MARAKNYA peredaran minuman beralkohol atau minuman keras (miras) membuat masyarakat resah. Mereka pun melakukan aksi agar peredaran minuman beralkohol ditertibkan.
Sosiolog UGM, Derajad Sulistyo Widhyharto menilai, peredaran minuman beralkohol selama ini memang belum diawasi secara maksimal. Pasalnya Yogyakarta sebagai Kota Pelajar sekaligus Kota Pariwisata tentunya memiliki tingkat mobilitas penduduk yang tinggi.
“Kalau dilihat masalah miras ini tidak hanya dari jual-belinya saja, tapi sebagian besar penduduk Jogja kan bukan penduduk asli. Barang bebas masuk dari mana saja,” jelas Derajad.
Selama ini, industri miras selalu bergerak secara underground dan tidak bisa dikendalikan pemerintah. Kalau hanya melihat sektor formal, regulasi tersebut sangat relevan, sayangnya justru persebaran miras secara informal yang perlu pengawasan khusus.
“Sudah bagus (Instruksi Gubernur Nomor 5 Tahun 2024 tentang Optimalisasi Pengendalian dan Pengamanan Minuman Beralkohol) walaupun penanganannya bisa dibilang terlambat. Sejauh ini belum ada badan khusus yang ditugaskan mengawasi jual-beli miras. Instruksi tersebut hanya mengatur sektor formal saja,” ucap Derajad.
Menurutnya, sektor informal yang berperan besar menggerakkan industri miras ini. Ia menggambarkan fenomena gunung es sebagai representasi, di mana industri miras yang dapat terlihat hanya di permukaan saja. Sedangkan aktivitas jual beli miras lainnya tidak terkendali.
Selain itu, industri miras turut berperan besar dalam perekonomian Yogyakarta. Sektor pariwisata khususnya, diduga banyak ditopang oleh industri miras itu sendiri. Derajad menambahkan, minimnya pengawasan terhadap industri miras membuat peredaran uangnya juga tidak dapat dideteksi.
“Ia (peredaran Miras) memang underground economy, jadi sulit pengawasannya. Selain peredarannya, produknya itu sendiri juga perlu diawasi. Mungkin produk yang resmi beredar bisa terdata, tapi bagaimana dengan produk oplosan, misalnya?” ujar Derajad.
Menurut dia, penjualan miras bisa diatur agar lebih terpusat untuk membantu pemerintah mengawasi industri tersebut. Termasuk untuk mengimplementasi regulasi yang sudah berlaku. “Sarannya saya kira justru legalkan, tapi penjualannya terpusat. Kalau begitu nanti kita bisa tahu siapa penjualnya, siapa yang beli, perputaran uangnya ke mana. Itu jelas,” terang dia.
Menurut Derajad, fungsi pengawasan harus dilakukan oleh dua pihak. Pertama, elemen masyarakat perlu dilibatkan secara ad hoc, khususnya mereka yang memiliki keahlian mengenali jenis-jenis miras yang beredar. Pasalnya, banyak ditemukan kasus miras diracik sendiri oleh oknum-oknum tertentu dan diperjualbelikan secara bebas. Elemen masyarakat tentu akan lebih mengenal dan mengetahui distribusi dari produk miras tersebut.
Kedua, harus ada lembaga yang mampu mengawasi secara terus menerus dan berlapis. Mulai dari jenis produk, sampai perputaran ekonominya. “Perlu diawasi dari segi produknya juga. Kalau kita bicara anggur (atau miras) itu kan bermacam-macam kadar alkoholnya. Banyak pakar dan elemen perhotelan itu saya kira lebih tahu. Mereka juga perlu dilibatkan,” tutup Derajad. (H-2)