PEMERINTAH di bawah Presiden Prabowo Subianto dinilai telah memiliki modal kuat untuk merengkuh ambisi pertumbuhan ekonomi tinggi. Sejumlah program dan misi dari Kepala Negara untuk perekonomian nasional kini bergantung pada aspek implementasi.
Demikian disampaikan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Lestari Moerdijat dalam Forum Diskusi Denpasar 12 bertajuk Prospek Perekonomian Indonesia Tahun 2025 secara daring, Rabu (6/11).
"Pemikiran penting dari presiden tentang bagaimana kemandirian dan nasionalisme ekonomi, ketahanan pangan energi, industrialisasi, keberpihakan ekonomi pada UMKM dan infrastruktur berkelanjutan merupakan sebuah optimisme, tinggal bagaimana pemikiran-pemikiran itu bisa diterjemahkan dalam tatanan eksekusi," kata dia.
Gagasan yang disampaikan presiden, kata Lestari, dapat dicermati sebagai upaya untuk memperbaiki perekonomian Indonesia. Namun diakuinya itu tak akan mudah direalisasikan lantaran ada sejumlah tantangan, baik di dalam dan luar negeri yang berpotensi menghambat misi tersebut.
Ketergantungan ekonomi terhadap konsumsi rumah tangga, transformasi ekonomi dalam negeri, hingga lanskap geopolitik global bakal memengaruhi upaya Indonesia untuk mencapai pertumbuhan yang tinggi. Karenanya, kata Lestari, pemerintah juga perlu untuk menyiapkan langkah antisipasi agar potensi hambatan itu dapat ditekan.
"Itu tidak boleh menjadi penghambat dari langkah kita untuk mencapai tujuan kita semua, membangun masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Jadi optimisme perlu, tapi kita juga harus antisipasi yang mana itu tentu harus berdasarkan data dan fakta yang bisa mendorong kita mengambil solusi," kata dia.
Di kesempatan yang sama, Kepala Ekonom BCA David Sumual mengatakan, perekonomian Indonesia di tahun depan masih akan dibayangi oleh ketidakpastian. Karenanya, diperlukan upaya ekstra agar ambisi merengkuh angka pertumbuhan ekonomi tinggi dapat tercapai.
Salah satu kunci utama menurutnya ialah bagaimana pemerintah bisa menarik investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) secara masif. Tren FDI saat ini dinilai cukup baik namun belum mampu mencukupi kebutuhan untuk mendapatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Aliran FDI ke Indonesia juga relatif lebih rendah bila dibandingkan Malaysia. Hal itu menurut David, perlu dicarikan jalan keluar dan terobosan dari pemerintah. "Perusahan IT besar itu kebanyakan masuk ke Malaysia. Besar sekali dana investasi masuk ke Malaysia. Kita masih terbatas ke manufaktur mineral. Dari sisi elektronik kita ini salah satu yang terendah di ASEAN," kata dia.
FDI juga sedapat mungkin diarahkan untuk masuk pada industri manufaktur. Itu diharapkan bisa mendorong penyerapan tenaga kerja dalam negeri yang pada akhirnya turut meningkatkan pendapatan masyarakat.
Sayangnya, kinerja industri pengolahan Indonesia justru memiliki tren penurunan secara konsisten dalam beberapa tahun terakhir. Kontribusi industri manufaktur Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus menciut menjadi 16,9%.
Angka itu menunjukkan posisi industri pengolahan terjun bebas dari dua dekade silam yang kontribusinya sempat menyentuh 30% terhadap PDB. "Jadi memang kita berharap sektor-sektor yang banyak menyerap tenaga kerja dan export oriented bisa lebih kencang investasinya ke depan," jelas David. (Mir/-4)