sebagai Negara Yahudi. Ini dengan jelas mengisyaratkan rencana pembersihan etnis warga Palestina oleh negara Inggris.
Pada 1920, Kongres Palestina ketiga di Haifa menolak proyek Zionis pemerintah Inggris dan menyebut deklarasi tersebut sebagai pelanggaran hukum internasional dan hak-hak penduduk asli Palestina.
Inggris mengabaikan deklarasi Kongres Palestina. Pada 1922 Arthur Balfour dan Perdana Menteri Inggris saat itu David Lloyd George mengadakan pertemuan dengan pemimpin Zionis Chaim Weizmann dan mengumumkan bahwa Deklarasi Balfour selalu berarti negara Yahudi pada akhirnya.
Rencana tersebut dilaksanakan dan Inggris mulai memfasilitasi imigrasi orang Yahudi ke Palestina. Antara 1922 dan 1935, populasi Yahudi mengalami peningkatan sebesar 27% dari hanya 9% sebelum 1922.
Tahun-tahun setelah Deklarasi Balfour
Dengan tanah Palestina yang disita secara ilegal dan paksa oleh Inggris serta diserahkan kepada para pemukim Zionis, ketegangan meningkat yang menyebabkan Pemberontakan Arab dari 1936 hingga 1939.
Pada 1939, pemogokan umum diserukan di Palestina sebagai protes terhadap kolonialisme Inggris dan imigrasi ilegal Yahudi. Pemogokan selama sebulan tersebut diikuti oleh tindakan keras Inggris terhadap warga Palestina. Setelah itu, dunia menyaksikan rumah-rumah warga Palestina dihancurkan dan tanah mereka dirampas sesuai dengan rencana yang diatur oleh Inggris sebagai bentuk bantuan kepada kelompok Zionis di Barat.
Pada akhir 1939, Inggris dan kelompok-kelompok Zionis sekutu memulai kampanye penuh untuk menghancurkan warga Palestina. Desa-desa dihancurkan, jam malam diberlakukan, dan ribuan orang terbunuh, terluka, dan dijebloskan ke balik jeruji besi untuk membuka jalan bagi berdirinya entitas Zionis.
Kelompok-kelompok teroris Zionis seperti Haganah, Lehi, dan Irgun bekerja di bawah organisasi payung pimpinan Inggris yang dijuluki pasukan kontrapemberontakan. Kemudian, kelompok-kelompok ini membentuk pasukan militer Israel.
Pada 1947, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan Resolusi 181 yang menyerukan pembagian negara Palestina. Orang-orang Yahudi tidak dianggap sebagai bagian dari yang akhirnya menjadi wilayah pendudukan.
Resolusi 181 disahkan pada akhir Perang Dunia II dan menyatakan bahwa Palestina harus dibagi menjadi entitas Arab dan Yahudi dengan memberikan 55% dari total tanah kepada orang Yahudi. Ini melanggar hukum internasional.
Pada akhir Perang Dunia II, mandat Inggris di Palestina berakhir. Mereka pergi dan kelompok Zionis memulai ekspedisi kekerasan untuk memperluas entitas pendudukan yang tidak sah tersebut.
Antara 1947 dan 1949, ratusan desa dan kota Palestina dihancurkan dan puluhan ribu penduduk setempat terbunuh dalam contoh nyata pembersihan etnis.
Nakba atau malapetaka
Mereka yang selamat dari kampanye genosida dipaksa meninggalkan rumah dan harta benda mereka. Sekitar 750.000 warga Palestina meninggalkan rumah leluhur mereka. Pembantaian besar-besaran terhadap warga Palestina dan eksodus massal mereka ini menyebabkan Nakba atau malapetaka.
Hampir 78% tanah Palestina dirampas secara ilegal oleh pasukan Zionis. Akhirnya pada 15 Mei 1948, entitas Zionis secara resmi berdiri.
Ini diikuti oleh perang Arab-Israel antara Mesir, Libanon, Yordania, Suriah, dan rezim Israel. Jalur Gaza berada di bawah kendali Mesir dan Yordania mengambil alih Tepi Barat.
Nakba diikuti oleh Naksa atau kemunduran ketika rezim Zionis menduduki wilayah Palestina lain termasuk Jalur Gaza, Tepi Barat, Jerusalem Timur, Dataran Tinggi Golan Suriah, dan Semenanjung Sinai Mesir selama Perang Enam Hari melawan negara-negara Arab.
Diikuti oleh rezim yang membangun permukiman ilegal di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Sistem apartheid diciptakan saat pemukim Yahudi ilegal diberi semua hak dan keistimewaan sedangkan penduduk asli Palestina harus hidup di bawah pendudukan militer dan menghadapi diskriminasi.
Sistem apartheid ini menyebabkan intifada pertama pada Desember 1987 ketika warga Palestina bersatu melawan pendudukan ilegal Israel. Pemberontakan rakyat berlanjut selama enam tahun ketika rezim Zionis mengadopsi kebijakan mematahkan tulang mereka yang menewaskan ribuan warga Palestina.
Selama intifada pertama, kelompok perlawanan Hamas yang berbasis di Gaza muncul. Intifada kedua terjadi pada September 2000 ketika Aerial Sharon, yang kemudian menjadi perdana menteri rezim tersebut, melakukan kunjungan provokatif ke Masjid Al Aqsa yang suci.
Selama masa ini, pembangunan permukiman di tanah Palestina yang dirampas menjadi marak. Infrastruktur dan mata pencaharian Palestina hancur. Rezim mendorong penduduk asli ke blok-blok terpencil, bahkan melarang mereka menggunakan jalan biasa.
Setelah intifada kedua berakhir pada 2005, permukiman Israel di Gaza dibongkar dan pemilihan legislatif diadakan untuk pertama kali di wilayah tempat Hamas memperoleh mayoritas.
Bangkitnya Hamas ke tampuk kekuasaan di Gaza dan penggulingan rezim Zionis dari wilayah pesisir tersebut menyebabkan blokade kemanusiaan yang melumpuhkan yang semakin meningkat selama bertahun-tahun.
Selama hampir dua dekade, lebih dari dua juta orang telah terhuyung-huyung di bawah blokade tersebut.
Selama periode ini, rezim tersebut sering menyerang Jalur Gaza. Pada 2008, 2012, 2014, 2021, dan 2023, ribuan warga Palestina telah dibunuh oleh rezim pendudukan.
Yang dimulai dengan Deklarasi Balfour 107 tahun lalu berlanjut hingga hari ini. Tengok saja, pemusnahan warga Palestina, tanpa memandang jenis kelamin dan usia. (Press TV/Z-2)