PUKUL 10.00 WIB bel berbunyi menandakan waktu istirahat siswa-siswi SD Negeri Pamindangan, Serang, Banten. Saat itu, Nadira, siswi yang duduk di bangku kelas dua bersama dengan sejumlah temannya langsung berlari ke pojok membaca di sudut kelasnya. Ia lantas mengambil buku cerita bergambar yang ada di sana. Nadira mengaku selalu tidak sabar untuk menunggu waktu istirahat tiba supaya ia bisa membaca buku-buku koleksi yang disediakan sekolahnya. “Iya aku senang sekali membaca, karena bukunya seru dan gambarnya bagus,” kata Nadira sembari membolak-balikan halaman buku yang tengah dibacanya.
Di setiap sudut kelas SD Negeri Pamindangan memang diwajibkan untuk memiliki pojok baca sendiri. Ukurannya tidak terlalu besar, hanya sekitar 90cm x 90cm, dibatasi dengan jejeran botol bekas air mineral yang didekorasi seakan-akan menjadi pagar di pinggir taman. Di pojok membaca itu, ada beberapa eksemplar buku cerita milik sekolah yang dapat dibaca anak-anak selama jam istirahat.
Nadira mengaku, ia sudah membaca sebanyak lima buku cerita yang ada di sekolahnya. Tidak hanya pada saat jam istirahat, Nadira juga seringkali meminjam buku dari perpustakaan sekolahnya untuk dibawa pulang dan dibacanya di rumah. “Aku ingin lebih banyak buku lagi supaya bisa setiap hari membaca,” ucap dia.
SD Negeri Pamindangan merupakan salah satu sekolah yang mendapatkan bantuan buku bacaan sebanyak 600 eksemplar dari Badan Pusat Pengembangan Bahasa di tahun 2024. Kepala Sekolah SD Negeri Pamindangan Ani Sunarni merasa bersyukur mendapatkan bantuan tersebut. SD Negeri Pamindangan diakui Ani sebelumnya merupakan sekolah yang bisa dibilang dikucilkan dibanding SD-SD lain. Tidak ada kegiatan maupun prestasi yang berarti dari sekolah tersebut. Pun, saat Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK), SD Negeri Pamindangan mendapatkan rapor merah di bidang literasi dan numerasi.
Ani menceritakan, anak-anak didiknya di SD Negeri Pamindangan umumnya berasal dari latar belakang keluarga kelas menengah ke bawah. Di mana kebanyakan orang tua siswa-siswinya berprofesi sebagai asisten rumah tangga, kuli bangunan hingga pedagang kecil di pasar. Hal itu menurutnya sangat berpengaruh terhadap rendahnya kesadaran literasi anak-anak mereka.
“Alhamdulillah, buku yang diberikan oleh pusat sangat bermanfaat sekali bagi peserta didik kami dan sudah dimanfaatkan sebagaimana mestinya,” tuturnya.
Ia mengungkapkan untuk memanfaatkan bantuan buku tersebut mereka menyusun program literasi dan numerasi yang menjadi rutinitas di sekolah. Program-program seperti Selasa Numerasi (Sanur) dan Rabu Membaca (Raca) hingga Kamis Membaca (Kaca) menjadi sarana belajar yang segar dan menyenangkan bagi anak-anak. Para siswa tidak hanya diajarkan untuk membaca, tetapi juga memahami isi bacaan dan mengapresiasinya melalui sesi mendongeng yang kadang dibawakan oleh guru atau sesama siswa.
Setelah upacara, mereka meluangkan waktu khusus sekitar 15-30 menit untuk literasi. “Biasanya anak-anak mendongeng, dan kalau tidak, para guru yang melakukannya. Lalu ada sesi umpan balik dari anak-anak agar mereka lebih aktif dalam berkomunikasi,” jelas Ani.
Namun, bukan hanya siswa yang dibekali keterampilan baru. Guru-guru juga turut serta dalam pelatihan literasi dan numerasi yang diadakan oleh dinas pendidikan. “Kami mengirim dua guru untuk mengikuti pelatihan—satu untuk kelas rendah dan satu untuk kelas tinggi. Kami para kepala sekolah juga diundang agar bisa turut memantau perkembangan dan menyemai budaya literasi ini di seluruh sekolah,” tambah dia.
Pelatihan ini tak hanya berhenti di ruangan. Para peserta yang sudah mendapat bimbingan teknis lalu berbagi ilmu melalui kegiatan diseminasi di sekolah. “Kami mengadakan kegiatan diseminasi untuk mengajarkan teknik membaca yang lebih mendalam. Guru-guru yang tidak ikut pelatihan jadi paham bagaimana mengajarkan anak-anak di kelas,” tambahnya. Salah satu teknik yang diajarkan adalah metode membaca yang membantu siswa mengerti makna dan kesan cerita, sehingga mereka tak hanya sekadar membaca tetapi juga memahami apa yang dibaca.
Berbagai upaya yang didorong pemerintah untuk meningkatkan literasi anak diakui Ani kini mulai terlihat. Ani menyebutkan bahwa setiap akhir bulan mereka melakukan evaluasi untuk mengukur keberhasilan program literasi. Di beberapa kelas, ada kemajuan yang sangat menggembirakan, terutama bagi siswa yang sebelumnya belum bisa membaca. “Ketika awalnya ada sepuluh anak di kelas yang kesulitan membaca, dengan program literasi ini perlahan mereka mulai lancar. Anak-anak dari latar belakang yang belum terbiasa membaca juga mulai tertarik,” ujarnya dengan bangga. (H-2)