GURU Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Prof. Ace Suryadi mengatakan bahwa permasalahan mendasar pendidikan di Indonesia sebetulnya hanya satu, yaitu mutu pendidikan Indonesia yang tidak pernah naik.
“Saya kira kita tidak berlebih karena melihat hasil PISA yang merupakan asesmen paling terstandar secara internasional, kita adalah 1 dari 67 negara anggota PISA. Menurut PISA semakin tinggi skor anak-anak dalam literasi matematika, sains dan membaca, semakin tinggi kemampuan anak menguasai cara berpikir kritis, kreatif, inovatif dan kolaboratif. Skor PISA anak-anak Indonesia rendah sejak 2001 sampai sekarang. Enggak pernah tinggi. Pernah naik sampai 2009 tapi setelah itu turun lagi,” ungkapnya dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi X DPR RI, Rabu (30/10).
Menurut Ace, skor PISA Indonesia yang rendah karena anak-anak diajarkan untuk menghafalkan teori akademik sejak SD dan sedikit sekali dibarengi dengan aspek aplikasinya.
Sementara anak-anak yang dianggap pintar adalah mereka yang hafal teori dengan tingginya skor tes bukan mereka yang mampu memecahkan masalah secara kritis, kreatif, inovatif dan kolaboratif.
“Perbandingan antarnegara pada skor PISA di 2016. Vietnam berhasil melewati Indonesia dalam HDI pada 2004 dan melewati Singapura dalam skor PISA matematika, sains dan membaca pada 2012. Vietnam bukan main ini. Tapi Indonesia hanya menjadi 5 tertinggi saja di ASEAN,” ujar Ace.
“Anak-anak yang memiliki literasi yang tinggi dalam matematika sains dan membaca adalah modal bagi Vietnam untuk menggenjot ekonomi industri mereka bahkan bisa melebihi kecepatan Malaysia Thailand Indonesia Filipina bahkan Singapura. Oleh karena itu sekaranglah waktunya untuk Indonesia fokus dalam memajukan ke anak menguasai literasi matematik sains dan membaca. Saya kira ini di beberapa negara sudah sangat memprioritaskan hal ini,” lanjutnya.
Di Indonesia, Ace menekankan bahwa PISA hanya dipamerkan hasilnya terutama perbandingan antarnegara, tanpa meneliti apa dan di mana kelemahan pembelajarannya sehingga anak-anak Indonesia kurang berprestasi menurut ukuran PISA.
“Kita hanya untuk dibandingkan saja selesai sudah. Padahal banyak sekali hasil dan data PISA yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki skor PISA baik dalam literasi matematik, sains dan membaca,” kata dia.
Menurut Ace, proses pembelajaran adalah inti dari sistem pendidikan nasional. Hal yang dilihat dari kementerian pendidikan isinya adalah proses pembelajaran dan untuk membangun pendidikan yang bermutu, tidak ada pilihan lain kecuali membangun sistem pembelajaran yang bermutu, yaitu dengan menata kembali semua komponen strategis yang mendukung sistem tersebut.
“Kita lihat hal yang perlu kita ciptakan adalah sistem pembelajaran bauran yang aktif, kreatif, dan inovatif. Kita belum punya. Ada beberapa sekolah yang sudah bagus tapi umumnya kita belum punya. Masih hanya transmisi akademik saja. Untuk mencapai hal itu diperlukan lima isu strategis yaitu standar kompetensi siswa dan guru, diversifikasi kurikulum sekolah dan inovasi pembelajaran, mekanisme asesmen, pelaporan, dan umpan balik, guru profesional yang kompeten, dan transformasi LPTK dan PPG yang bermutu,” ujar Ace.
Di tempat yang sama, Perwakilan Koalisi Pendidikan Nasional sekaligus Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri membahas mengenai Peta Jalan Pendidikan Indonesia yang masih belum memiliki keberpihakan kepada para guru.
“Saya sebagai guru agak prihatin juga karena dalam peta jalan ini di halaman 113 ada kolom perencanaan untuk penjaminan kesejahteraan pendidik guru dan dosen baru direncanakan pada 2030 sampai 2034. Jadi selama 5 tahun ini kami disuruh puasa atau bagaimana. Ini menjadi berita buruk pada kami para pendidik dan semoga DPR bisa mempertanyakan hal ini pada Bappenas, kementerian pendidikan dan Kementerian Agama kenapa merencanakan orang untuk tidak sejahtera selama 5 tahun,” kata Iman.
“Rancangan besar ini harus kita bicarakan ulang dan harus dikawal dari tujuan pendidikan. Makanya pelibatan masyarakat itu sangat penting bukan hanya organisasi profesi, peneliti, dan lain sebagainya. Harus dilibatkan banyak orang,” sambungnya.
Sementara itu, Perwakilan Koalisi Kawal Pendidikan Jakarta sekaligus Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonensia (JPPI), Ubaid Matraji menyoroti soal akses wajib belajar yang akan direncanakan 13 tahun setelah sebelumnya lebih dari 10 tahun Indonesia mengumumkan wajib belajar 12 tahun.
Namun demikian, selama 10 tahun terakhir realisasinga dikatakan belum mampu sampai 12 tahun dan baru sampai angka 8 tahun, bahkan belum menyentuh 9 tahun.
“Kalau kita hitung, per tahunnya naik 1,1%. Artinya rata-rata lama sekolah kita SMP saja belum lulus. Karena itu menjadi penting menyikapi RUU Sisdiknas karena UU Sisdiknas saja belum dilaksanakan ini sudah mau direvisi,” jelas Ubaid.
Dari data Kemendikbud-Ristek pada Agustus 2024 total anak yang tidak sekolah di Indonesia mencapai 4,6 juta. Masih banyak sekali yang tertinggal. Berdasarkan data BPS dan JPPI himpun dari 2014-2024, mayoritas anak-anak yang putus sekolah ini memiliki masalah ekonomi. Mulai dari tidak punya biaya, pekerja anak dan perempuan banyak terlibat pernikahan di bawah umur.
Data OECD 2022 juga memperlihatkan bahwa Indonesia paling bawah dari ukuran membaca, matematik dan sains di Asia Tenggara.
“Kemarin juga ditemukan banyak anak SMP baca aja enggak bisa. Di tempat saya di Tangerang Selatan, Bogor dan Banten, SMP enggak bisa baca. Anak yang bisa baca saya tanya memahami teks mereka enggak bisa. Ini menjadi penting anak-anak Indonesia diwacanakan belajar matematika dari TK, padahal kita belajar matematika dan membaca selama 12 tahun tapi hasilnya terburuk sedunia. Artinya 12 tahun kita belajar membaca itu belajar apa? Atau enggak belajar? Cuma main-main di sekolah,” pungkasnya. (H-2)