BALAI Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat bekerja sama dengan Balai Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (BTNBBBR) dan Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI) melakukan pelepasliaran tujuh orangutan (Pongo pygmaeus) di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya. Pelepasliaran ini berlangsung di area Resort Mentatai, Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) I Nanga Pinoh, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, sebagai bagian dari upaya berkelanjutan dalam pelestarian satwa endemik Kalimantan.
Kepala Balai Taman Nasional Bukit Baka Bui Raya Andi Muhammad Kadhafi menyatakan, ketujuh orangutan yang dilepasliarkan terdiri dari dua betina bernama Rika dan Karmila, serta lima jantan yaitu Aben, Muaro, Onyo, Batis, dan Lambai. Kesemuanya telah menjalani proses rehabilitasi secara intensif untuk mempelajari keterampilan bertahan hidup seperti mencari makanan, membangun sarang, serta mengembangkan kemampuan dasar lainnya yang diperlukan untuk hidup habitat alaminya.
Rika dan Karmila merupakan orangutan betina dewasa yang menjalani proses rehabilitasi selama lebih dari 10 tahun akibat kondisinya yang perlu perawatan pertama kali diselamatkan. Rika yang saat ini berusia sekitar 14 tahun berasal dari Desa Batu Tajam, Kabupaten Ketapang, sedangkan Karmila dari Desa Maya, Kabupaten Ketapang yang diselamatkan BKSDA Kalbar.
"Mereka masing-masing telah melewati proses rehabilitasi selama 11 dan 14 tahun untuk mengembalikan kesehatan dan kemampuan hidup di alam bebas," kata Andi, Senin (4/11).
Orangutan jantan Aben, Muaro, Onyo, Batis, dan Lambai juga memiliki riwayat penyelamatan yang hampir sama ketika diselamatkan. Mereka membutuhkan proses rehabilitasi panjang sebelum sampai saat yang siap untuk dilepasliarkan.
Aben misalnya, yang berasal dari serahan masyarakat Dusun Benatu Desa Limpang Kecamatan Jelai Hulu, Kab. Ketapang, saat diserhakan berusia sekitar satu tahun. la menjalani program induk-adopsi selama 4 tahun di pusat rehabilitasi agar saat dilepasliarkan masih dapat asuhan dari induk asuhnya sampai dapat hidup mandiri di alam. Muaro, yang berasal dari Kabupaten Kubu Raya sejak dititip rawatkan BKSDA Kalbar pada usia dua tahun telahmenjalani perawatan dan rehabilitasi selama 6 tahun.
Dipilihnya lokasi pelepasliaran orangutan di TNBBBR karena kawsan ini memiliki habitat yang sangat sesuai dengan kebutuhan hidup orangutan, seperti ketersediaan sumber pakan serta daya tampung kawasan.
Sebagai informasi total orangutan hasil rehabilitasi yang berhasil dilepasliarkan di TNBBBR dari tahun 2016 adalah sejumlah 82 individu. Melalui pelepasliaran ini kita berharap dapat meningkatkan sebaran populasi orangutan di habitat alaminya khususnya di TNBBBR.
"Perlu kami sampaikan juga bahwa salah satu indikator keberhasilan dan merupakan capaian penting dari kegiatan ini adalah termonitornya kelahiran 6 individu orangutan di kawasan ini. Temuan ini mengindikasikan bahwa TNBBBR merupakan salah satu habitat yang sesuai untuk orangutan hingga mereka mampu beradaptasi bahkan bereproduksi dengan baik," imbuhnya.
Kepala BKSDA Kalimantan Barat Wiwied Widodo juga mengapresiasi dukungan dari semua pihak atas keberhasilan dalam upaya pelestarian satwa endemik Kalimantan yang terancam punah ini sehingga dapat berjalan dengan lancar meskipun harus melalui proses dan perjalanan cukup panjang.
Seperti diketahui, pelepasliaran ini bukanlah hal yang mudah. Proses menuju titik pelepasan memakan waktu hingga tiga hari melalui jalur darat yang melintasi enam kabupaten, mulai dari Kabupaten Ketapang, Kayong Utara, Sanggau, Sekadau, Sintang, dan Melawi. Tak sampai disitu, perjalanan kemudian dilanjutkan dengan perahu dan berjalan kaki hingga tiba di lokasi pelepasliaran.
"Pelepasliaran ini adalah langkah penting untuk mendukung keberlanjutan populasi orangutan Kalimantan dan menjaga keanekaragaman hayati yang kita punya. Orangutan adalah kekayaan Keanekaragaman hayati bangsa dan menjadi simbol kedaulatan bangsa. Kita harus sadar dan mendukung upaya menjaga kelestarian satwa endemik Kalimantan dengan tidak mengeksploitasi dan memenjarakan mereka dalam kandang yang tidak semestinya. Sudah saatnya satwa liar hidup bebas di habitatnya," ujar Wiwied. (S-1)