KETIKA Khalil Sayegh mengenang masa kecilnya di Jalur Gaza, Palestina, Gereja Ortodoks Yunani Saint Porphyrius tampak sangat berkesan dalam ingatannya. Sayegh, yang kini berusia 29 tahun, mengingat pernikahan, kelas Sekolah Minggu, pelajaran musik, dan kunjungan ke kuburan kecil itu.
Saat ini, Sayegh tinggal di Washington, DC, tempat mantan Presiden Donald Trump merebut kembali kekuasaannya pada Januari setelah mengalahkan Wakil Presiden Demokrat Kamala Harris dalam pemilihan presiden Amerika Serikat minggu ini.
Kembalinya Trump ke panggung politik telah menambah lapisan ketidakpastian baru bagi warga Palestina, tidak hanya mereka yang berada di dalam Gaza yang telah menjadi sasaran pengeboman dan serangan darat Israel yang hampir tanpa henti selama 13 bulan terakhir, tetapi juga mereka yang, seperti Sayegh, memiliki keluarga di sana dan menyaksikan tanpa daya dari jauh.
Mereka sangat marah dengan kegagalan pemerintahan Partai Demokrat saat ini untuk meminta pertanggungjawaban Israel atas perang yang mengakibatkan kematian lebih dari 43.391 warga Palestina dan ribuan lain yang hilang dan diduga tewas di bawah reruntuhan. Lebih dari 100.000 orang telah terluka dan hampir seluruh penduduk daerah kantong yang berjumlah 2,3 juta orang itu mengungsi.
Sebagai presiden sekutu terkuat Israel, Joe Biden telah bertahan dengan dukungannya yang tak tergoyahkan bagi negara itu, menolak untuk menghentikan bantuan militer, dan Kamala Harris tidak menyimpang dari posisi ini. Banyak orang Amerika Arab merasa terpaksa untuk lepas tangan dari Demokrat dalam pemilihan ini dan memilih kandidat Partai Hijau, Jill Stein, yang berjanji mendapatkan gencatan senjata dan menghentikan bantuan dan penjualan senjata ke Israel.
Kampung halaman Sayegh, yang sekarang sebagian besar terletak di reruntuhan dan puing-puing, telah dirusak dalam setahun terakhir oleh perang ini, yang sebagian besar didanai oleh AS. Ratusan ribu rumah hancur sementara rumah sakit dan sekolah menjadi sasaran serangan Israel.
Namun Sayegh kembali mengingat masa-masa yang lebih baik. Sebagai anggota komunitas Kristen kecil tetapi kuno di Jalur Gaza, ia mengenang, khususnya Liturgi Ilahi yang dirayakan di St Porphyrius setiap Minggu--ritus kuno yang panjang yang memadukan nyanyian, dupa, dan doa dalam bahasa Arab dan Yunani kuno.
Gereja dan kompleks di sekitarnya, yang sebagiannya berasal dari abad ke-5 Masehi, merupakan pusat komunitas Kristen Gaza. Saat ini, sebagian besar bangunan tersebut telah menjadi reruntuhan. Pada Oktober tahun lalu, serangan udara Israel menghancurkan salah satu bangunan di kompleks tersebut dan menewaskan sedikitnya 17 orang.
Sekitar 400 warga Palestina, baik Kristen maupun Muslim, telah berlindung di sana. Harapan mereka, gereja tersebut akan terhindar dari pengeboman dahsyat yang terjadi di daerah sekitarnya.
Gereja tersebut merupakan salah satu gereja yang telah membuka pintu bagi warga Palestina yang melarikan diri dari serangan udara yang dimulai pada 7 Oktober tahun lalu.
Paroki Katolik Keluarga Kudus
Di sisi lain kota, Paroki Katolik Keluarga Kudus juga menyambut sekitar 600 orang, termasuk orangtua Sayegh dan dua saudara kandungnya. Pada Desember, beberapa bulan setelah keluarga itu tiba di gereja, seorang penembak jitu IDF membunuh dua perempuan Kristen--seorang ibu dan anaknya--saat mereka berjalan dari satu gedung di kompleks Keluarga Kudus ke gedung lain. Salah satu dari mereka ditembak saat berusaha membawa yang lain ke tempat yang aman.
Kemudian, pada 21 Desember, beberapa hari sebelum Natal, ayah Sayegh, Jeries, yang trauma dengan yang dilihatnya, menderita penyakit seperti serangan jantung yang akhirnya berakibat fatal. Usianya saat itu 68 tahun.
"Tidak ada obat-obatan yang tersisa di kompleks itu dan ambulans tidak diizinkan masuk oleh IDF," kata Sayegh kepada Al Jazeera. "Jika ayah saya bisa mendapatkan perawatan medis, dia pasti masih di sini hari ini."
Beberapa bulan kemudian, tragedi itu terjadi lagi. Pada April, saudara perempuan Sayegh yang berusia 18 tahun, Lara, meninggal dunia--tampaknya karena suhu panas--saat ia mencoba melarikan diri dari Gaza melalui perbatasan selatan.
Lara bepergian dengan ibunya ke Mesir. Ia berharap menemukan tempat aman dan mendaftar di universitas. Pasangan itu telah memperoleh izin yang diperlukan dan bepergian melalui jalan yang digambarkan oleh otoritas Israel sebagai rute aman. Ini melibatkan pendakian sejauh tujuh kilometer dengan berjalan kaki tanpa akses ke air atau fasilitas medis dan diawasi oleh pesawat tanpa awak bersenjata.
Perjalanan itu terbukti terlalu berat bagi Lara yang meninggal dalam perjalanan. Seorang kerabat menelepon Sayegh untuk menyampaikan berita tersebut. "Hati saya hancur," katanya. "Pada saat itu, mustahil untuk merasakan penghiburan apa pun, bahkan dari Tuhan."
Bagaimana orang yang beriman dapat menghadapi tragedi pribadi yang begitu intens dan berulang? Keputusasaan, kata Sayegh, ialah unsur yang muncul dalam banyak tradisi teologi Kristen sebagai respons terhadap kejahatan dunia yang mengerikan. Kitab Mazmur meratapi bahwa penderitaan orang benar itu banyak sementara orang fasik tumbuh subur seperti rumput.
Namun, Sayegh mengatakan, Kekristenan juga mengandung unsur lain yang bahkan lebih kuat daripada keputusasaan yaitu kepercayaan akan kebangkitan. Inti dari iman Kristen ialah gagasan bahwa kehidupan telah menang atas kematian, bahwa kebaikan telah menang atas kejahatan, dan akan terus demikian, bahkan ketika keadaan tampaknya sedang dalam kondisi paling suram.
Menjalani masa kecil penuh krisis
Sayegh lahir pada tahun 1994, dari orangtua Kristen kelas menengah. Ia salah satu dari empat bersaudara, dan tumbuh di Kota Gaza, di bagian utara Jalur Gaza.
Meskipun keluarganya relatif makmur, mereka sebenarnya ialah pengungsi. Mereka kehilangan rumah dalam pengusiran pada 1948 oleh geng-geng Zionis dan perang berikutnya yang oleh orang Palestina disebut sebagai Nakba atau malapetaka.
Selain kebaktian Minggu mingguan dan perayaan besar seperti Paskah dan Natal, kehidupan Kristen di Gaza berputar di sekitar sejumlah lembaga budaya, seperti Pusat Ortodoks Arab dan Asosiasi Kristen Pria Muda (YMCA). Setiap Kamis, Sayegh akan mengunjungi YMCA dan selama musim panas ia akan menghadiri perkemahan di sana.
"Itu semacam pusat kehidupan anak muda di Gaza", kenangnya. "Di sanalah Anda akan pergi ke pusat kebugaran, bermain sepak bola, bermain tenis. Di sanalah Anda akan bersenang-senang dan membangun persahabatan."
Hingga 2005, saat Sayegh berusia 10 tahun, ribuan tentara Israel hadir di Jalur Gaza untuk melindungi permukiman ilegal mereka di sana. Pos pemeriksaan militer menyebabkan perjalanan dari satu bagian Gaza ke bagian lain bisa memakan waktu lima atau enam jam, meskipun panjang Jalur Gaza hanya 40 km (25 mil). Kelas-kelas di sekolah sering kali dibatalkan, kenang Sayegh, ketika guru-guru dari selatan tidak dapat datang ke sekolahnya di utara.
Serangan udara Israel juga sering terjadi dan baku tembak, terutama selama lima tahun Intifada Kedua dari 2000 hingga 2005. Pada 2005, pasukan Israel menarik diri sepenuhnya dari Gaza dan membawa serta para pemukim Israel. Selama tahun-tahun berikutnya, kelompok politik bersenjata Hamas, yang sebelumnya tidak pernah menguasai Jalur Gaza, mulai berkuasa.
Kebangkitan Hamas menjadi kekhawatiran bagi komunitas Kristen, kata Sayegh, tetapi pada akhirnya mereka terkejut. Soalnya, Hamas memilih untuk menawarkan perlindungan kepada gereja-gereja dan lembaga-lembaga Kristen lain. Menurutnya, ini terutama merupakan strategi politik, cara untuk meningkatkan citra Hamas di Barat. Namun Hamas juga membuat perbedaan nyata, karena kelompok tersebut menggagalkan berbagai serangan fundamentalis terhadap orang-orang Kristen setempat.
Itu tidak berarti tidak ada masalah. Sayegh mencatat bahwa ada Islamisasi bertahap di ruang publik setelah pengambilalihan Hamas. "Menjadi sangat sulit untuk mengambil bagian dalam kehidupan publik jika Anda seorang Kristen atau bahkan seorang Muslim sekuler," katanya.
Pada akhir 2008, Israel melancarkan pengeboman darat, laut, dan udara selama 22 hari yang menewaskan sekitar 1.400 warga Palestina, melukai ribuan orang, dan menghancurkan sekitar 46.000 rumah, menyebabkan sekitar 100.000 orang kehilangan tempat tinggal. Setelah bencana itu, Sayegh, yang baru berusia 14 tahun, memutuskan untuk melarikan diri dari Gaza dan mencari tempat yang relatif aman di Tepi Barat.
Ia telah memperoleh izin selama seminggu untuk menghadiri perayaan Paskah di Jerusalem. Namun, setelah izin itu ia tidak pulang ke rumah. Oleh karena itu, kehadirannya di Tepi Barat menjadi ilegal di mata pemerintah Israel. "Saya pergi sendiri, tanpa izin orangtua saya," kata Sayegh sekarang. "Saya sendirian. Itu sangat, sangat sulit."
Di tengah krisis ini, Sayegh mengalami momen yang digambarkannya, "Datang kepada Yesus". Meskipun ia dibesarkan sebagai seorang Kristen Ortodoks, ia tidak pernah terlalu taat, tetapi di Tepi Barat ia bertemu dengan sejumlah Protestan Palestina yang bersemangat menginspirasinya untuk lebih serius dalam menjalankan imannya.
Karena terinspirasi, Sayegh mendaftar di Bethlehem Bible College. Ia melanjutkan studi teologinya selama empat tahun tetapi mulai menyadari bahwa hasratnya terletak di tempat lain, yakni bidang politik. "Belajar teologi dalam konteks Palestina terus-menerus menimbulkan pertanyaan politik," katanya. “Saya selalu merasa ada yang kurang dalam analisis saya."
Ketertarikan pada politik inilah yang akhirnya membawa Sayegh ke AS, tempat tinggalnya sekarang. Pada 2021, ia tiba di Washington, DC, untuk mengejar gelar master dalam ilmu politik. Kemudian, pada musim panas 2023, ia diberi tahu bahwa pemerintah Israel tidak akan mengizinkannya kembali ke Tepi Barat tetapi ia hanya akan diizinkan pergi ke Gaza.
Akibatnya, Sayegh terpaksa tetap tinggal di AS, tempat ia melanjutkan studinya dan bekerja sebagai analis politik. Saat ini ia sedang mengajukan suaka.
Populasi Kristen Gaza
Kisah Sayegh bukanlah hal yang aneh bagi seorang Kristen dari Gaza. Populasi Kristen di Jalur Gaza sebelum perang berjumlah sekitar 1.000 jiwa. Setidaknya beberapa lusin orang Kristen telah terbunuh sejak perang dimulai. Sayegh menunjukkan, jumlah tersebut setara dengan sekitar 5% dari komunitas tersebut.
"Semua orang yang saya ajak bicara yang saat ini berlindung di gereja St Porphyrius ingin meninggalkan Gaza," kata Sayegh. "Mayoritas rumah di utara, tempat tinggal orang Kristen, telah dibom. Semuanya hancur. Orang-orang tidak punya alasan untuk tinggal."
Meskipun demikian, banyak orang Kristen Barat--khususnya kaum evangelis AS--tetap berkomitmen untuk membela Israel. "Kami terbiasa dengan saudara-saudari kami di Barat yang sama sekali mengabaikan kami," kata Sayegh. "Itu bukan hal baru."
Pengecualian penting dalam hal ini, katanya, ialah Paus Fransiskus yang menyerukan gencatan senjata sejak hari-hari awal perang dan menelepon paroki Katolik Gaza setiap hari untuk mendengar tentang situasi di sana. "Saya terus menerima berita yang sangat serius dan menyakitkan dari Gaza," kata Fransiskus saat pemberkatan mingguan pada pertengahan Desember tahun lalu.
"Warga sipil tak bersenjata menjadi sasaran pengeboman dan penembakan. Dan ini terjadi bahkan di dalam kompleks paroki Keluarga Kudus, di mana tidak ada teroris, tetapi hanya keluarga, anak-anak, orang yang sakit atau cacat, biarawati."
Mengingat situasi tersebut, kata Sayegh, kelangsungan hidup komunitas Kristen kuno Gaza tampaknya seperti tugas yang mustahil. Bagi Sayegh, cara untuk mengatasinya ialah dengan mengadvokasi perjuangan Palestina. Dia menjelajahi AS, bertemu dengan kelompok masyarakat, gereja, dan berbicara kepada media.
Beberapa tahun lalu, Sayegh mendirikan Agora Initiative, organisasi nirlaba yang mengadvokasi perdamaian antara Israel dan Palestina. Ia melakukannya bersama seorang teman Israel, Elazar Weiss, seorang mahasiswa PhD di Yale.
Sayegh mengatakan, tanggapan terhadap aktivisme mereka sebagian besar positif. Banyak orang Amerika, katanya, memiliki pemahaman terbatas tentang sejarah wilayah tersebut, sehingga mempelajari beberapa fakta dasar pun dapat membantu mereka memahami pentingnya hidup berdampingan secara damai dan hak-hak Palestina.
"Mereka menghargai bahwa kita melakukannya bersama-sama," Sayegh menambahkan, "Sebagai orang Israel dan Palestina."
Namun, kejadian baru-baru ini telah memaksa keduanya untuk memikirkan kembali operasi mereka. "Yang diperjelas oleh perang saat ini," kata Sayegh, "Ialah bahwa Anda tidak dapat berbicara tentang perdamaian dan kerja sama antara Israel dan Palestina tanpa terlebih dahulu menegakkan keadilan. Itu berarti mengakhiri pendudukan."
Sayegh dan Weiss kini tengah mengerahkan energi mereka untuk mempromosikan Prakarsa Perdamaian Arab, proposal yang didukung oleh Liga Arab, yang menawarkan normalisasi hubungan dengan Israel sebagai imbalan atas penarikan penuh Israel dari Gaza, Tepi Barat, dan Dataran Tinggi Golan, yang semua diakui sebagai wilayah pendudukan ilegal berdasarkan hukum internasional.
"Gencatan senjata di Gaza tidaklah cukup," tegas Sayegh. "Itu terlalu meremehkan tujuan Anda. Perjuangan Palestina bukanlah tentang gencatan senjata. Kami berjuang untuk pembebasan dari pendudukan, untuk dekolonisasi Tepi Barat, pembongkaran permukiman ilegal. Itulah tujuan kami."
Namun, untuk saat ini, tujuan ini masih jauh dari kenyataan. Di Gereja St Porphyrius, sekitar 400 warga Palestina, termasuk saudara perempuan Sayegh yang masih hidup, masih berlindung dari perang Israel. Mereka kekurangan listrik atau makanan dan gereja terus mengalami pengeboman.
YMCA tempat Sayegh menghabiskan sebagian besar masa kecilnya kini telah menjadi kuburan sungguhan. Banyak orang kini terkubur di bawah lapangan sepak bola tempat ia pernah bermain.
"Penderitaan terus berlanjut," kata Sayegh. "Saat ini, belum terlihat tanda-tanda akan berakhir." (Al Jazeera/Z-2)