SELAMA sebulan terakhir, Gaza Utara berada dalam pengepungan operasi darat militer Israel yang brutal. Warga menjadi sangat kelaparan, sementara dunia hanya menyaksikan dan tidak berbuat apa-apa untuk menghentikan kekejaman itu.
Juru bicara PBB, Stephane Dujarric, mendesak masyarakat internasional bertindak karena kekejaman yang dialami warga Gaza tidak bisa diabaikan begitu saja. Hal itu disampaikan Dujarric mengutip pesan Penjabat Wakil Sekretaris Jenderal Urusan Kemanusiaan PBB, Joyce Msuya.
"Operasi darat militer Israel telah membuat warga Palestina tidak memiliki kebutuhan pokok untuk bertahan hidup, memaksa mereka berkali-kali melarikan diri demi keselamatan, dan (operasi itu) memutuskan jalur pelarian serta pasokan mereka," kata Dujarric dalam konferensi pers, kemarin.
Ia menambahkan, 1.000 rumah warga Palestina di Yerusalem Timur dan di Tepi Barat telah dihancurkan "Akibatnya, lebih dari 1.100 orang terlantar dengan 40% di antaranya berasal dari Yerusalem Timur," imbuh Dujarric
Sejak dimulainya perang di Gaza pada 7 Oktober 2023, tentara Israel secara rutin menyerang Tepi Barat. Kementerian Kesehatan Palestina mencatat setidaknya 777 warga Palestina tewas dan lebih dari 6.300 lainnya terluka akibat tembakan militer Israel di wilayah tersebut.
Tidak hanya itu, warga Palestina juga diserang dengan kejam oleh pemukim ilegal Israel. Padahal, Mahkamah Internasional pada Juli lalu sudah menyatakan pendudukan Israel selama puluhan tahun terhadap tanah Palestina adalah ilegal. Mahkamah juga menuntut dilakukannya evakuasi semua pemukiman yang ada di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.
Di sisi lain, Kepala Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) Philippe Lazzarini memperingatkan jutaan orang Palestina akan terjerumus ke dalam kekacauan. Negara-negara anggota PBB didesak mengintervensi penerapan undang-undang yang melarang UNRWA beroperasi.
"Tanpa campur tangan negara-negara anggota, UNRWA akan runtuh, membawa jutaan orang Palestina ke dalam kekacauan," kata Lazzarini kepada Majelis Umum PBB sebagaimana dilaporkan IRNA.
Majelis Umum PBB mengadakan pertemuan di New York pada Rabu (6/11) waktu setempat, lebih dari seminggu setelah parlemen Israel, Knesset, pada 29 Oktober menyetujui dua undang-undang (UU) yang akan mulai berlaku 90 hari setelah disetujui.
Kedua UU itu melarang UNRWA beroperasi di wilayah yang dikuasai Israel dan membatasi keras kegiatannya di Tepi Barat yang diduduki serta Jalur Gaza yang terkepung.
"Sejak dimulainya perang di Gaza, pejabat Israel menggambarkan pembubaran UNRWA sebagai tujuan perang. UU Knesset melayani tujuan ini," kata Lazzarini dalam pertemuan Majelis Umum PBB.
Sementara itu, Raja Yordania Abdullah II dan Perdana Menteri Inggris Keir Starmer melalui pernyataan bersama menyerukan gencatan senjata di Gaza dan meminta agar bantuan kemanusiaan ke wilayah itu bisa masuk tanpa hambatan.
Abdullah dan Starmer juga mendesak pihak-pihak terkait agar melakukan upaya yang efektif untuk menurunkan ketegangan, serta meningkatkan respons kemanusiaan di Gaza dengan memaksimalkan bantuan kemanusiaan serta memastikan alirannya tidak terhambat.
Mereka juga memperingatkan keputusan Israel melarang aktivitas UNRWA akan memperburuk bencana kemanusiaan di Gaza. Kedua pemimpin bertemu di kantor pusat pemerintah Inggris di London.
"Raja Abdullah tiba di kota itu pada Selasa (5/11) dalam rangka kunjungan resmi," kata Istana Kerajaan Yordania namun tidak menyebutkan berapa lama lawatan berlangsung. (Anadolu/Ant/P-3)